Telah tutup usia Misbach Jusa Biran pada 11 April 2012. Indonesia kehilangan seorang pahlawan yang telah banyak berkontribusi untuk perfilman nasional. Lahir di Rangkasbitung, 22 September 1933, lulusan Taman Siswa Jakarta ini memulai kariernya di dunia perfilman sebagai pencatat skrip di Perfini untuk film Puteri dan Medan (1954). Barulah kemudian Misbach menjadi asisten sutradara dan anggota Sidang Pengarang. Skenario pertama Misbach merupakan adaptasi cerpen Sjuman Djaya berjudul Kerontjong Kemajoran, yang kemudian difilmkan menjadi Saodah (1956). Sepanjang tahun 1957 sampai 1960, Misbach memproduksi sejumlah film pendek dan dokumenter. Pengalaman produksi ini menjadi bekal baginya untuk menyutradarai film panjang pertamanya, Pesta Musik La Bana (1960).
Puncak karier Misbach sebagai pembuat film terjadi pada tahun 1967, ketika ia memenangkan Sutradara Terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional untuk film Dibalik Tjahaja Gemerlapan. Sepanjang kariernya sebagai pembuat film, Misbach juga aktif sebagai wartawan dan penulis cerpen. Ia pernah bekerja untuk redaksi Mingguan Abadi (1958-1960), Majalah Purnama (1962-1963), Ahad Muslimin, dan Duta Masyarakat (1964-1965). Sejumlah sketsanya yang menyatirkan politik negara rutin diterbitkan di Mingguan Abadi dengan judul tetap Komedi Klasik Modern. Pada tahun 1960, pihak penguasa meminta agar publikasi sketsa-sketsa tersebut dihentikan. Tulisan-tulisan Misbach tentang kehidupan Seniman Senen sebagian dibukukan pada tahun 1972 dengan judul Keajaiban di Pasar Senen dan ...Oh Film, yang diterbitkan ulang pada tahun 1997.
Usai menyutradarai Honey, Money and Jakarta Fair (1970), Misbach memutuskan untuk berhenti menjadi sutradara, karena merasa film zaman itu terlalu diwarnai oleh bumbu seks. Namun, kontribusinya di bidang film tak ikut berhenti. Ia merumuskan pendirian asosiasi Karyawan Film dan Televisi (KFT), termasuk menulis konsep anggaran dasarnya, pada tahun 1964. Tahun 1970, Misbach merupakan salah satu perancang berdirinya Akademi Sinematografi, yang kini menjadi Jurusan Film IKJ. Misbach turut mengajar di situ tahun 1971 sampai 1995 untuk mata kuliah Sejarah Film Indonesia dan Penulisan Skenario Film. Tahun 1978, Misbach mendirikan Yayasan Citra, sebuah badan pendidikan film. Ia menjadi pengurus, sempat menjabat sebagai ketua umum, dan rutin mengajar di situ.
Tahun 1971, Misbach merintis berdirinya Arsip Film, yang pada tahun 1975 berganti nama jadi Sinematek Indonesia. Lembaga ini bergerak di bidang dokumentasi sejarah, dengan tujuan perkembangan perfilman nasional dan pembelajaran di masa depan. Sinematek mengumpulkan dan melestarikan berbagai artefak terkait perfilman nasional, mulai dari film, buku, skenario, majalah, kliping, biografi, data organisasi dan perusahaan film, peralatan, hingga undang-undang perfilman dan peraturan pemerintah. Sinematek Indonesia merupakan arsip film pertama di Asia Tenggara, dan untuk inisiatifnya ini Misbach menerima Lifetime Achievement Awarddari SEAPAVAA (South-East Asia and Pacific Film and Audio-Visual Archive Association). Misbach menjabat sebagai direktur Sinematek dari tahun 1975 sampai 2001.
Pada tanggal 14 Februari 2012, redaksi FI berkesempatan mewawancarai Misbach di kediaman pribadinya di Bogor. Wawancara ini sejatinya terkait dengan restorasi film Lewat Djam Malam, yang sedang dikerjakan oleh National Museum of Singapore dan Yayasan Konfiden. Pengalaman Misbach di Perfini, perusahaan yang memproduksi Lewat Djam Malam, diharapkan bisa menguak konteks historis perihal film Usmar Ismail tersebut. Misbach sendiri direncanakan menjadi salah satu pembicara ketika Lewat Djam Malam hasil restorasi nantinya diluncurkan di Indonesia. Selama kurang lebih satu jam, Misbach bertutur tentang Lewat Djam Malam, Usmar Ismail, dan sekelumit pemikirannya tentang perfilman Indonesia.
Film Indonesia (FI): Bisakah Anda bercerita tentang awal pembuatan Lewat Djam Malam? Bagaimana Perfini dan Persari bisa sampai bekerja sama, mengingat keduanya punya pendekatan yang saling bertolak belakang? Perfini membawa ideologi tertentu dalam produksi filmnya, sementara Persari lebih dekat dengan film-film hiburan populer.
Misbach Jusa Biran (MJB): Ada konferensi produser-produser se-Asia tahun 1953. Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail yang berangkat. Ketika pidato, semua lagi pada makan, dia melakukan pidato dalam bahasa Padang, dan isinya memaki-maki orang-orang Jepang itu bahwa mereka penjajah. "Saya ngomong pakai bahasa saya saja, lah," kata Djamal. Usmar bingung menerjemahkannya bagaimana. [Tertawa] Sepanjang konferensi tersebut, beredar wacana kalau Festival Film Asia pertama akan diadakan tahun depannya, tahun 1954, di Tokyo, Jepang. Djamal mau ikut, tapi tidak punya film untuk dikirim. Mereka bingung mengirimkan film apa karena masih merasa film yang pernah dibuat masih kurang baik. Namun Djamal tetap bilang ikut. Ia minta Usmar produksi filmnya, sementara ia sendiri mencari uang.
Kecuali AN Alcaff dan Bambang Hermanto, Persari menyediakan semua pemain untuk Lewat Djam Malam. Djamal bisa dibilang adalah orang dagang. Bikin film karena semata-mata menolong aktor dan aktris. Pada saat itu banyak yang hidup miskin, lalu tidak bisa main film lagi. Jadi, Djamal membuat Persari semacam serikat pemain film, untuk menolong mereka, untuk entertainment dan industri film.
Perfini menyediakan kru. Usmar Ismail adalah seorang seniman, tak heran kalau Perfini isinya seniman juga. Salah satunya Bachtiar Siagian. Dulu dia bekerja di Perfini. Dia dan Usmar sama-sama bikin film bagus.
FI: Ide siapakah cerita Lewat Djam Malam? Apakah Usmar Ismail, sutradaranya, atau Asrul Sani, penulis naskahnya?
MJB: Dari Asrul. Usmar dan Asrul sempat kurang begitu baik hubungannya karena pada tahun 1962 Usmar menentang sensor. Kalau karyanya memang dibuat begitu, ya begitu. Sedangkan Asrul menyetujui adanya sensor. Alasannya karena menghindari bahaya-bahaya paham dan dampak buruk. Usmar sendiri ada berangkai-rangkai tulisannya tentang anti-sensor. Ketika itu Asrul mengatakan film juga merupakan alat kebudayaan. Makanya, film pindah dari Departemen Penerangan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Itu dua-duanya punya pemikiran seperti itu pada saat mereka masih muda dulu.
FI: Bagaimana kemudian kiprah Lewat Djam Malam di Festival Film Asia?
MJB: Filmnya tak jadi masuk festival. Ketika Usmar dan Djamal akan berangkat Jepang untuk menghadiri festival, pemerintah melarang. Tentu, ada agenda politik di balik semua ini. Ini adalah cara pemerintah kita untuk memprotes orang-orang Jepang, karena rampasan perang belum dikembalikan ke Indonesia. Karena ini, Djamal mengadakan Festival Film Indonesia pada tahun 1955.
FI: Berapa biayanya untuk produksi Lewat Djam Malam?
MJB: Kira-kira 300 ribu, ya. Film-film Usmar dan Perfini rata-rata segitu. Kalau film-film dari rumah produksi Cina biasanya di bawah 200 ribu. Lalu bagaiamana Usmar yang film-filmnya tidak begitu menghibur, berhadapan dengan film yang murah? Usmar melakukan beberapa macam cara. Film murah tadi ada penontonnya, tapi film Usmar lebih banyak ditanya, "Film apa, nih?" Tamu Agung yang lucu aja, filmnya tidak laku. Padahal tukang obat dibikin kayak Bung Karno, tapi orang-orang tidak melihat itu. Lagi-lagi Krisis, nggak laku juga. Orang-orang pada tidak tertawa. Nggak ngerti, di mana yang bikin tertawa.
Usmar dengan sadar menggunakan filmnya sebagai wacana politik. Dalam Lewat Djam Malam, tidak ada perempuan cantik, tidak ada nyanyi-nyanyi, tidak laku di kota kecil. Di kota besar mungkin. Usmar ingin filmnya menjadi ekspresi personal dari ideologinya. Makanya butuh pendidikan, bukan hanya pembuatannya, penontonnya juga. Nanti tidak bisa nyambung. Sekolah-sekolah mulai di-upgrade lah. Kalau gitu, antara film dengan penonton tidak akan pernah ketemu.
FI: Artinya Usmar sudah sadar soal auteur sebelum ada teorinya, ya.
MJB: Itu terbentuk karena pengalaman. Usmar ini memang pintar, berbeda dengan sutradara lain. Lingkungannya memungkinkan. Usmar masuk sekolah Belanda, bahasa Inggris aktif. Dia muncul dari daerah dengan membawa misi kebudayaan. Film Indonesia selalu punya dimensi kritiknya sendiri, tetapi ketika dua tahun sesudah merdeka filmnya begitu-begitu saja, kritik mulai hilang. Namun, belakangan memang terjadi perubahan. Ada upaya menjadikan film bukan sebagai tontonan kampungan, seperti dulu misalnya ada Dardanella, tetapi film-film yang mengandung pemikiran. Salah satunya Usmar.
Djamal karena bukan seniman, dia hanya menolong artis saja. Persari juga berkembang. Setiap pemain film mendapat mobil. Sedangkan Perfini cuma punya satu mobil kecil, mobilnya Usmar. Jadi, Perfini itu biasanya pakai tiga kendaraan. Untuk para pemain perempuan, naik di mobil Usmar. Pemain laki-laki naik mobil pick up, sedangkan kru naik truk. Bayangkan, mereka diantar bergantian. Kalau Bambang Hermanto naik motor sendiri. Dia top star, nggak mau naik mobil.
FI: Berapa lama Usmar Ismail bisa berkarya sesuai idealismenya sebelum akhirnya mentok dengan tuntutan ekonomi industri film?
MJB: Saya rasa sampai tahun 1960an. Tahun 1957, ada krisis finansial. Banyak yang pada keluar, diberhentikan, karena bangkrut. Studio diambil alih oleh bank dan pemerintah. Usmar juga diserang Lekra, dianggap pelacur kebudayaan. Usmar bikin Tiga Dara. DN Aidit bilang bahwa itu film bagus tapi jelek. Itu bagaimana maksudnya? Saya tak paham. Kemudian, dia bikin juga Asrama Dara. Yang main Bambang Hermanto, banyak lagu-lagu daerah, menggarap pesan yang kuat. Bukan film hiburan yang asal-asalan. Dibuat agar pemerintah mau membantu, dan pemerintah akhirnya membantu. Dengan kerja sama dengan Departemen Kehutanan, Usmar membuat dua film di hutan-hutan Kalimantan: Pedjuang dan Anak-Anak Revolusi. Tetap saja Usmar dicela.
Akhirnya keadaan ekonomi ambruk. Ada gagasan anti-barat sehingga semua studio film ditutup. Produksinya di rumah-rumah orang, dubbing di kamar. Maka kemudian dia menjadi Ketua Pelaksana di Lesbumi, sebuah lembaga di bawah NU. Posisinya begitu kuat karena itu lembaga kebudayaan. Sempat diacak-acak, habislah. Namun, Bung Karno, sebagai orang muslim, juga nggak terlalu berani. Pada masa Bung Karno ada tiga kekuasaan: PKI, PNI, NU. Ketika Bung Karno pidato menyatakan kembali ke UUD ’45, mereka menolak. Konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Ia merasa didukung kekuatan nasional. Presiden adalah penguasa, bukan hanya lambang.
Namun di NU ada Asrul Sani, Usmar Ismail, Farouk Afero. Orang pada gila-gilaan. Ya, senang-senang saja lah. Namun ya ada pergerakan sosial itu. Bambang Hermanto mendapat penghargaan aktor terbaik, lalu dibilang politis sama Lekra. Bambang yang nggak berpendidikan langsung drop. Yang nolongin ya Lekra. Orang-orang gelisah ditarik. Rumahnya kan kecil, kumuh. Seniman khususnya, banyak masuk Lekra karena situasi, bukan ideologi.
FI: Kembali ke Lewat Djam Malam, bagaimana publik Indonesia waktu itu menerimannya?
MJB: Mereka sudah bosen mengkritik film nasional. Ada, tapi tidak begitu membantu. Apalagi dari segi pemasaran, tidak cukup baik. Baru kemudian Usmar membuat film Lagi-lagi Krisis dan sukses. Di film ini, saya menjadi asisten sutradara.
FI: Tentang Lagi-lagi Krisis, kami dengar Usmar sempat bertengkar dengan direktur bioskop Metropole ketika ia mencoba memutar filmnya di sana.
MJB: Benar. Jadi, dulu ada yang namanya Liga Film Mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Usmar sering diundang datang dan memang cukup sering dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa. Sehingga ketika ia bermasalah dengan Metropole, ia dibantu karena ternyata anaknya yang punya Metropole adalah anggota Liga Film Mahasiswa itu. (Tertawa) Usmar memang orangnya impulsif juga. Kadang-kadang nggak percaya juga dia bisa seperti itu.
Jadi ya itu. PKI mempengaruhi, memakai kebudayaan. Dari situlah berubah berpikirnya orang kita. Bukan penjajahan ekonomi, tapi penjajahan buah pikiran. Susah. Usmar sendiri memilih apriori. Sudah mulai masuk kepentingan politik dalam film. Buat orang-orang komunis, sejarah adalah ilmu. Mereka belajar dari sejarah. Kalau buat kita, sejarah adalah kenang-kenangan.
Perlu dirumuskan supaya film bisa menjadi bagian yang artinya banyak penggunaannya. Kita bisa lebih maju berpikirnya, maju nuraninya, maju taste-nya. Setiap film setidaknya punya pesan itu. Agar penonton itu berkembang juga pemikirannya. Film bisa menangkap keindahan. Di mana indahnya, mungkin susah dijelaskan. Abstrak. Nah, kalau bagi komunis, abstrak dimusuhi, karena tidak bersentuhan langsung. Film dibuat untuk memenuhi rasa takut, senang, lucu pada saat menonton, selama itu tidak berbahaya. Film mau ngomong apa, bagaimana mau ngomongnya? Film sekarang kadang-kadang berat kemasannya daripada isinya.
FI: Bagaimana memperbaikinya?
MJB: Yang perlu dilakukan adalah situasi yang kondusif. Sekolah, pendidikan. IKJ ditambah lah. Undang dosen-dosen pinter dari luar negeri, untuk belajar teknis. Buat film pakai studionya IKJ. IKJ kan sudah mulai gengsi sedikit lah. Kalau dulu ditanya kuliah di mana, agak segan untuk jawab IKJ. Sekarang sudah mendingan sedikit. Ini kurang dibantu oleh pemerintah padahal itu perlu, sangat perlu.
FI: Kalau sekarang itu, kenapa Perusahaan Film Negara (PFN) sekarang seperti terlantar?
MJB: Saya lupa kapan, tapi Departemen Keuangan mau menjual PFN. Saya termasuk menentang waktu itu, karena buat saya PFN adalah aset film. Namun, swasta nggak berani, karena waktu itu industri film sedang drop dan terus turun. Seharusnya pemerintah ambil alih. Jika tidak diurus, ya jadi buang-buang duit, harus menggaji pegawai begitu banyak. Saya waktu itu memberi usul, bisa editing di situ, ada bioskop juga. Sekarang dijual juga nggak, diurus juga nggak. Kacau.