Pada Desember 2007, Mirwan Andan dari redaksi Katalog Film Indonesia menemui Lukman Sardi. Ia bicara tentang tantangan peran, pendalaman karakter dan peran yang ia impikan. Lukman juga membandingkan antara dunia film Indonesia saat dia masih menjadi aktor anak dengan sekarang.
Apa yang menarik Anda muncul kembali setelah lama berhenti dari dunia acting?
Gue menyukai dunia acting secara tidak sengaja. Gue dari kecil udah main film meskipun tidak paham apa itu dunia acting. Gue suka sekali nonton film, sampai akhirnya gue merasa bahwa di dunia film itu ada semacam kebebasan berimprovisasi seliar-liarnya. Batasan tetap ada, tapi ada pelepasan yang bisa gue dapatkan dalam dunia acting yang dalam norma hidup biasa tidak bisa dilakukan. Dan ini semua gue lakukan dengan sadar. Gue juga belajar banyak karakter dan gue suka itu, makanya gue cinta dunia acting.
Waktu kecil gue sempat main film terus berhenti. Waktu kuliah Hukum di Trisakti, gue merasa bahwa ini bukan dunia gue, tapi karena udah telanjur makanya gue selesaikan. Saat itu gue suka musik dan film, tapi belum mengerti banget.
Setelah lulus kuliah, gue sempat kerja di beberapa tempat: di perusahaan asuransi, kerja dengan teman dan terakhir di taman bermain anak-anak. Pekerjaan di taman bermain itu sebetulnya gue sukai, cuma karena itu bukan bidang ilmu gue makanya nggak ada kesempatan gue untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tiba-tiba ada tawaran dari PERSARI untuk main sinetron tapi saat itu gue belum tertarik. Keputusan gue untuk masuk ke film secara total yaitu saat syuting film Gie.
Peran apa yang paling sulit?
Semua peran sebetulnya penting, apakah peran itu kecil atau gede, bagi gue itu tetap saja penting. Tapi kalau ngomongin titik balik [buat gue] ada di film Gie. Gue sempat berpikir bahwa nggak mungkin gue mau di film terus karena secara fisik gue nggak ganteng, nggak tampang bule.
Saat main di Gie gue merasa ada bakat peran. Setelah ngobrol sama Mbak Mira dan Mas Riri gue menyadari itu bahwa gue punya kelemahan secara fisik tapi gue bisa ngeluarin kelebihan gue misalnya gue sensitif terhadap karakter dan merasa lebih gampang untuk masuk ke satu karakter. Gue juga perhatiin orang-orang yang kerja di film, kelihatannya semua orang sangat enjoy, total dan gue merasa itu bakal menyenangkan buat gue juga.
Herman Lantang yang gue peranin itu seseorang yang nyata dan sampai saat inipun masih hidup. Gue pastinya harus riset tentang dia secara mendalam. Gue harus tahu bagaimana karakternya dia, orangnya seperti apa, bagaimana hubungannya persahabatannya dengan Soe Hok Gie. Itu butuh proses yang melelahkan dan cukup sulit. Waktu itu gue baru masuk lagi ke film dan langsung dapat yang seperti itu. Di situ gue nggak bisa berimprovisasi bebas karena ada patokan, yang kalau kelewatan orang akan bilang, "Wah, ini bukan Herman Lantang!" Itu hal yang paling sulit yang pernah gue lakuin.
Gue meriset Herman Lantang cukup lama, karena proses reading-nya Gie juga cukup lama. Selama beberapa bulan Bang Herman sering datang, dia juga advisor-nya Mas Riri. Gue nggak bilang ke dia bahwa gue lagi riset tentang dia. Gue cuma perhatiin dia dari jauh, bagaimana gerak-geriknya, cara ngomongnya, bagaimana setiap dia cerita tentang Gie dia selalu terharu, matanya ngembeng. Gue mencari jalan, gimana ya rasanya seperti itu? Akhirnya gue nemuin jalan yaitu harus selalu bersama Nico, agar chemistry-nya dapat. Kemana-mana gue selalu berdua sebagai sahabat. Dari situ gue merasa apa yang dirasain Bang Herman. Proses itu jalannya cukup lama, gue merhatiin mulai dari cara dia duduk, cara ngomong, sampai caranya bilang "Tai Kucing!" Waktu itu kita sempat survei ke Pangrango dan Bang Herman ikut. Gue dan Nico di gunung itu ditaruh di tenda yang pernah dia pakai sama Gie di spot di mana mereka suka pasang tenda.
Di Naga Bonar Jadi 2, kesulitan gue adalah bagaimana mengatasi nervous-nya gue sama Bang Deddy, karena menurut gue tetap aja dia living legend. Film yang gue mainin adalah sekuel dari film yang dulunya sukses: Naga Bonar. Peran gue selalu ditekankan oleh Bang Deddy sebagai peran penting. Kata dia, "Peran lo adalah oase." Di tengah keribetan ada Umar yang menghangatkan. Dan buat gue itu sesuatu yang baru juga karena peran gue sebelumnya selalu sebagai lelaki yang keras. Di situ gue harus tone down banget, harus jadi orang yang selalu bersyukur.
Untungnya Bang Deddy bukan orang yang sok senior. Dia mau berbaur sama kita dan sampai akhirnya kita semua nyaman acting sama dia. Gue latihan bawa bajaj dan nggak ada kesulitan karena kayak Vespa cuma nyalainnya aja yang susah.
Karakter tukang bajaj kayak Umar itu susah, karena menurut gue dia itu satu di antara seribu orang: tidak pernah mengeluh dan hidupnya sangat sederhana serta bersyukur. Dulunya gue sebel sama tukang bajaj karena bikin kacau di jalan, tapi akhirnya ada toleransi karena hidupnya ternyata susah, bersaing dengan tukang bajaj yang lain.
Peran apa yang paling Anda impikan?
Jadi cewek. Gue nggak tahu kenapa, gue pengen banget peran jadi cewek. Cewek dalam artian cewek yang sebenar-benarnya, bukan berperan sebagai banci atau cowok yang dioperasi jadi cewek. Menurut gw peran itu pasti susah, karena gerak-gerik cewek beda banget ama cowok. Itu menantang banget, bisa bagus banget dan bisa hancur banget, nggak bisa di tengah-tengah. Gue suka menantang diri gue untuk menjadi lebih baik. Gue rasa bahwa jika gue berhasil berperan jadi cewek, gue akan punya kepuasan tersendiri.
Gue terkagum-kagum lihat Dustin Hoffman di Tootsie atau Robin Williams di Mrs. Doubtfire di mana mereka betul-betul berperan sebagai cewek, bukan banci yang tetap harus ada unsur laki-lakinya malah kadang dilebih-lebihkan gayanya. Gue nggak peduli, peran cewek yang akan gue mainin itu mau cewek yang sedih atau cewek yang berbahagia. Selain itu gue juga mau banget main film perang, film perang yang tidak hanya dar der dor, tapi unsur manusianya juga terlihat. Sebetulnya cerita perang di Indonesia banyak, bukan hanya cerita perang kemerdekaan, tapi misalnya perang Indonesia dengan GAM atau dengan OPM atau di Timor Leste.
Bagaimana perubahan film Indonesia sejak Anda bekerja sewaktu kanak-kanak dengan sekarang?
Kalau dari segi teknis, waktu gue masih kecil, sutradara percaya banget ama DOP (penata kamera/director of photography, red) karena nggak ada monitor. Habis shooting 2 minggu berikutnya masuk studio untuk dubbing. Sekarang kan direct sound. Saat ini [teknologi] udah maju banget.
Dulu tema cerita film lebih beragam dan sederhana tapi sampai pesannya, bukan tema-tema yang njelimet. Sekarang, orang cenderung mencari tema yang ribet, meskipun itu sah-sah saja menurut gue.