Menonton film terbaru Ami Prijono berjudul Kenangan Desember orang bisa terkesima. Lebih-lebih bila orang menyaksikan bagian awal penataan gambar, penataan cahaya, pemilihan warna yang semuanya rapi, yang berhasil menyajikan dan sekaligus menjanjikan suasana misterius. Suasana misterius dengan sendirinya mengandung ketegangan.
Anna (Tanty Josepha) yang yatim piatu dan besar di biara datang ke rumah Frans Sumarahyana (Ishaq Iskandar) untuk mengajar kedua anaknya. Kedatangan Anna di rumah terpencil ini disamping membawa keceriaan kepada anak-anak, ternyata menumbuhkan kegelisahan pada Frans dan adik iparnya, Renata Waworuntu (Marini) yang diam-diam mencintai Frans tapi tak dibalas.
Sementara itu, Danny Waworuntu—adik Renata—yang kurang ajar mulai menaruh hati pada Anna, maka terjalinlah plot tersendiri untuk Danny. Karena merasa kurang dihargai, Danny pergi bekerja di Jakarta. Di sini ia membuktikan bahwa dirinya bisa hidup dan bekerja, bukan hanya kurang ajar.
Sayangnya plot sampingan tentang Danny yang kemudian pergi bekerja ini ditaruh pada bagian sepertiga terakhir film, sehingga struktur cerita buyar, sementara suasana misteri dan ketegangan yang dijanjikan di awal menjadi surut.
Kelemahan yang ada pada film ini sebenarnya terdapat juga pada film-film Ami sebelumnya. Tentu dalam film Karmila (1974), Dewi (1974), atau Kampus Biru (1976) bukan pada plotnya, tapi pada struktur dramaturginya, dan lebih khusus lagi, pada ritme film yang tidak licin.
Tapi bagaimanapun kita melihat bahwa film-film yang dibuat Ami banyak menghasilkan uang. Karmila dan Kampus Biru sudah membuktikannya. Namun banyak orang berpendapat bahwa sukses kedua film terakhir ini karena novel-novel tersebut sebelumnya memang sudah laris. Bila Kenangan Desember ini juga laku, maka Ami berhak berkata bahwa filmnya toh bisa bicara dan tidak harus tergantung pada novel orang lain.
Melihat gejala sukses Ami yang laris, dan kelarisannya itu menguatkan posisinya dalam menghadapi produser-produser, tentu menarik kalau berbincang-bincang dengannya.
Film Hiburan
Dengan Kenangan Desember ini, film apa yang hendak dibuat?
Yang saya arah itu membuat film hiburan. Hiburan dengan H besar. Ini memang slogan. Namun saya juga bertanya—terlepas dari kritik-kritik yang ada—apakah film saya ini menjemukan atau tidak. Membuat film hiburan selalu mengandung risiko. Ada hal-hal yang dipaksakan, yang aneh, yang tak masuk akal.
Kalau Kenangan Desember?
Semangatnya atau idenya adalah saya tertarik kembali pada masalah anak-anak muda, pada bagaimana suatu perjalanan pendewasaan. Tema ini memang selalu tampil dalam film-film saya. Dalam Kenangan Desember ini terdapat pada tokoh Danny Waworuntu.
Ide itu dibungkus dalam cerita yang misterius.
Itulah bangunan sebuah film hiburan. Dan saya ingin penonton betah menonton.
Bila ide dasarnya tentang pendewasaan Danny, kenapa plotnya seakan lepas dari plot utama. Dan apakah Anda setia pada skenario ketika menggarap film ini?
Selama shooting kita setia pada skenario. Setia dengan penafsiran. Cuma waktu material sudah jadi, kita menyusun plot baru, berdasarkan gambar yang tersedia. Juga, berdasarkan mood kita, kelebihan, dan kekurangan gambar, sehingga terjadilah seperti yang ada sekarang.
Dengan susunan begini bukankah ada bahaya bahwa film itu tidak membetahkan penonton, karena ketegangan yang dijanjikan di awal ternyata tidak semakin tegang tapi malah menurun?
Celakanya adegan pesta gila di akhir film itu adegan vital buat saya, karena di sini saya ingin membandingkan Danny dengan pemuda-pemudi lain. Mungkin karena asyik menggarap ini, saya lupa bahwa di awal saya sudah menjanjikan surprise yang ternyata tidak ada. Produser memang minta agar bagian ini dipotong, tapi sulit sekali. Namun saya toh ingin mengujinya pada penonton ramai.
Tampang film ini tampaknya bukan Indonesia. Apalagi ditingkah dengan lagu-lagu Halleluya ataupun Ave Maria?
Dengan sengaja saya tidak memedulikan slogan mencari wajah Indonesia. Masalahnya buat saya, mampu tidak film ini memikat penonton. Tercapai tidak kerenyahan muda-mudi itu. Pada dasarnya saya tidak suka membuat film lurus saja. Saya bisa menerima pendapat bahwa saya tidak konsisten mempertahankan bangunan suasana misterius itu. Tapi saya juga tidak bisa lepas dari gagasan memperlihatkan pendewasaan Danny.
Seberapa jauh Anda mencampuri pekerjaan art director mengingat Anda bekas art director dan juru kamera?
Terhadap Fred Watik (art director) saya berusaha mengerem, terhadap Adrian (kamera) saya meminta lebih banyak. Tapi pada awalnya kita diskusi.
Apakah selanjutnya Ami akan meneruskan membuat film hiburan?
Saya rasa begitu. Membuat film hiburan yang baik juga sebuah kesenian. Justru dengan keadaan masyarakat begini, di mana hampir seluruh waktunya untuk mencari makan, tentu yang dilihat dalam film adalah apa yang bisa dibawa pulang.
Apa resep film hiburan?
Resep elementernya SST. Bukan super sonic transport, tapi surprise, shock, dan touching. Gaya dan jenis bisa bermacam-macam. SST ini tentu yang ideal menuju kriteria.
Bisa memberi contoh?
Umpamanya Lisptick, Adventurer, Viva Zappata. Sayangnya film hiburan punya kecenderungan mempermanis ending untuk menunjukkan bahwa ini hanya cerita, fantasi, sehingga sepi risiko.
Apakah mempermanis itu merupakan kompromi dengan produser?
Kadang-kadang dengan produser, kadang-kadang dengan penonton. Yang paling saya perhitungkan adalah kompromi dengan penonton. Ada penonton yang ingin hanyut saja selama satu jam 45 menit. Yang ingin saya capai adalah memberi gambaran kepada penonton dari tata masyarakat yang semrawut ini bahwa mereka tidak sendirian. Ini kan juga hiburan.
Bagaimana mengetahui kemauan penonton?
Saya selalu menonton film saya bersama penonton dan saya tanya mereka. Ini memang bukan kesimpulan mutlak, dengan Kenangan Desember yang ingin melangkah lebih lanjut dengan membuat akhir yang tidak manis. Film ini dibuat dengan biaya besar dan diperjualbelikan sebagai barang dagangan, dan orang menonton dengan membeli karcis, sehingga kita harus mempertanggungjawabkan semua ini kepada mereka.
Ketika film diputar kita disuruh menari sendirian di layar, tanpa bisa komunikasi langsung dengan penonton yang duduk di tempat gelap tidak kelihatan. Ini pekerjaan yang sulit dan menantang setiap sutradara.
Apa film Anda berikutnya?
Jakarta, Jakarta. Tentang anak muda lagi.
Apakah benar bahwa peralatan yang ada di sini sering menghambat kreativitas atau pekerjaan?
Sebagian betul. Tapi tantangannya adalah bisakah membuat film yang komunikatif dengan alat yang sederhana. Ternyata bisa. Kita memang tidak punya peralatan direct sound, dolly crane, zoom lens 1500. Film ini harus disadari sebagai seni massa. Dibuat bersama-sama. Jangan mimpi ini one man show. Kalau mau begitu, tinggalkan saja dunia film. Saya memang punya impian sendiri. Kalau saya punya uang sendiri, atau ada orang gila yang memberi uang, saya ingin membuat film dokumenter yang tentu saja artistik. Di sinilah bisa one man show.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 17 Mei 1977.