Karya terbaru Hanung Bramantyo berjudul “?” (“Tanda Tanya”) sempat menjadi bahan debat para anggota Lembaga Sensor Film (LSF). Pengalaman Hanung membuat film menunjukkan bahwa bukan hanya LSF, tapi juga para pemuka masyarakat Indonesia tergagap-gagap menghadapi ujaran-ujaran film.
FI menemui Hanung Bramantyo di kawasan Cilandak pada Jumat, 1 April 2011 dan di Taman Ismail Marzuki pada Senin, 4 April 2011. Kami mengajaknya melihat kembali pikiran-pikiran yang disampaikannya lewat film dan persoalan-persoalan yang ia hadapi.
Tentang “?”
FI: Apa persoalan LSF dengan film “?” ?
HB: Film ini dianggap menampilkan hal-hal yang kontroversial. Misalnya adegan Surya (Agus Kuncoro) yang memerankan Yesus dan dipermasalahkan karena ia seorang Muslim. Ada lagi tampilan kepala babi di dapur restoran Cina yang dianggap bermasalah sehingga harus dibuang. LSF meminta kami mencantumkan keterangan “terinspirasi oleh kisah nyata” di film ini untuk mengimbangi hal-hal yang mereka anggap akan meresahkan orang.
FI: Bagaimana suasana diskusi di LSF?
HB: Anggota LSF kan terdiri dari berbagai macam unsur. Ada yang mewakili agama dan organisasi masyarakat (ormas) turunan tiap agama, ada lagi yang mewakili orang film. Sebetulnya dari kalangan orang film tidak ada masalah. Tapi karena tokoh dalam film merepresentasikan ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU), anggota yang mewakili golongan agama Islam lebih banyak mempersoalkan. Karena itu saya merasa perlu memperlihatkan dulu film ini kepada anggota Gerakan Pemuda Ansor (bagian dari organisasi NU, Ed.), supaya mereka tahu duluan gambaran organisasi mereka di dalam film ini. Ternyata buat mereka tidak ada masalah.
FI: Hasilnya?
HB: Ternyata akhirnya tidak banyak bagian yang dibuang. Saya lega karena plot film tetap tersampaikan secara utuh, tidak terasa terputus atau melompat-lompat.
FI: Mengapa film ini dibuat?
HB: Saya merasa perlu memperlihatkan Islam yang saya tahu. Selama ini Islam dianggap teroris, suka menghujat agama lain, dan tidak segan melakukan kekerasan. Islam yang saya tahu menyuarakan perdamaian dan merangkul semua kelompok. Banyak bagian cerita dalam film ini yang saya alami sendiri atau berasal dari kejadian nyata. Itu kenyataan Islam yang kita alami sehari-hari.
FI: Film ini menunjukkan secara langsung konfrontasi orang Islam dengan agama lain, bagaimana Anda meyakinkan produser untuk membuat film ini?
HB: Cerita film ini sebetulnya sudah saya buat sejak tahun 2009. Tapi memang tidak gampang mendapatkan investor untuk cerita seperti ini. Saya sendiri menjadi produser dan akhirnya Pak Erick Thohir mau menjadi produser eksekutif. Mencari sponsor juga tidak gampang. Terutama sesudah ada kasus bom buku, ada sponsor-sponsor potensial yang menarik diri.
Antara Film dan Kenyataan
FI: Sejak Ayat-Ayat Cinta persoalan pindah agama sudah dua kali Anda gambarkan dalam film. Kenapa?
HB: Kalau dalam Ayat-Ayat Cinta saya menyutradarai berdasarkan novel. Tugas saya sebagai sutradara merealisasikan apa yang ada dalam novel ke layar lebar. Tapi kalau diperhatikan, saya membuat supaya karakter yang pindah agama itu karena keinginan pribadi, bukan karena tekanan, keterpaksaan atau alasan apapun juga. Dalam “?” juga semua tokoh yang memutuskan pindah agama punya alasan pribadinya masing-masing. Jadi agama itu saya anggap jalan pribadi. Bahkan orangtua dan anak pun bisa memilih jalan yang berbeda tapi tetap saling mendukung.
FI: Tokoh Surya dapat masalah karena memerankan Yesus, padahal dia Muslim. Apa masalah ini pernah Anda alami?
HB: Ya. Waktu mencari pemeran Fahri untuk Ayat-Ayat Cinta sebetulnya saya, Ginatri S Noer dan Salman Aristo sudah jatuh cinta pada Oka Antara. Tapi Habiburrahman El-Shirazy keberatan karena Oka beragama Hindu. Akhirnya kita memutuskan menggantikan Oka dengan Fedi Nuril. Kalau memilih aktor, saya tidak bertanya dulu agamanya apa, yang penting cocok memerankan karakter dalam film.
FI: Kenapa berkompromi?
HB: Bikin film itu kan kerja banyak orang. Yang punya kepentingan juga banyak, ada saya, ada produser, ada orang-orang lain yang mendukung pembuatan film. Waktu membuat Sang Pencerah misalnya, kisah hidup KH Ahmad Dahlan berhenti sampai dia mendirikan Muhammadiyah karena sesudahnya dia poligami. Nanti tidak cocok dengan kebijakan Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah, Ed.) yang anti poligami. Film itu juga aslinya sepanjang 120 menit, tapi karena kepentingan komersial harus dipendekkan sampai 109 menit dengan membuang adegan-adegan yang penting untuk jalan cerita.
Selain menyesuaikan isi film, ada bentuk-bentuk negosiasi lain yang harus dilakukan. Misalnya, waktu membuat film Sang Pencerah saya juga bersilaturahmi dengan Muhammadiyah dan NU untuk mengamankan investasi di film ini.
FI: Apa saja yang akhirnya dibuang?
HB: Ada dua adegan penting sebetulnya. Adegan pertama adalah percakapan antara Sultan dan Dahlan yang terjadi setelah konflik dengan Kyai Penghulu. Dalam pertemuan itu Sultan menyarankan Dahlan untuk mendirikan masjid sendiri di Kauman. Mungkin karena adegan ini bisa melemahkan kekuatan karakter Dahlan sebagai inisiator, jadinya tidak disetujui.
Satu adegan lagi antara Dahlan dan seorang anak kecil dari sekolah Belanda yang tertarik pada sekolah buatan Dahlan. Anak ini bertanya kepada Dahlan, “Siapa guru sekolah ini? Kepala sekolahnya? Pemiliknya?” Untuk semua pertanyaan Dahlan menjawab, “Saya.” Anak itu menjawab, “Kalau begitu nanti waktu Anda meninggal, sekolah ini ikut meninggal bersama Anda.” Pembicaraan ini yang membuat Dahlan ingin mendirikan organisasi. Tapi adegan ini terpaksa dibuang karena pihak Muhammadiyah tidak bisa terima bahwa Dahlan mendapat inspirasi mendirikan organisasi dari seorang anak kecil.
FI: Setelah kompromi pun tidak semua pihak senang, kan?
HB: Memang ada beberapa pihak yang tidak sepenuhnya bisa menangkap seperti yang saya mau. Setelah membuat Sang Pencerah ada pihak yang menganggap saya malah wakil kaum liberal yang ingin mengubah wajah Islam. Di sisi lain ada juga yang mengaku kalangan Islam tradisional yang tersinggung karena merasa jadi bahan tertawaan.
Padahal saya sama sekali tidak bermaksud begitu. Kalaupun ada yang dengan sengaja saya buat komikal bukan untuk meledek kalangan Islam tradisional, tapi meledek sikap tertutup dan tidak mau menerima kemajuan zaman. Ini seharusnya berlaku pada siapa saja. Dan jelas Islam tradisional tidak semuanya memiliki sikap tertutup. Sikap tertutup ini ada di mana-mana, bukan terbatas di kalangan agama saja.
Buat saya sebuah karya mendapat tafsir dan tanggapan yang beda-beda, itu lumrah. Saya tidak perlu ngotot apalagi memperpanjang. Biarkan film saya yang bicara. My movie is my statement.
Pilihan Pesan Dan Bentuk
FI: Apa persoalan agama dan keberagaman jadi pilihan Anda?
HB: Tidak juga. Saya pernah bikin film remaja seperti Brownies, Get Married, lalu anak muda yang kritis seperti dalam Catatan Akhir Sekolah. Sebetulnya benang merah dari film-film saya adalah perjuangan melawan kebodohan dan pembiaran. Ini bisa terjadi di mana saja, kepada siapa saja dan kapan saja, dalam bentuk apapun. Kebodohan bukan selalu berkaitan dengan pendidikan formal, tapi sikap tidak mau tahu terhadap hal-hal yang ada dan terjadi di sekeliling kita. Sedangkan pembiaran, kita membiarkan ketidak-adilan dan penyelewengan, selama tidak mengena ke kita meskipun sebetulnya kita tahu dan paham. Inilah kebodohan dan pembiaran yang saya lawan.
Sebetulnya Jomblo barangkali adalah film yang buat saya paling fun. Kalau saya lihat lagi Catatan Akhir Sekolah kayaknya tokoh-tokohnya terlalu cakep (tertawa), tapi mungkin itu yang bikin filmnya jadi berhasil.
FI: Sepertinya film Anda selalu sarat pesan. Bagaimana dengan pengembangan bentuk film?
HB: Ada pesan-pesan yang memang bisa disampaikan dengan cara yang canggih bentuknya. Tapi kecanggihan itu bisa juga membuat pesannya tidak sampai pada penonton umum. Penyampaian yang saya pilih sangat verbal. Kalau harus memilih, saya lebih baik menyampaikan pesan kepada kalangan luas dibanding hanya segelintir orang saja.