Mengikuti proses Alex Komang sebagai seorang aktor tentu tidak bisa dilepaskan dari Teater Populer yang didirikan oleh almarhum Teguh Karya. Nama-nama seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan George Kamarullah pernah mengalami proses di tempat ini. Alex Komang masih mengingat betul proses pembelajaran yang ia alami di Teater Populer. Salah satunya saat ia diminta menjadi penulis skenario untuk film Doea Tanda Mata, yang mengantarnya menjadi unggulan FFI di tahun 1985.
Film Indonesia (FI): Meski lebih dikenal sebagai aktor, Anda pernah menulis skenario untuk Doea Tanda Mata dan menjadi unggulan FFI. Apakah sebelumnya pernah ada latar belakang menulis?
Alex Komang (AK): Saat saya remaja, saya cukup aktif di lingkungan Gelanggang Remaja Bulungan. Saya berteater di sana. Tetapi karena di lingkungan itu banyak sastrawan muda, saya pun tenggelam di dalamnya. Pada dasarnya saya menyukai kesusastraan saja. Beberapa di antara kami memang ada yang menjadi cerpenis. Menulis itu sebagai sampingan juga untuk menghidupi saya. Kalau dihitung, saat itu yang lumayan bagus adalah honor menulis cerpen dari majalah Hai. Menulis juga bagian dari tahap pencarian saya. Ibaratnya, orang Jawa bilang, ngangsu. Ngangsu pengalaman. Mungkin itu bisa dijadikan latar belakang saya dalam menulis.
Cerita sendiri, bagi saya fungsinya seperti sandaran. Kalau kita mau menulis, sebenarnya kita menyampaikan pikiran-pikiran. Buah pikiran ini harus memiliki bentuk, harus bersandar. Cerita itu adalah sandarannya. Ada kebergantungan di antara keduanya, seperti bergantungnya panas pada api. Membuat sandaran tidak gampang, perlu latihan banyak. Beruntung saya tumbuh di lingkungan yang baik untuk belajar banyak tentang hal itu.
FI: Dari berteater dan menulis cerpen, Anda lalu menjadi pemain film, bagaimana ceritanya?
AK: Waktu itu ada pidato kebudayaan Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki. Kami, anak muda yang gondrong-gondrong dan seolah seniman sangat haus akan peristiwa-peristiwa semacam ini. Di saat itu saya ketemu Pak Teguh. Dia sedang mencari aktor untuk film Merobek Angan Angan (judul awal Secangkir Kopi Pahit). Lucunya semua kru dan pemain sudah siap, hanya tokoh utama yang sedang dia cari. Saat itu Pak Teguh menawarkannya kepada saya. Pada awalnya saya berpikir, sepertinya saya tidak bisa. Beliau katakan, "Apabila berkenan silahkan datang dan saya tunggu."
Ada hal yang cukup menarik, yang beliau lakukan ketika akhirnya saya memutuskan untuk datang ke tempatnya. Awalnya dia mengeluarkan koleksi kain ulosnya dan meminta saya memilih tiga kain yang saya anggap paling bagus. Setelah itu kain-kain dirapikan kembali dan dia mengajak saya mengobrol seperti biasa. Selesai itu lalu pulang. Baru sekarang ini saya sadar, dia ingin tahu taste saya, waktu itu. Apakah saya memiliki selera yang bagus? Bagi dia, sangat penting untuk tahu secara khusus karakter orang.
Setelah itu saya disuruh jalan, dari pintu gerbang. Ditonton oleh banyak orang. Beberapa kru inti juga ada di sana. Pada waktu itu saya berjalan biasa saja, lalu saya mendengar kalau saya dipanggil dan akhirnya saya menengok seperti biasa. Waktu itu Pak Teguh bilang, "Oke, kamu cukup lentur." Dari pengalaman tersebut saya memahaminya sebagai upaya untuk mengecek, apakah pikiran dan hati memiliki keselarasan. Biasanya saat seorang aktor di atas panggung atau dilihat oleh penonton, dia membentuk gesture lebih dari yang biasa. Hal tersebut dikendalikan oleh perasaan di luar dari seharusnya. Dan ternyata saya tidak terpengaruh dengan hal ini, ketika dipanggil ya, saya hanya menengokkan kepala saja, dan tidak seluruh badan yang bergerak.
Sampai pada akhirnya saya bermain film Secangkir Kopi Pahit. Kebetulan film itu rilisnya bersamaan dengan Doea Tanda Mata. Sambil menunggu uang untuk proses pasca produksi Secangkir Kopi Pahit terkumpul, kita bikin Doea Tanda Mata. Cukup kaget ketika Pak Teguh meminta saya menulis skenarionya. Saya sampaikan, "Saya nggak punya pengalaman." Dia membalas, "Ya, cari pengalaman." Dan rupanya ini kebiasaan Pak Teguh. Teman-teman di Teater Populer sudah biasa mencari pengalaman lain, di luar akting. Usut punya usut ternyata, Pak Teguh memiliki kliping tulisan saya di majalah Hai. Mungkin dari situ dia tahu kalau saya pernah menulis sebelumnya (tertawa).
FI: Bagaimana sebetulnya cara setiap orang berproses di Teater Populer? Anda yang seorang aktor, menjadi penulis skenario. Lalu George Kamarullah yang sekarang ini lebih dikenal sebagai seorang Penata Visual.
AK: Persoalan yang sering dilupakan oleh seorang aktor salah satunya adalah berpikir sinematik. Contohnya saya mengambil gelas, lalu langsung meminum airnya. Bandingkan dengan saya mengambil gelas lalu berhenti sebentar, setelah itu baru meminum airnya. Dari perbedaan kedua hal tersebut, kita akan tahu ada yang ingin disampaikan ketika gelas ini berhenti sebentar. Seorang aktor harus mengerti kompisisi. Itu tanggung jawab kita sebagai pemain. Kalau tidak mengerti hal-hal seperti itu, dia akan terlihat seperti robot saja, karena motivasinya tidak jelas. Proses pembelajaran seperti itu kami lakukan di Teater Populer.
George sendiri tadinya aktor, lalu menjadi editor, habis itu jadi penata kamera. Dia belajar sendiri, dalam artian tidak akademis. Seperti di pesantren dengan metode belajar sorogan. Metode tersebut memang lebih personal. Santri yang memiliki kesulitan, akan mendatangi kiainya. Dalam hal ini, saya mendatangi Pak Teguh bila mendapat kesulitan, bertanya langsung dan meminta solusi. Jadi di dalam Teater Populer sendiri, pendidikan itu berjalan, hanya tidak akademis. Kurikulum itu sudah jadi di dalam diri kita.
Tiap kali ada acara pembukaan pameran misalnya, kita jalan rombongan. Pernah suatu kali kita nggak mau jalan, karena merasa acaranya jelek. Pak Teguh hanya menjawab, "Bagaimana kamu tahu yang baik, kalau kamu saja nggak tahu yang jelek."
Hari-hari kami gunakan untuk belajar. Membaca misalnya. Seorang aktor mana mungkin tidak membaca buku? Pengalaman batin itu tidak harus dilalui secara empiris, ada buku dan referensi lain. Saya bisa mengerti New York dari buku dan film. Pengembaraan itu bisa dilakukan lebih dengan akal pikiran kita. Kesadaran seperti ini yang saya kira tidak terpelihara. Apresiasi seorang sineas atau aktor, terhadap kesusastraan, sekarang ini semakin sedikit. Maka kita sering sekali mendengar, "intonasinya nggak begitu, harusnya begini.." Kalau dia menguasai kesusastraan, dia akan percaya intonasi sebagai bentuk. Intonasi akan lahir dengan sendirinya dari pengertian yang kamu tangkap.
Kami juga menonton film-film yang tidak begitu populer di Indonesia. Film-film dari luar negeri yang entah bagaimana caranya, kami bisa mendapatkan itu di perpustakaan kami. Tiap hari pekerjaan saya menonton film-film itu.
FI: Di Teater Populer semua orang bebas memilih?
AK: Bukan memilih, tapi karena dia merasa butuh untuk tahu segala macam hal itu. Ada yang bergerak sendiri, ada juga yang didorong. Contohnya saya dengan menulis skenario itu tadi.
Tetapi juga ada teman yang disuruh berhenti. Oleh Pak Teguh, "Sudah kamu nggak usah di sanggar, kamu kerja saja, sudah mentok kamu, jadi aktor nggak bisa." Orang itu jelas marah sekali. Belakangan setelah kita bertemu lagi, orang itu ternyata mencoba berdagang dan sukses. Pak Teguh bisa melihat potensi tiap orang. Berbeda dengan sistem yang ada di sekolah, yang selalu terpaut pada nilai, pada angka. Di sini kita hanya terpaut dengan bisa atau tidak bisa. Hal seperti ini jelas tidak bisa diterapkan di sekolah, karena ada kepentingan meluluskan orang yang sudah membayar uang kuliahnya.
Itulah alasan kenapa semuanya mencoba beberapa hal di luar akting. George bahkan pernah menghitung bon, dia pernah jadi unit. Di tempat kita, juga tidak ada bintang. Kalau lantai kotor, ya dipel.
FI: Pada waktu itu, sebagai sebuah sanggar, dari mana Teater Populer menghidupi dirinya dan orang-orang yang ada di dalamnya?
AK: Kami semua murni hidup dari film.
FI: Apakah pernah ada permasalahan? Mengingat perbedaan medium antara teater dengan film.
AK: Ada satu cerita, kalau kita tonton film Wadjah Seorang Laki-Laki. Mas Slamet waktu itu belum mengerti, Pak Teguh pun lupa mengingatkan. Ada dialog yang diucapkan oleh Mas Slamet, "Apa kau!" Dengan suara yang kencang, padahal jarak antar pemain cukup dekat. Meski sudah di-dub, tapi bentuk mulut tentu berbeda antara bersuara kencang dengan pelan. Pada saat saya masuk Teater Populer, Pak Teguh sudah teliti dengan hal seperti itu. Kalau suara kamu keras, pada akting panggung, agar yang nonton di belakang sana juga dengar. Kita sudah dilengkapi oleh Tuhan, alat resonansi yaitu leher dan kerongkongan, dan proyeksi suara yaitu rongga mulut.
FI: Kenapa tidak menulis skenario lagi setelah Doea Tanda Mata?
AK: Sebetulnya nulis, setelah itu saya pernah menulis untuk beberapa program di TVRI. Untuk layar lebar, ya kita lihat saja nanti. Saya juga tidak tahu.