Pembaca buku novel Indonesia tentu tidak asing dengan nama Mira W. Lahir dengan latar belakang keluarga Wong bersaudara, yang memproduksi beberapa film di awal sejarah film Indonesia, tidak membuat Mira memutuskan untuk terjun ke dunia yang sama. Tetapi siapa sangka, akhirnya beberapa cerita yang ia tulis amat diminati beberapa produser untuk diangkat ke layar lebar dan layar kaca. Dari 78 novel yang telah ia tulis, 23 di antaranya sudah diangkat ke layar lebar. Di sebuah ruang klinik salah satu universitas di Jakarta, Mira Widjaya bercerita tentang beberapa novelnya yang diangkat ke medium film dan sinetron.
Film Indonesia (FI): Apa yang biasanya dilakukan oleh para pembuat film yang ingin mengangkat cerita di novel Anda ke film?
Mira Widjaya (MW): Produser yang membaca buku saya, lalu suka dan berminat memproduksinya akan menghubungi saya. Beberapa produser, yang sudah mengenal saya dari tahun 80-an, biasanya langsung menelepon. Beberapa produser baru biasanya menghubungi penerbit. Lalu penerbit akan meminta persetujuan saya. Setelah itu biasanya kita membicarakan hal-hal selanjutnya, misalnya siapa yang mau menyutradarai film ini, dan siapa saja yang kira-kira cocok untuk memerankan filmnya.
FI: Sebagai penulis cerita, produser juga meminta saran Anda untuk sutradara dan pemain?
MW: Iya, itu kerap terjadi. Tentunya keputusan tetap berada di tangan produser. Saya hanya memberi masukan, siapa pemain, sutradara, maupun penulis skenario yang cocok untuk film ini. Yang saya ingat, pada film Arini (Masih Ada Kereta yang Akan Lewat), saya mengusulkan Widyawati dan Rano Karno sebagai pemainnya. Kemudian Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi yang disutradarai Wim Umboh. Pada waktu itu saya minta sama Om Wim, bagaimana kalau Roy Marten dan Widyawati yang main, karena keduanya cocok sekali. Untuk Cinta Sepanjang Amazon yang difilmkan dengan judul baru True Lovejuga. Di film itu saya menyarankan Mario Lawalatta dan Happy Salma ikut bermain.
FI: Bagaimana cara para produser tersebut mengambil cerita? Apakah satu judul saja, atau ada yang meminta dalam bentuk paket, beberapa cerita dalam satu periode?
MW: Biasanya beberapa produser yang sudah mengenal saya, memilih untuk mengambil beberapa cerita sekaligus, untuk film dan sinetron yang akan mereka produksi. Tapi ada juga yang mengambil satu buah cerita saya saja.
FI: Anda pernah menulis cerita khusus untuk film?
MW: Kalau maksudnya skenario, tidak pernah. Karena skenario menuntut keahlian khusus, sedangkan saya hanya menulis novel. Saya kira antara menulis novel dengan menulis skenario mesti ada perbedaan. Jadi saya pikir setiap orang harus dengan talentanya sendiri dan menempati tempat yang sesuai dengan keahliannya .
FI: Sebenarnya apakah latar belakang Anda, sampai menjadi penulis seperti sekarang ini?
MW: Sejak SD saya hobi menulis, mulai dari catatan harian, majalah sekolah, dan majalah dinding. Saya lalu mencoba mengirimkan cerpen ke penerbit. Beruntung sekali, hasil tulisan saya diminati oleh penerbit dan juga oleh pembaca. Tahun 1975 saya menulis cerpen dan mulai menulis novel sejak tahun 1977. Akhirnya selain dokter, menulis pun menjadi profesi untuk saya sekarang ini (tertawa).
FI: Apa yang sebenarnya terjadi pada periode itu, sehingga gaya penulisan pada novel menjadi seperti gaya penulisan Anda dan Marga T?
MW: Tahun 70-an, karya Marga T meledak. Ia menulis dengan tema dan gaya yang berbeda. Setelah itu beberapa penulis perempuan pun muncul. Menurut saya pada saat itu ada perubahan, dibanding tema tulisan di tahun-tahun sebelumnya. Saya kira, tiap-tiap dekade itu muncul penulis baru dengan gaya yang berbeda. Di tahun 50-an kita melihat tulisan NH Dini, kemudian di tahun 90-an Ayu Utami juga menulis dengan gaya yang berbeda. Saya kira tiap dekade memang harus muncul gaya yang berbeda. Di lain pihak, saya bersyukur sekali. Walau sudah berganti dekade, novel saya tetap memiliki pembaca yang setia.
FI: Mengapa tema cinta menjadi benang merah dari setiap novel ibu?
MW: Dulu, sebagai penulis baru, saya hanya menuliskan apa yang saya rasakan, kemudian mengirimkan cerita tersebut ke surat kabar ataupun majalah. Pada saat itu, saya hanya berharap cerita saya diterbitkan. Kalau sekarang ini mungkin kita baru berpikir, bahwa hal itu menjadi ciri khas saya. Saya yakin tema cinta, sampai kapan pun tidak akan membosankan. Generasi Anda maupun generasi saya sudah akrab dengan tema cinta (tertawa). Karena cinta selain abadi, juga humandan universal. Di luar negeri pun, tetap saja tema-tema tersebut masih dipakai.
Dalam menulis sebenarnya modal utamanya adalah kecintaan kita pada dunia tulis-menulis. Setelah itu, tuliskan saja apa yang kita rasakan pada saat itu, jangan terlalu larut berpikir. Setelah itu cobalah untuk mengirimkan. Apabila kita tidak berani mengirimkan ke majalah, surat kabar atau penerbit lainnya, maka selamanya hanya akan jadi kertas. Kadang tulisan-tulisan kita yang awalnya kita pikir tidak begitu bagus, ternyata bisa diterbitkan. Usahakan ambil tema yang dekat dengan kehidupan kita, biasanya akan lebih mudah.
FI: Berarti beberapa novel ibu yang bertemakan cinta itu dibuat ketika Anda sedang jatuh cinta?
MW: Oh iya! Jelaslah. Kalau sekarang mungkin nggak ya, tapi waktu masih remaja, tentu saja (tertawa). Dan kalau perasaan itu sudah ditumpahkan ke dalam tulisan, bisa dibagi-bagi dalam beberapa buku. Dan setiap buku memang akan ada pengalaman pribadi yang mau tidak mau pasti masuk ke sana.
FI: Latar belakang sebagai dokter juga berpengaruh pada cerita-cerita itu?
MW: Iya, karena banyak ide cerita saya yang diambil dari pasien-pasien saya. Ada yang menceritakannya secara sukarela, ada juga yang saya ambil sendiri.
FI: Menulis novel sejak tahun 1977 dan sudah menghasilkan 78 novel. Berarti rata-rata Anda menulis sebuah novel dalam tiga bulan?
MW: Iya. Biasanya seperti itu kalau sedang masa produktif. Kadang juga datang masa non-produktif, di saat saya sedang tidak ada mood. Biasanya saya tidak ingin memaksakan diri untuk menulis. Mood saya biasanya datang di saat ada waktu luang. Di antara dua masa itu, saya biasanya mengisi catatan harian, tetapi tidak memaksakan harus menjadi sebuah novel. Nah itu kesulitan saya. Biasanya produser-produser yang sudah mengenal saya, kadang-kadang memiliki ide dan meminta saya untuk mengembangkan ide tersebut. Saya tidak bisa seperti itu, karena di saat saya tidak mood, saya benar-benar tidak ingin menulis.
FI: Di dalam keluarga Anda ada empat pembuat film. Tiga orang yang dikenal dengan Wong bersaudara dan Willy Wilianto, kakak Anda. Dulu, latar belakang ini tidak membuat Anda ingin menjadi pembuat film?
MW: Benar sekali Wong Bersaudara itu adalah ayah dan paman saya. Semula Nelson Wong, yang paling tua, menekuni bidang film. Waktu itu ayah saya, Othniel Wong, masih sekolah di Amerika. Pada saat ayah saya pulang ke sini (Indonesia), dia membantu kakaknya membuat film. Ternyata kakaknya gagal. Akhirnya ayah saya, bersama Joshua Wong, kakak kedua, melanjutkan usaha tersebut. Kebetulan bertemu dengan Albert Balink. Waktu itu tahun 1936. Dia meminta untuk membuat Terang Boelan, yang dibintangi oleh Roekiah dan Rd Mas Kartolo. Waktu itu Nelson Wong sudah sakit-sakitan dan tidak menekuni film lagi. Akhirnya ayah saya bersama Joshua Wong yang memproduksi itu di bawah PFN. Setelah itu tahun 1949 membuat Bengawan Solo yang pertama, dibintangi Sofia WD dan Raden Mochtar. Film itu dibuat ulang oleh kakak saya pada tahun 1971, dibintangi oleh WD Mochtar dan Rima Melati.
Saya rasa untuk menjadi pembuat film, tidaklah. Profesi saya sebagai dokter sudah cukup membuat saya sibuk. Kemudian saya juga menulis, meskipun hal tersebut awalnya hanya hobi. Ketika sudah jadi profesi, maka saya juga harus berkonsentrasi dengan profesi ini. Saya sebelumnya juga menjadi dosen, baru saja pensiun. Saya pikir hal itu cukuplah.
FI: Dari beberapa sutradara yang mengangkat cerita Anda, sutradara mana saja yang Anda rasa cocok?
MW: Saya mengerti betul, tidak semua sutradara akan berhasil mengangkat novel ke layar kaca ataupun layar putih, karena medianya kan berbeda. Apalagi di film dibatasi oleh durasi. Sebuah novel agak sulit kalau dibatasi oleh durasi, terutama untuk menceritakan secara detail. Sebaliknya terjadi di televisi (sinetron), panjang sekali. Kalau sinetronnya sukses biasanya langsung diperpanjang. Hal itu cukup sulit untuk saya.
Memang ada beberapa sutradara yang berhasil mengangkat cerita saya utuh, baik ke layar kaca maupun layar lebar. Di layar lebar antara lain: Wim Umboh, dia berhasil mengangkat Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi. Kemudian Sophan Sophiaan waktu mengangkat Arini; Masih Ada Kereta yang Lewat dan Sesaat dalam Pelukan, itu juga bagus. Kalau di televisi, selama ini yang saya lihat bagus adalah Maruli Ara, dengan novel Seandainya Aku Boleh Memilih, yang di televisi berjudul Cinta. Yang terakhir ini Pak Dedi Setiadi, saya lihat dia berhasil mengangkat novel saya ke layar lebar. Karena dia setia dengan benang merah yang ada di novel saya. Beliau juga piawai sekali menyutradarai artis-artisnya, sehingga mereka menjadi tokoh dalam buku saya. Jadi saya anggap beliau juga berhasil.
FI: True Love mengalami perubahan latar dari cerita awal Cinta Sepanjang Amazon. Seberapa besar andil Anda sebagai penulis cerita asli dalam proses perubahan ini?
MW: Memang ada perubahan latar pada film True Love. Sebenarnya kita sudah sempat hunting ke lokasinya, namun ternyata di Brazil ada ketentuan harus memakai kru lokal. Nah itu yang menjadi kendala. Sebelumnya saya menyarankan ke Mahakam, karena banyak sungai besar dan panjang, menyerupai sungai-sungai di Amazon. Tetapi sewaktu kita melihat lokasi di Raja Ampat, kita tertarik sekali, karena lokasi tersebut luar biasa, bagus sekali. Maka kami memutuskan untuk mengambil lokasi di Raja Ampat saja.
Begitu juga dengan tempat pelarian tokoh Vania. Sebetulnya di buku, saya mengambil Australia, karena ayah mertuanya berkuasa sekali. Kalau saya menempatkan pelariannya di Indonesia saja, saya khawatir orang akan berpikir lokasi pelarian mudah sekali ditemukan. Tapi karena di Australia izinnya agak sulit, sampai di saat terakhir beberapa pemain tidak mendapatkan visa, sehingga kita memindahkannya ke Swedia. Di sana kebetulan dibantu oleh beberapa teman, dan jadi mudah sekali urusan-urusan di sana.
FI: Apakah ada kritik dari penonton film yang juga pembaca setia novel ibu?
MW: Kritikan yang paling keras biasanya datang dari sinetron yang mengangkat cerita saya. Mereka biasanya protes, "Loh kok ceritanya jadi seperti itu? Kok jadi ngawur? Nggak nyambung." Seperti biasa hal itu saya terima dengan tangan terbuka. Paling saya sampaikan kepada produser. Kalau terhadap buku saya sendiri, memang ada beberapa buku yang mereka kritik. Misalnya Relung Relung Gelap Hati Sisi. Kebetulan itu kisah tentang lesbian. Mereka tidak puas dengan cerita itu. Mengapa akhirnya sad ending. Tapi saya pikir, kita tidak bisa bikin happy ending, karena memang itu sebenarnya sebuah kisah nyata. Jadi saya tidak bisa mengubah terlalu banyak. Dia adalah salah satu pasien saya. Memang dia menderita sekali. Jadi saya tidak bisa membuat itu happy ending, kalau kita lihat sampai sekarang dia, seorang lesbian, kadang masih tersisihkan di masyarakat. Walaupun secara kedokteran hal itu tidak bisa dianggap lagi sebagai deviasi.
Untuk Cinta Sepanjang Amazon, mereka mengkritik kurang lebih sama, "mengapa open ending?" Pada saat saya bertemu dengan Dedi Setiadi, ia mengatakan masyarakat tidak begitu suka dengan open ending, karena itu ia meminta izin "bagaimana kalau film ini dibuat dengan happy ending?".
FI: Sebagai penulis, apa tujuan Anda hanya menyampaikan cerita? Tidak ingin ada pencapaian secara estetik?
MW: Buku-buku saya bertujuan untuk menghibur, karena masih ringan. Namun saya juga tidak mau merusak akhlak pembaca. Kalau dibaca semua buku saya, sebetulnya ada misi tanpa bermaksud menggurui pembaca. Selama 30 tahun karir menulis saya, tidak ingin saya mengarahkan pembaca ke arah yang buruk.