Tahun lalu, Reza Rahadian merupakan aktor yang paling banyak dilihat penduduk Indonesia. Habibie & Ainunsukses mengumpulkan sejuta penonton dalam seminggu pertama peredarannya. Filmnya masih tayang di bioskop dan sudah mengumpulkan 2.8 juta penonton. Sementara itu, Perahu Kertas 1dan 2 sukses meraih 978 ribu penonton. Film-film Reza lainnya, yakni Dilema, BrokenHearts, dan Test Pack, total menarik 432 ribu penonton.
Nama Reza pertama kali mencuat tahun 2009. Ia dinobatkan sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik di Festival Film Indonesia atas penampilannya dalam Perempuan Berkalung Sorban. Tahun berikutnya, ia kembali naik ke panggung yang sama untuk menerima penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik untuk 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta.
Penghargaan-penghargaan ini menjadi ganjaran manis bagi anak yang lahir dari keluarga seni ini. “Ibu saya seorang penari dan sangat aktif di teater. Setelah turun dari panggung, dia menjadi kebalikannya. Dia kerja di minyak. Tidak ada hubungannya sama sekali. Pengalaman melihat ibu di panggung yang membuat saya tertarik untuk terjun ke seni peran,” tutur lelaki kelahiran 5 Maret 1987 ini. Selama satu jam lebih, Reza bercerita tentang proses kreatifnya di Habibie & Ainun, kecintaannya pada seni peran, dan pengalamannya sebagai aktor di Indonesia.
Film Indonesia (FI): Bagaimana awal keterlibatan Anda dalam film Habibie & Ainun?
Reza Rahadian (RR): Saya waktu itu sedang di Turki, tiba-tiba dapat telepon dari Hanung [Bramantyo]. “Reza, gue mau coba casting lo jadi Habibie.” Waktu itu saya berpikirnya: ini dia yang salah atau saya yang bingung ya? Saya jawab, “Jadi Habibie? Nggakmungkin, deh.” Saya sadar bahwa secara fisik ada perbedaan yang jauh. Mas Hanung kemudian bilang bahwa ia butuh seorang aktor untuk peran ini. Hanya itu yang dia sampaikan.
Lalu saya pulang. Sampai di Jakarta, saya dikasih waktu dua jam untuk melihat video Bapak Habibie. Dalam dua jam itu, saya coba ingat-ingat beberapa yang penting, terus casting. Satu minggu kemudian, saya ditelepon, “Gimana, Rez? Kalau lomau, lo jadi Habibie yang mudanya. Yang tuanya, ada aktor lain yang akan memerankan.” Terus saya bilang, “Kayaknya nggakdeh, Mas. Saya agak ragu, saya takut.” Karena waktu itu tiba-tiba, entah bocor dari mana, ada yang mendengar saya sebagai kandidat pemerannya, banyak juga yang protes dan merasa, “Kenapa sih harus dia?” Semacam itu.
Hanung adalah orang pertama yang meyakinkan saya, “Sepuluh tahun ke depan, lo belum tentu dapat film seperti ini, punya kesempatan ini. Jadi, guetidak berbicara sebagai sutradara karena bukan guesutradaranya, tapi sebagai temen lo. Guecuma mau lopikirkan lagi.” Saya pikirkan, saya pikirkan terus. Saya konsultasi sama ibu saya dan sebagainya, sampai akhirnya saya bilang, “Oke, saya ambil peran ini. Tapi beri saya waktu untuk benar-benar mempelajari tokoh ini.” Saya tahu persis, secara teknis, saya butuh waktu yang lama untuk mempelajari tokoh ini. Bapak (Habibie-red) sangat unik. Gestur, cara bicara, suara, semuanya serba unik. Saya tidak bisa langsung begitu saja memerankan dia. Mereka bilang ada waktu sepuluh hari. Tadinya saya kira bercanda. Lalu mereka bilang lagi, “Mungkin seminggu. Nanti kita lihat mana yang lebih baik.” Ya, nggak dua-duanya sih, nggak ada yang lebih baik. [Tertawa]
Saya presentasi awal sama Mas Hanung itu suara dulu. Saya rekam sendiri dan sebagainya, lalu saya presentasikan. Dia bilang, “Kan, gue nggaksalah pilih? Ya sudah, lo jadi Habibie dari muda sampai tua.” Semua berubah gara-gara presentasi itu. Pak Manoj [Punjabi] juga jadi berubah pikiran.
Berarti PR saya bertambah. Tadinya saya pikir saya cuma mempelajari 26-30 scene jadi Habibie muda, hanya dari tahun berapa sampai tahun berapa. Kemudian ternyata sampai tua, satu film, tetap dengan waktu persiapan yang sama. Saya tidak punya waktu lain. Saya cuma punya waktu seminggu. Itu termasuk les bahasa Jerman. Total skrip yang harus saya pelajari ada 162 halaman. H-3, saya baru ketemu Pak Habibie. Saya susun draft wawancara sendiri, dengan beberapa pertanyaan penting. Saya juga bawa skenario. Kami menghabiskan waktu dari pukul 18.30 sampai 22.30, berdua saja di ruangan kerja Bapak. Saya wawancara sepanjang jam-jam itu, dua hari berturut-turut. Hari ketiganya, saya syuting.
FI: Apa saja yang Anda tanyakan kepada beliau saat wawancara?
RR: Pertama-tama, saya tanyakan semua yang ada di naskah. Kejadian-kejadian yang ada di skrip, sudah sesuai apa belum. Bapak sendiri sudah baca naskahnya, toh dia juga yang menyetujui draft naskahnya. Tapi, saya penasaran, saya mau lebih tahu. Kejadian ini sebenarnya bagaimana? Ini siapa? Ini bagaimana? Ketika ini terjadi, emosi Bapak bagaimana, seemosional apa. Ketika Bapak kehilangan Ibu, apa yang beliau lakukan, dan sebagainya. Saya sendiri tidak pernah melihat bagaimana proses Ibu meninggal. Saya hanya mendengar di berita, melihat dari foto-foto yang beredar, tapi saya tidak tahu sejauh apa keterlibatan emosional ketika Bapak tahu pertama kali bahwa Ibu sakit. Saya juga tidak tahu bagaimana perasaan Bapak ketika menghadapi Ibu dioperasi berkali-kali.
Beberapa pertanyaan menjurus personal, terutama tentang Ibu. Film ini kan konsentrasinya ke Bapak dan Ibu, ke percintaan mereka. Kalau di buku kan luas banget ya, ada unsur politik dan segala macam. Saya tanya ke Bapak, “Pak, punya nggak sih kebiasaan unik dengan Ibu?” Itu yang banyak saya tanyakan. “Pak, mohon maaf, interaksi dengan Ibu seperti apa? Ciuman nggak sih, Pak? Sering? Bagaimana cara Bapak berciuman dengan Ibu ketika mungkin di rumah, berbeda dong dengan di luar?” Lalu beliau menjawab, “Oh iya, saya punya kebiasaan cium Ibu di mata, dua, jidat, kemudian bibir, biasanya terakhir. Biasanya kalau lagi ulang tahun, atau kalau saya lagi ada momen. Terus, kalau Ibu lagi jalan berdua dengan saya, tidak mungkin kami pegangan tangan saja. Saya pasti diapit. Hanya untuk memperlihatkan bahwa, ‘Lelaki ini punya saya’”Mereka romantis sekali.
Atau misalnya momen ketika ada wanita yang buka baju di kantor. Karena itu ada di skenario, saya tanyakan juga, apa iya kejadiannya seperti itu. Ya beliau bilang seperti itu. Saya tanya Pak Ruby (asisten Habibie) juga, kebetulan karena saya sudah kenal dengan Pak Ruby. Dia bilang “Saya langsung ambil jaket dan saya bawa keluar.” Terus, cerita itu langsung sampai lah ke rumah, ke Ibu.
Lalu masuk ke bagaimana rasanya Bapak pas tahu Ibu sudah terbaring. Bapak juga punya perasaan. Kalau dari yang bapak ceritakan secara personal kepada saya, beliau terlalu memikirkan hal yang lain, dan beliau terlalu merasa aman ada Ibu di belakang. Mau Bapak sesibuk apapun, Ibu selalu ada di samping, mendampingi, sesuai janjinya. Beliau sampai lupa, bahwa bagaimanapun Ibu adalah seorang istri yang butuh diperhatikan dan lain-lain. Nah, itu yang menjadi alasan kenapa Bapak sebegitu tidak rela kalau Ibu pergi. Beliau merasa belum sempat membalas semua jasa-jasa Ibu kepada Bapak. Itu yang beliau jelaskan secara personal, penting untuk jadi referensi batin saya untuk bermain dalam adegan.
Sebenarnya, selama wawancara, pekerjaan saya jadi bertambah. Saya turut mempelajari cara Bapak menjawab. Bapak itu orang yang sangat mengulang kejadian. Dia tidak menjelaskan, “Oh, ya waktu itu saya sedih, terharu.” Tidak begitu. Ia menunjukkan bagaimana sedihnya, bagaimana marahnya. Ia memperlihatkan itu. Ekspresi beliau kemudian saya coba tangkap, coba pahami. Saya lihat juga bagaimana gerakan tangannya. Bapak kan sedikit tremor. Saya lihat juga gerakan bibir, yang kecil-kecilnya, karena saya takut kepleset jadi karikatural dalam memainkan peran ini. Itu risiko yang saya ingin hindari. Kalau ini kepleset, malah jadi banyolan. Jadi lucu, seolah-olah parodi. Ini tidak boleh sampai jadi parodi. Orang harus menonton dan mengikuti cerita sebagai kisah Habibie dan Ainun, bukan parodinya.
Kalaupun ada sebagian orang yang menganggapnya lucu, itu karena Bapak memang seorang yang kocak. Melihat dan mendengarkan cara dia menjelaskan bisa bikin saya tertawa terbahak-bahak. Misalnya, kalau dia tidak suka sama orang, sewaktu beliau mendapat sogokan dari pengusaha itu. Beliau memperagakan [sambil menirukan gaya bicara Habibie] “Ya, saya tidak peduli.” Wah, itu oke banget. Harus saya tangkap semua.
FI: Anda kelahiran tahun 1987. Penerbangan perdana pesawat N-250 tahun 1995, Habibie naik jadi presiden tahun 1998. Waktu kejadian-keadian itu, Anda berarti masih sangat muda. Sebelum Anda ditawarkan peran jadi Habibie, apa yang Anda ketahui tentang beliau? Bagaimana kesan Anda?
RR: Yang lebih lekat bagi saya justru bukan sosok beliau sebagai Presiden, tetapi sebagai Menristek [Menteri Riset dan Teknologi]. Waktu SD, kita kan harus menghafal nama-nama menteri. Menteri yang pada saat itu cukup fenomenal atau sering dibicarakan itu adalah Habibie. Terutama ketika pesawat itu diluncurkan, saya nonton di televisi. Saya juga dapat tugas, harus bikin semacam rangkuman dari hasil tontonan itu. Pokoknya waktu itu pelajaran Bahasa Indonesia.
Saya ingat persis bagaimana rasanya melihat pesawat buatan anak bangsa terbang, dan segala macamnya. Kenangan itu yang muncul ketika saya ditawarkan sebagai Pak Habibie. Waktu beliau menjadi Presiden itu kan lebih banyak konflik ya. Lebih banyak kejadian-kejadian yang sepertinya gelap. Ketika pesawat diluncurkan, itu sisi cerahnya. Jadi, buat saya, kilas balik saya lebih banyak ke sana.
FI: Nah, ketika kemudian bertemu langsung dengan Habibie, kesan apa yang Anda tangkap dari sosok beliau?
RR: Awalnya saya berpikir, aduh, pasti ini akan kurang lebih sama dengan pejabat-pejabat yang saya juga pernah ketemu. Kalau ketemu, jabat tangan, tapi jabat tangannya tak melihat mata, lihatnya ke orang lain. Saya paling nggaksuka orang seperti itu. Tidak perlu disebutkan namanya ya.
Nah, Bapak pernah menyampaikan ini saat konferensi pers, “Saya adalah orang yang kalau berbicara melihat orang, membagi pandangan saya.” Seperti itu juga beliau waktu saya pertama kali ketemu dia. Beliau langsung menatap saya dengan kepalanya yang khas, agak miring sedikit. “Oh, ini Reza, ya? Saya tidak tahu Anda,” katanya. “Saya dengar dari Hanung, Anda tuh aktor” dan seterusnya. Lalu saya perkenalkan diri juga. Dia bilang, “Apa yang mirip ya dengan saya?” (Tertawa).
Saya langsung drop. Aduh, jangan sampai salah, nih. “Saya tidak punya brewok, lho.” Saat itu memang brewok saya lagi tebal-tebalnya, saya belum shaving. “Ini lebih mirip anak saya,” katanya begitu. Karena memang salah satu anak beliau, Mas Thareq, brewokan. Rambutnya juga mirip, karena waktu itu rambut saya masih gondrong dan ikal. Begitu kesan waktu pertama kali ketemu. Saya melihat beliau sebagai sosok yang rendah hati. Kesederhanaannya luar biasa. Ketika saya melihat langsung dan bicara cukup lama dengan beliau, yang saya lihat hanyalah kesederhanaan, kejujuran, dan orang yang sangat apa adanya. Bukan orang yang yang berusaha menjaga wibawa, atau menciptakan jarak dengan cara-cara tertentu. Terbuka saja, kalau tidak suka ya bilang tidak suka. Kalau Anda penampilannya jelek, ya dia akan bilang jelek. Itu terjadi ketika sedang test cam(era).
Saya sempat agak kesal waktu itu, karena test cam-nya dijadikan teaser, diunggah ke YouTube, lalu dipakai untuk preview buat wartawan di bioskop kecil milik MD. Kondisinya waktu itu: saya baru pertama kali ketemu Bunga (Citra Lestari), belum baca skenario, belum baca bukunya. Test cam itu kan hanya untuk cek gambar, warna, perkiraan warna gambar yang akan diambil, dan lain-lain. Makanya saya kaget waktu itu tiba-tiba jadi teaser. Durasinya 1 menit 23 detik, kalau tidak salah. Bapak menonton, lalu konferensi pers. Saya cuma bisa tutup mata. “Oh, tidak begitu adegannya. Saya ketemu Ibu pertama kali, nggakbegitu. Saya ketemu Ibu bilangnya, ‘Gila kamu, ya?’ Nggakada tuh saya ketemu Ibu manis-manis begitu,” begitu kata Bapak. Waduh, saya kena banget, saya seperti ketampar.
Kejadian itu justru jadi trigger, kenapa saya sengotot itu memerankan beliau. Saya langsung tanya-tanya sama sutradaranya, Faozan Rizal. Saya juga belum pernah ketemu Bapak waktu itu. Tidak cukup jika hanya dari video. Saya mau kenal, saya mau ketemu langsung. Tidak mau tahu bagaimana caranya, bikin saya bisa ketemu sama Bapak. Nah, itulah dua hari itu. Akhirnya ketemu, dan buat saya itu momen yang luar biasa banget, karena di situ saya baru bisa mempelajari Bapak, secara penuh. Saya juga terbantu dengan kehadiran Bapak setiap hari, sepanjang kita syuting, walaupun tidak satu hari penuh. Beliau juga hadir waktu kita syuting di Jerman, karena kami syuting di rumah beliau. Hanya di IPTN yang tidak. Bapak tidak bisa datang ke sana, karena masih ada rasa yang personal ya. Namun, sisanya, beliau ikut hadir.
Nah, ketika ikut itu, saya selalu habis take, kan saya tegang, ya. Soalnya beliau di depan monitor, pakai headset benar-benar. Makanya saya bilang sama Bapak, “Eyang tuh sutradara kedua.” (Tertawa) Karena Bapak serius sekali, duduk di kursi sutradara. Sutradaranya juga nggak berani, dong, masa Bapak duduk di kursi biasa. Jadi Faozan Rizal duduk di samping, di kursi kecil melihat monitor, sementara Bapak juga ikut melihat dan mendengarkan. Setiap scene, saya langsung tanya ke Bapak, “Gimana, Eyang?” Ternyata dia senang. Selesai produksi, saya dapat e-mail dari Bapak, berisi ucapan terima kasih, kesan, dan sebagainya. Bapak bilang “Anda, Reza, bermain dengan hati, tulus, dan itu kelihatan. Pokoknya summa cum laude untuk cucu Eyang tersayang,” tulisnya. Wah, nggakkuliah tapi dapat gelar. (Tertawa)
Pilihan ketiga
FI: Kalau tidak salah, untuk kandidat pemeran Habibie ini, Anda adalah pilihan ketiga untuk memerankan Habibie.
RR: Betul, saya ini pilihan terakhir. Sebelumnya memang ada Mas Agus Kuncoro, yang direncanakan menjadi Habibie Tua. Ada juga Giring ‘Nidji’, yang direncanakan menjadi Habibie Muda. Saya dengar Mas Lukman Sardi juga sempat jadi kandidat. Saya tidak tahu apakah ada nama lain selain ketiga nama itu.
FI:Apakah Anda pernah berdiskusi dengan mereka soal tafsiran mereka terhadap tokoh Habibie?
RR: Pernah, terutama dengan Mas Agus ya. Nah, ini yang menarik. Mas Agus pernah ketemu saya di Festival Film Bandung. “Eh Rez, gue mau syuting nih, Habibie & Ainun. Lo disamperin nggak sama Hanung? Kayaknya lo cocok deh jadi yang mudanya. Gue main nih, jadi yang tuanya. Gue sama Alya Rohali. Nanti gue ngomong deh sama Hanung, biar lo casting juga.” Saya bilang, “Boleh deh, saya mau.” Dia sempat cerita ketika dia bertemu dengan Pak Habibie. Sampai akhirnya sesudah casting, saya bilang sama dia, “Mas, sudah casting, kayaknya oke, nih.” Dia bilang, “Oke, sampai ketemu!”
Setelah dua minggu, ternyata saya main dari muda sampai tua. Saya sudah nggakpunya muka di depan Mas Agus. Saya nggakberani ketemu, bingung. (Tertawa) Tapi akhirnya kita ketemu di acara Apresiasi Film Indonesia. Saat itu filmnya belum tayang, dan saya belum kontak lagi dengan Mas Agus. Proyek ini menurut Hanung adalah proyek tukaran. Cukup adil rasanya. Mas Agus dapat Gending Sriwijaya, Reza dapat Habibie & Ainun. (Tertawa)
Mas Agus adalah senior saya, dan saya mengagumi dia sebagai aktor. Saya pikir, ya ini kan di luar kendali. Bukan saya yang memutuskan. Ada pihak lain, Mas Agus juga yang mengajak. Makanya, saya juga nggak ngerti mau ngomong apa, cuma yang jelas, menurut saya dia tetap senang. Saya yakin, sebagai aktor besar juga, Agus Kuncoro adalah orang yang....sudahlah. It’s okay, mungkin. (Tertawa).
FI: Tadi Anda sempat bilang, Anda tidak ingin pembawaan Anda terhadap Habibie ini menjadi parodi. Kalau bisa lebih spesifik, sisi Habibie apa yang Anda sebenarnya ingin tampilkan ke depan publik?
RR: Bapak adalah manusia biasa, memiliki masa kejatuhan, memiliki rasa sakit hati. Dan saya ingin menampilkan bahwa menjadi presiden itu tidak semudah kita mengeluh. Saat itu, 250 juta penduduk bisa protes begini begitu. Sampai detik ini, saya pun kadang seperti itu. Namun, ketika saya tahu dari Bapak, bagaimana pekerjaan seorang presiden, saya angkat tangan. Di situ saya baru tahu kenapa ada kalimat, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pemimpinnya. Kalau tidak dihargai, bangsa itu tidak akan maju sampai kapanpun, karena pemimpinnya nggakada yang kelihatan benar di mata bangsanya. Begitu kan repot.
Saya pernah satu kali bertanya sama Bapak waktu beliau mendapat penghargaan sebagai 20 orang yang paling berpengaruh di dunia dari Washington dan Nepal. Wartawannya datang ke Indonesia, ke rumah Bapak. Ada satu pertanyaan, yang juga saya ikut tanyakan kepada Bapak “Apa yang Anda rasakan ketika orang mencaci maki Anda, bahwa Anda adalah salah satu Presiden yang dianggap gagal?” Saya memberanikan diri bertanya itu. Lalu, Bapak cuma bilang, “Kalau saya pimpin negara A, saya memberikan rapot. Laporan saya, nilainya semua hijau, bagus. Inflasi dari sekian persen jadi sekian persen, dan sebagainya. Apa rasanya, jika laporan yang baik itu diberikan, lalu Anda ditolak laporan pertanggungjawaban?” Saya jawab lagi, “Hmm, oke. Tapi kan pada saat itu Timor Timur lepas, Pak?” Beliau jawab, “I have the best reason that you cannot imagine. That's the best decision at that time, the only decision I could take. Otherwise, this nation now, done.” Saya sudah tidak bisa balas lagi. Memang tidak mudah jadi presiden. Dari situ saya bisa menghargai. Ya, kadang-kadang siapapun yang memimpin, mungkin dihargai dulu kali, ya, sebelum kita protes.
FI: Habibie & Ainun bercerita tentang pasangan. Bagaimana Anda membangun chemistry denganlawan main Anda, Bunga Citra Lestari?
RR: Saya cukup bertanya pada Bunga, “Ada batasan-batasan yang bisa bikin lo tidak sepenuh hati nggak? Perjanjiannya, selama kita di set, bisa nggak lo melepaskan atribut-atribut lo di dunia nyata?” Bunga tanya balik, “Maksudnya bagaimana, Rez?” Saya jawab “Gue aktor, gue memerankan seorang suami, gue berhak melakukan apapun terhadap istri saya sendiri. Lo keberatan nggak?”
Tidak dapat dipungkiri posisi saya lebih aman. Bunga sudah menikah, saya belum. Bagaimanapun juga Bunga adalah seorang perempuan, istri seorang laki-laki, ibu seorang anak. “Lo bermasalah nggak kalau perlakuan gue sangat personal,” saya tanya lagi. Dia bilang tidak dan dia yakin atas jawabannya. “Kita bangun film ini sama-sama ya.” Dan komitmen itu Bunga jaga sampai selesai. Dia sangat profesional jadinya, bisa melepas semua atribut, keluarga, dan lain-lain. Semua dilepas untuk jadi Ibu Ainun sepenuhnya. Sentuhan kami pun akhirnya sangat nyaman. Film ini bercerita tentang pasangan, kalau mau terlihat suami-istri ya harus kelihatan ciuman dulu kan? Mata penonton tidak bisa dibohongi. Aktor harus selalu bisa meyakinkan penonton. Mas Hanung termasuk orang yang mengingatkan saya kalau film itu bagaimana aktornya juga. Aktor yang menyampaikan isi suatu film. Tidak peduli skenarionya sebaik apa, sinematografinya secantik apa, kalau tidak didukung aktor yang baik, ya hancur esensinya. Pasti jadi minus.
Hal yang sama saya jaga ke setiap lawan main saya. Saya kurang suka kalau ada lawan main yang beralasan “Yah, ada pacar aku, nanti cemburu” atau apalah. Itu artinya kamu bukan aktor! Bunga berani melepaskan atribut-atribut tadi, sehingga saya tidak punya kesulitan untuk masuk ke dalam dirinya dia, begitu juga sebaliknya. Dia malah tadinya mengira saya orangnya sangat kaku. Jadi sebenarnya karakter di Habibie & Ainun ini terbalik dengan karakter asli kita berdua. Saya orangnya introvert, Bunga orangnya sangat blak-blakan. Bunga tuh lebih ke Bapak, saya lebih ke Ibu. Itu yang terjadi, waktu kami sama-sama baca, bedah skenario, dia bilang, “Ini kok Bapak kayak guebanget, ya? Sementara lo orangnya diam, duduk, lebih suka memperhatikan, mengamati. Itu Ibu banget.” Saya aslinya memang begitu. Jadi, kami memerankan dua tokoh yang saling bersinggungan dengan karakter pribadi kami. Menantang. Kami dituntut jadi beda.
Psikolog
FI: Sejak tahun 2009, Anda bisa bermain dalam 4-5 film per tahun. Mengingat kebutuhan persiapan untuk sebuah karakter cukup banyak, bagaimana Anda mengatur diri Anda sendiri untuk peran-peran tersebut?
RR: Kadang-kadang saya juga tidak tahu diri saya sebenarnya yang mana ya. Itu masalah utama saya. Saya bahkan pernah ke psikolog untuk kontrol, karena saya takut. Karena itu memang menjadi momok bagi siapapun mereka yang terlalu mencintai dunia seni peran. Karena saya bukan suka, saya mencintai dunia seni peran. Saya memang sangat serius dalam dunia ini. Kalau saya ditanya, pekerjaan saya ya aktor. Saya bukan businessman. Saya bukan aktor plus businessman pluspenyanyi. Saya hanya aktor.
Ketakutan saya jadinya adalah perpindahan karakter dari satu film ke film lain. Bisa sangat berbeda-beda. Waktu ke psikolog, saya ditanya, “Kamu karakter yang mana? Mana yang menurut kamu itu kamu?” Tapi, masak saya jadi seperti review film-film sendiri? (Tertawa) Ketika ditanya, saya disuruh mengisi kuisioner, disuruh menjawab, setelah itu diulas bersama. Saya sempat mentok, bingung, mana yang sebenarnya saya? Yang saya bisa bawa, misalnya ketika main film, saya bisa jadi diri saya sendiri dalam film, atau sebagian kecil diri saya. Tapi, tetap ada gerak-gerak tambahan dan emosi lain yang bukan saya, yang ada di skenario. Nah, itu kadang-kadang saya coba campuradukkan, dan itu yang bikin rancu.
Di sisi lain, saya pun mau tiap film saya memainkan karakter yang berbeda. Saya orangnya sangat sensitif dengan skenario. Saya tidak mau menjadi stereotip. Sudah ambil peran yang ini, lalu yang ini lagi, sampai penonton jadinya enek sendiri. Nonton dia di sini, begini. Nonton di sini, begini juga. Saya nggak mau begitu. Jadi, saya tidak pernah membatasi diri untuk, misalnya, menjadi karakter laki-laki romantis dan simpatik saja, kareana saya tidak mau terus-terusan main di film yang ABG-ABG itu. Saya tidak bisa. Saya lebih membela tantangan dalam seni peran, ketimbang saya harus dipagari dengan tuntutan peran yang itu-itu saja.
Kesimpulan dari psikolog tadi: saya terlalu fokus dengan keahlian saya, terlalu mencintai pekerjaan, sehingga saya disarankan untuk istirahan dua sampai tiga bulan, dan itu sebaiknya ke luar Jakarta. Cari tempat,sendirian, menikmati alam, berbaur sama alam, lalu balik lagi, kerja lagi. Saya sendiri sejauh ini terhitung masih bisa mengontrol. Satu film misalnya butuh waktu total keseluruhan tiga bulan. Habis tiga bulan itu, masuk film lain, persiapan reading dua minggu, sudah syuting lagi. Sudah lompat karakter lain lagi. Jadi, kadang ketika karakter itu terbawa ke luar set, itu baru bisa pindah kalau saya dapat proyek lain. Makanya kalau sekarang, setelah proyek Habibie & Ainun, saya sudah ada proyek sama Teddy Soeriaatmadja, yang jauh bertolak belakang, supaya saya bisa netralisir diri sendiri. Saya jadi psikopat di film itu.
FI: Selain peran yang berbeda dari sebelumnya dan tantangan yang muncul dari peran baru tersebut, prinsip apa lagi yang Anda pegang saat memilih peran?
RR: Saya sebenarnya termasuk yang tidak punya batasan terlalu banyak, tetapi saya hanya bisa memilih berdasarkan hati. Kalau saya cocok, saya suka perannya. Saya selalu berpikirnya begitu dulu, sebelum masuk ke cerita ya. Misalnya ada cerita bagus, tapi kalau saya tidak suka dengan peran yang ditawarkan, saya bisa bilang, “Kayaknya nggakdeh.” Bisa jadi karena peran tersebut tidak memberikan saya apa-apa, saya malah tidak bekerja pakai hati, lalu jadi repot. Daripada merugikan pihak lain, saya lebih baik tidak usah terlibat. Dasarnya ya itu, cinta dulu sama perannya, tokoh yang akan diperankan.
Nah, tolok ukurnya adalah seterkait apa peran ini terhadap kehidupan yang normal, supaya saya bisa tahu batasan naturalnya seperti apa. Karena akting, buat saya, natural saja tidak cukup. Kalau mau natural, cukup ambil tukang ojek untuk main jadi tukang ojek. Buat apa pakai aktor untuk main jadi tukang ojek? Pakai saja figur-figur siapa pun yang bermain jadi diri mereka sendiri, kita ambil, kita shoot. Kelar, jadi, orang pas nonton juga bisa bilang, “Mainnya natural banget, ya?” Ya itu dia.
Aktor kan beda. Ada dramatisasi yang kita pikirkan, ada pengaturan tempo yang harus dipertimbangkan. Yang dibutuhkan kan keahliannya. Bagaimanapun juga, seni peran kan juga seni. Itulah kenapa ada teori dan segala macam di belakangnya. Bagaimana sih caranya interaksi dengan hati penonton? Bagaimana sih caranya mempengaruhi persepsi penonton? Itu kan ada semua teorinya.
Karena itu saya sekolah seni peran. Sekitar 2,5 tahun, tapi untuk teater. Dari SMP, SMA, fokus saya memang di situ. Saya juga sempat ikut program belajar Manhattan Film Institute. Mereka datang ke sini. Saya harus belajar, karena pola akting itu beda-beda setiap negara. Mereka punya pendekatan sendiri, seperti Asia itu beda karena lebih dramatis, Eropa itu lebih realis, Hollywood itu rata-rata membuat sesuatu yang tidak realis tapi direalis-realiskan. Di film-film Hollywood kan kita sering lihat, misalnya, ada orang jatuh tapi nggakkenapa-kenapa. Itu bisa terjadi tanpa kita berpikir nggakmungkin. Mereka bisa menyulap, jago mengemasnya
Saya juga ingin sekali belajar storytelling, bagaimana caranya menuturkan cerita dengan baik. Hollywood sangat baik untuh hal itu. Kita belum. Kita punya banyak cerita bagus, tapi kita nggak tahu bagaimana mengemasnya sehingga enak ditonton orang. Banyak film bagus, tapi orang tidak mengerti atau bosan menontonnya. Padahal, di festival luar bisa menang di mana-mana, tetapi ketika dilempar ke kita, masyarakat kita memang masih belum. Kita mungkin belum siap sama film-film yang berbobot. Mungkin.
FI: Namun, 4-5 film per tahun itu memang jadi target Anda?
RR: Sejujurnya, saya mematok maksimal tiga. Itu yang saya bilang ke manajer saya. Tidak sampai lima. Namun, kadang-kadang, saya suka terhipnotis sama cerita. Jadi, walaupun misalnya sudah tiga, Test Pack, Perahu Kertas, tiba-tiba ada Habibie & Ainun. Nggakmungkin saya tolak. Waduh, berat banget, tuh! Sempat kepikiran, tamakbanget nggak ya? Tapi kemudian tetap diambil. (Tertawa) Sikat, tapi nanti menghilang deh empat bulan. Soalnya, tahun ini saya belum ambil apa-apa, sampai detik ini.
Malah lagi mau coba serial televisi, sama Paul Agusta, masih dalam tahap penjajakan. Judulnya Koper. Saya tertarik banget sama ceritanya, dan serialnya juga bukan stripping ya, jadi nggakharus kerja setiap hari dengan tayangan episode yang berpuluh-puluh. Saya juga jarang terjun ke televisi.
Jujur saja, saya sekarang malah rindu balik ke panggung teater. Tahun ini saya ada rencana sama Happy Salma untuk monolog. Mungkin di film bisa istirahat sebentar, menikmati kesuksesan Habibie & Ainun, sambil menunggu bonus. (Tertawa) 76 miliar ya kira-kira hasil penjualan tiket sejauh ini. Kelewatan kalau sampai nggak dapat bonus. (Tertawa) Saya kaget waktu ke XXI kemarin, ketemu sama Pak Benny [Suherman]. Beliau bilang ini pendapatan terbesar XXI sepanjang 25 tahun terakhir. Bahkan Laskar Pelangitidak sampai segitu. Jumlah penonton memang lebih banyak Laskar Pelangi, tapi harga tiketnya lebih tinggi saat Habibie & Ainun.
FI: Anda dulu beberapa kali main sinetron. Sebagai aktor di Indonesia, pilihan apa saja yang tersedia bagi Anda saat mau terjun ke layar lebar?
RR: Pilihan yang ada adalah kamu hindari televisi untuk sementara waktu, langsung terjun ke film. Kecuali kalau sudah terlalu populer di televisi, bisa dapat tawaran main film. Kalau produsernya paham bisnis, dia akan menunggu sinetronmu sampai selesai. Kasih jeda tiga sampai empat bulan, baru keluarin filmnya. Jadi, demand untuk si aktor masih berasa, hype-nya juga kejaga.
Pilihan kedua adalah main sinetron, tidak populer-populer amat, lalu lompat ke film. Biasanya suka bermasalah sama casting director. Terkadang mereka cenderung meremehkan. Mereka punya anggapan kalau pemain sinetron pasti aktingnya begini, begini, dan begini. Kita sama-sama tahu lah. Kadang-kadang saya suka kasihan, karena saya pernah merasakan dua-duanya. Mereka yang main sinetron memang dituntut bermain seperti itu oleh sutradara. Medium televisi adalah medium di mana orang menonton sambil ngobrol, minum, sambil ibu-ibu menyetrika baju, masak, dan lain-lain. Penontonnya memang nggakbisa fokus. Jadi, mereka dituntut bagaimana permainannya harus menarik orang dengan berteriak-teriak, menangis yang sedemikian rupa, atau dengan mata melotot dan segala macam, sangat didramatisir, jadi tidak natural, untuk menarik penonton agar tetap di channel itu, tidak berpindah ke channel lain. Itu sudah menjadi tuntutan. Jadi kasihan dengan pemain-pemain sinetron yang sebenarnya mungkin punya talenta, tapi merekamentok di situ. Cuma, buat saya, itu jadi pilihan mereka. Mereka yang mau di sana. Saya tak mau terus-terusan di sana. Makanya saya memilih untuk lompat ke film.
Saya juga tidak akan munafik. Secara materi, main sinetron itu gila-gilaan. Bagaimana ceritanya kamu bisa digaji 30 juta per hari? Kerjaan mana lagi sih yang bisa kasih penghasilan segitu? Waktu saya main sinetron, katakanlah dapat 10 juta per hari. Sebulan sudah 300 juta. Gaji siapa coba yang 300 juta? Jadi ya kalau mau menghitung materi, memang ada beberapa orang yang mencari itu dan itu tidak ada salahnya. Saya mencintai seni peran, sehingga saya merasa ada keterlibatan batin. Saya tidak bisa bekerja hanya karena uang. Namun, saya juga tidak bodoh untuk tidak mempersiapkan masa depan. Saya bersyukur sekali karena apa yang saya punya sekarang, ya itu hasil film, hasil saya dari seni peran, sebagai aktor. Saya kumpulkan sedikit demi sedikit, untuk bisa jadi sesuatu. Cuma memang kalau orang sinetron mungkin bisa dapat dalam uang dalan jumlah sekian dalam satu sampai dua tahun, saya butuh waktu enam tahun untuk bisa mengumpulkan uang dengan jumlah yang sama. (Tertawa) Namanya juga pilihan.
Sebenarnya ada pilihan lain. Kalau kamu sangat, sangat, sangat, sangat ganteng atau cantik, cukup terus-terusan main iklan. Tawaran main film akan datang dengan sendirinya. Saya sendiri sangat jarang main iklan.
FI: Kenapa?
RR: Kecuali BCA, tawaran iklan yang datang ke saya mengharuskan saya untuk menjaga citra sebegitunya, tidak hanya kehidupan pribadi, tapi juga peran-peran saya di film panjang. BCA entah kenapa sangat mudah. Saya seperti dapat rezeki nomplok. Tiba-tiba saya ditawari, semua oke, dan mereka setuju dengan permintaan pribadi saya, batasan-batasan yang saya tidak mau. Mereka pun hanya minta saya cukup jaga image di luar set, dalam pengertian kehidupan pribadi ya. Tidak mabok-mabokan di mana, tiba-tiba mabok jatuh, atau drugs. Selama saya bisa menjaga itu, mereka setuju. Mereka tidak sampai memberi batasan untuk peran-peran saya di film panjang.
Beberapa tawaran iklan lain yang masuk mengharuskan saya good-looking di film. Atau hanya boleh berperan sebagai tokoh yang charming, enak dilihatlah.Tidak boleh itu karakter-karakter yang urakan atau berantakan. Sementara itu, saya banyak dapat karakter yang masyarakat kelas menengah ke bawah. Mulai dari Alangkah Lucunya Negeri Ini. Rambut saya dibelah tengah di film itu. Di Hafalan Shalat Delisa, saya lusuh hampir sepanjang film. Satu-satunya menurut saya penampilan on screen yang agak-agak lumayan itu cuma Perahu Kertas. Yang lainnya, nggakada. Di Perempuan Berkalung Sorban apalagi. Ada beberapa iklan yang menolak untuk saya berpenampilan seperti itu. Jadi, kalau Anda mau mengiklankan produk ini, boleh nggak Anda ambil film yang seperti ini, ini, dan ini saja?
Nah, saya sudah tidak bisa diatur-atur seperti itu. Apalagi produk kecantikan, mereka sangat ketat. Jadi ya nggakbisa aja. Atau mungkin memang tidak di situ kali ya rezeki saya. Tidak tahu juga. Kalau saya memilih, saya bisa saja di situ, tapi tidak lah. Saya lebih ingin di film. Dan ada kemungkinan juga saya nanti main sinetron stripping lagi. Bisa saja kan suatu hari nanti saya berpikiran, daripada di film sudah over-exposed, pindah dulu melakukan yang lain sebentar. Selesai itu, lalu break enam bulan, jadi bisa bebas memilih film mana yang saya suka banget. Ini strategi ya. Tidak terpatok juga ya, karena tergantung kebutuhan. Sinetron itu, kalau saya ambil satu stripping, misalnya ada 30 episode, lumayan buat hidup setahun. (Tertawa)
FI: Berapa lama waktu yang ideal bagi seorang aktor untuk melakukan persiapan sebelum syuting?
RR: Di Indonesia, yang ideal menurut saya itu satu bulan. Saya juga tahu kalau beberapa proyek film di luar, proses reading-nya nggaklama-lama juga, syutingnya 30-45 hari. Tidak sampai berbulan-bulan juga. Untuk film yang pakai animasi atau CGI (computer-generated imagery), memang butuh waktu yang lebih lama. Namun, kalau syutingnya 35-40 hari, reading sebulan, sudah ideal banget.
Memang ada beberapa sutradara yang merasa jangan reading. Spontan, langsung di lokasi. Jadi, imajinasi dan interpretasi yang keluar tuh spontan. Saya juga pernah kerja sama dengan beberapa sutradara yang seperti itu. Monty [Tiwa] contohnya. Dia senangnya malah tidak mau banyak-banyak reading. Test Pack kan begitu prosesnya. Ketemu sekali, tidak ada reading, langsung syuting. Lumayan lah, dapat nominasi FFI. (Tertawa).
Meski begitu, saya tetap lebih suka yang ada reading-nya ya. Apalagi kalau untuk peran-peran yang memang aktornya dituntut membangun craftmanship-nya sendiri. Saya selalu punya patokan begini, barmoter saya adalah saya dibayar karena saya harus bekerja. Saya dibayar bukan karena siapa saya, tapi karena kemampuan yang saya keluarkan dan komitmen yang saya pegang. Nah, pekerjaan aktor itu adalah untuk membangun, menghidupkan, karakter yang sedang diperankan. Jadi kalau cuma reading, lalu di lokasi diarahkan sutradara, tidak ada bedanya sama wayang: benda mati yang tangannya digerakkan, disuruh nengok kiri ya nengok, disuruh lihat ke sana sambil marah lalu marah. Banyak juga yang seperti itu, sedangkan saya tidak bisa kerja seperti itu. Saya punya tanggung jawab terhadap seni peran. Kreativitas dan otak bekerjanya di situ: membangun, mencari gerakan, mencari apa yang otentik. Begitulah seharusnya aktor.