Di awal karir penyutradaraannya lewat film Tragedi, Rudi Soedjarwo belum dikenal banyak orang. Dalam film tersebut, beberapa aktris seperti Dian Sastrowardoyo, Titi Kamal, serta Marcella Zalianty juga memulai debutnya sebagai pemain. Jajang C Noer, aktris yang pernah bekerjasama dengan Rudi, mengambarkannya sebagai sosok sutradara yang sangat memperhatikan akting pemainnya. Jajang merasa Rudi tidak pernah mendikte pemainnya, tetapi selalu mengajak pemain turut mengeksplorasi aktingnya, untuk mendapatkan hasil yang baik. Teuku Rifnu Wikana, pemain yang mengawali karirnya lewat film yang disutradarai oleh Rudi, menggambarkannya sebagai sosok sutradara yang memiliki pendekatan beragam dan efektif untuk setiap aktor yang ia arahkan.
Setelah Ada Apa Dengan Cinta, nama Rudi Soedjarwo pun berkibar. Pasca film Tentang Dia, Rudi menyutradarai beberapa film yang dibuat dengan masa produksi yang singkat. Rekor shooting tersingkat yang ia jalani adalah satu minggu untuk film Mendadak Dangdut. Pada tahun 2006, film horor pertamanya, Pocong (Dendam yang Tidak Bisa Mati), tidak lolos sensor. Ia lalu membuat horor keduanya lewat film Pocong II. Catatan film tersebut menunjukkan Rudi tidak pernah bergantung dengan satu jenis genre film.
Film Indonesia menemui Rudi di kantor Rumah Produksi Lynx, sedang menyiapkan dua film barunya: 5 Elang dan Garuda di Dadaku II. Ia bercerita tentang fungsi seorang aktor dalam filmnya, serta apa sebenarnya arti membuat film untuk dirinya sendiri.
Film Indonesia (FI): Bagaimana sebetulnya seorang Rudi Soedjarwo melihat pemain dalam sebuah film?
Rudi Soedjarwo (RS): Sebenarnya dari awal saya mencintai film justru karena adegannya. Peristiwa yang dibangun. Intinya adalah believable, bagaimana kita membuat sesuatu yang dapat dipercaya oleh penonton. Aktor adalah bagian dari adegan. Kalau adegannya sudah nggak enak untuk direkam, kameranya sebagus apapun akan percuma. Tidak akan ada cerita kalau tidak ada karakter. Karena aktor bertanggung jawab membawakan karakter, maka aktor menjadi penting bagi sebuah film. Sutradara harus mendoktrin aktornya untuk menjadi seperti yang dia mau, untuk tiap kebutuhannya. Penonton di ujung sana tidak perlu tahu prosesnya, yang penting mereka percaya. Kita tentu harus tahu metodenya, kita tahu kekurangan dia dan apa kebutuhannya saat ini. Saya nggak bakal memperbaiki kekurangan akting dia, karena sudah telat. Kita cari tahu bagaimana cara menyeimbangkannya. Untuk pemain usia anak-anak masih gampang memperbaikinya, tapi kalau sudah di usia saya misalnya, untuk mengubah itu energinya sudah nggak ada.
FI: Apakah seorang pemain pendatang baru akan menjadi masalah?
RS: Enaknya bekerja sama dengan pemain baru adalah, kita sama-sama belum tahu kemampuan aktingnya. Karenanya, pemain bisa dimaksimalkan sampai ke titik yang kita bahkan tidak tahu sejauh apa. Berbeda dengan pemain yang sudah biasa berakting di sinetron, misalnya. Mereka biasanya sudah memiliki pola-pola yang susah untuk dibongkar. At the end of the day, kita nggak mau film ditonton dan orang menertawakan aktingnya. Kalau saya bikin film jelek, tinggal ganti nama. Tetapi pemain tidak bisa seperti itu, memangnya mau ganti muka? Itu yang menurut saya, harus dipahami oleh seorang aktor.
FI: Lebih susah menemukan pemain cowok atau cewek?
RS: Pemain cowok terutama untuk usia 25 tahun ke atas lebih susah mencarinya. Mungkin itu kenapa sekarang ini beberapa film memakai pemain yang sama. Tidak bisa dipungkiri televisi ikut membentuk hal ini. Di sinetron usia seperti itu jarang punya peran. Kalau menurut saya memang mereka tidak tahu bahwa, ‘yang kita cari itu bukan kayak yang lo lihat di TV lho.’ Karena mereka kemungkinan berpikir, ‘tampang saya kan kayak gini, jauh banget sama pemain yang ada di sinetron’. Selain ini juga berbeda dengan 10 tahun lalu, saat film sesuatu yang besar sekali, sekarang ini bisa rilis dua film dalam satu minggu. Saya sendiri tidak selalu ingin pemain yang cakep, biasanya hal tersebut datang dari produser. Saya sendiri lebih memilih as real as possible. Sebagai contoh saat Dwi Sasono kita munculkan di Mendadak Dangdut. Hal itu tidak mudah, tetapi setelah diberi kesempatan, dan charm-nya keluar, akhirnya banyak yang suka.
FI: Pernah menentukan aktor yang spesifik di satu judul?
RS: Waktu 9 Naga. Contohnya, saya tahu Fauzi Badilla harus main sebagai apa. Kenapa bisa seperti itu? Karena pada saat adegan itu tercipta saya sudah membayangkan siapa yang menjadi pemainnya. Bahkan kepada hal kecil seperti, saya mau cowok-cowoknya kumisan semua. Sampai ada yang pernah tanya, "Mas, kenapa jagoannya semua kumisan?" Saya jawab, "Memang kenapa nggak kumisan?" Mungkin karena sekarang ini cowok kumisan sudah jarang, ya? Padahal jaman dulu, cowok kumisan itu sangat biasa, tapi sudah lama nggak, aneh orang kumisan.
FI: Tapi kenapa mesti kumisan? Kenapa karakter digambarkan seperti itu?
RS: Nggak tau, saya pengen saja. Memang nggak boleh ya? Karena buat saya, karakter saya contohnya, akan sama, kumisan atau nggak. Tetap Rudi Soedjarwo, yang begini modelnya.
FI: Kenapa tidak pernah cari kesempatan bikin film dengan sistem yang baku dan rapih?
RS: Menurut saya, bikin film enaknya flowing, jangan memaksakan. Karena jadi nggak fun kalau semuanya take it personally. Seperti permainan pingpong, yang awalnya senang-senang lalu jadi serius. Kalah angka sedikit lalu marah, dibecandain sedikit marah. Saya selalu memandang film is a playground, selalu begitu. Ada Apa Dengan Cinta datang sebagai keberuntungan untuk saya, tetapi rasanya seperti bermain di liga utama, tanpa waktu yang cukup. Pada dasarnya saya tidak mau dibatasi dengan harus begitu, harus begini. Makanya saya berani bikin film, yang beberapa temen saya anggap membunuh karier saya. Karena saya tahu kok bikin film bagus seperti apa, tapi eksperimen boleh dong? Ini hidup saya kok. Setelah itu, saya bisa gagal, sukses, atau dicemooh segala macam, ya udah tidak masalah. Habis itu saya comeback lagi, bikin sesuatu yang orang nggak mengira saya akan bikin itu. Dan itu nggak saya rencanakan. Sampai dengan sekarang ini, bisa dibilang nggak ada film saya yang sama.
FI: Nggak pernah takut untuk dibilang bukan auteur?
RS: Nggak. Kalau menurut saya, at the end of everything, saya harus senang. Bersyukur karena saya diberi kesempatan untuk bermain sebanyak-banyaknya game oleh Tuhan. Sehingga pada 20 tahun lagi, saya tidak akan menduga-duga, "Kalau bikin film horor kayak apa ya? Bikin film anak kayak gimana ya? Bikin film yang shootingnya cuma seminggu kayak gimana ya?" Saya nggak mau kayak gitu. Kalau mau belajar sesuatu, mari mencoba sesuatu yang belum pernah. Kenapa? Ya nggak ada ruginya.
FI: Pada film mana saja yang keterlibatan terhadap ceritanya paling kuat?
RS: Sebenarnya saya ikut dalam proses developing skenario di setiap film. Tapi untuk beberapa film seperti Mengejar Matahari dan 9 Naga, awalnya memang cerita dari saya. Dua film itu cerita saya banget tuh. Belum ada lagi sampai sekarang.
FI: Kenapa? Sudah tidak ada cerita lagi?
RS: Bukan nggak punya, tetapi karena pada dua film itu prosesnya flowing saja. Waktu itu tidak mungkin memaksakan apa yang mau. Itu kenapa menurut saya enaknya flowing. Lo nggak pernah tahu apa yang akan lo dapet.
FI: Mengapa film-film itu, ceritanya seperti tidak selesai? Seolah sampai pada kesimpulan: ya begitulah kehidupan berjalan.
RS: Seingat saya, hal itu terjadi karena, kita memang berusaha memberikan open ending di beberapa film itu. Bukan sad atau happy, tapi open. Karena kita menghindari, kalau dibikin happy, nanti dibilang klise, kalau sad, tidak ada yang nonton.
FI: Film Mendadak Dangdut, diproduksi dengan lama shooting satu minggu. Bagaimana metode produksi film ini?
RS: Mendadak Dangdut memilliki sedikit scene dan hampir nggak ada scene malam. Diambil satu minggu, karena memang kebutuhannya seperti itu. Inti dari produksi ini adalah belajar membuat adegan yang efektif. Bersama dengan Monty (Monty Tiwa), skenario kita padatkan dan semuanya dikontrol. Kuncinya komunikasi yang efektif. Karena kita memilliki banyak lokasi, maka parameternya dipersempit dengan cara menggabungkan beberapa lokasi. Tetapi dicari cara agar lokasi tidak kelihatan itu-itu saja. Dengan ini kita belajar mengefektifkan lokasi. Budgetnya besar juga, sekitar 2 M. Jangan dikira shooting sebentar berarti budget kecil ya. (Tertawa) Karena minim scene malam, semua orang bisa beristirahat lebih baik di malam hari. Sempat ada shooting sampai pagi memang, tapi hanya karena lokasi tersebut merupakan lokasi terakhir. Kita waktu itu memang mengubah cara kerja, tetapi bisa dibilang sistem kita kemarin belum baik. Kalau kita mau lebih membenahi sistemnya, sangat bisa. Waktu itu belum menemukan sistem yang lebih pasti.
Untuk produksi yang sekarang ini, rumah produksi Lynx, menurut saya memberikan support yang baik. Fasilitas diberikan, agar semua orang bisa bekerja lebih baik lagi. Dengan pemahaman tersebut, setiap hal ini akan meruncing menuju output yang lebih baik. Pemahaman seperti itu yang belum tentu ada. Di tempat lain, service seringkali manjadi beban. Mungkin karena Lynx awalnya sebuah rumah produksi iklan, maka sistemnya sudah berjalan dengan baik. Sisi manajemen maupun kreatif sudah menyatu. Pada rumah produksi ini hal-hal seperti catering, diskusi kreatif ataupun diskusi lainnya, komunikasi, bahkan bagaimana kita bisa shooting dengan enjoy, semuanya sudah disistemkan. Anehnya dengan budget yang masih masuk standar. Ada beberapa rumah produksi yang budgetnya lebih besar dari itu, tapi tidak seperti ini. Shootingnya pun sehat. Lagi pula, worth itnggak kalau perfilman Indonesia bikin lo kena liver? (tertawa)
FI: Bagaimana dengan film Batas, yang shooting di pedalaman? Worth itnggak?
RS: Buat saya worth it. Kalo nggak saya akan keberatan meninggalkan Jakarta, karena jujur saja saya selalu takut shooting di daerah. Untuk saya, buat apa shooting di luar kota, kalau bikin film di kota saja belum tentu benar. Lebih baik lo shooting di dalam kota dulu saja, belum habis kok ceritanya. Tapi saya akui saya denial di film Batas ini.
FIPernah membaca tulisan yang membahas film-film yang sudah disutradarai?
RS: Sering. Ada perbedaan dengan film-film awal saya. Dulu tulisan lebih banyak respek karena kita nekat. Mungkin karena sedikitnya jumlah film yang beredar itu tadi. Untuk saya yang penting itu, jangan sampai pekerjaan orang mati, karena satu-dua kalimat yang mereka tulis. Sebaiknya dengan tulisan tersebut, misalnya kritik, dapat membuat kualitas si pembuat film akan meningkat di film selanjutnya. Saya beberapa kali sempat mengobrol dengan sutradara yang dikritik, dan beberapa ada yang menyerah dengan profesinya, kasihan lho. Kalau saya sih jelas bebal, digituin malah tambah pengen bikin lagi. (Tertawa) Dikritik tidak apa-apa, because everybody must learn something, tapi jangan sampai mematikan mata pencaharian seseorang. Se-powerful itu satu kalimat yang bisa mengubah hidup orang. Itu yang bikin saya sempat sebel dengan perfilman nasional. Contohnya waktu saya bikin AADC, orang-orang sebel. Begitu saya keluar dengan film yang lain, juga tetap bilang, "Mestinya longgak kayak gitu bikinnya." Jadi maunya saya bikin film kayak apa?
FI: Tentang film Pocong (Dendam yang Tidak Bisa Mati) yang tidak lolos sensor. Dengan kondisi sekarang ini, film itu masih mungkin film itu bisa keluar. Masih ada keinginan memutar film tersebut?
RS: Menurut saya tidak perlu keluar. Lagi pula kenapa harus keluar, toh sebelumnya tidak boleh kok. Pocong itu film genre horor pertama yang saya buat. Kalau pada horor biasa manusia takut sama setan, tapi di Pocong ini, saya bikin orang takut sama manusia. Yang membunuh, memperkosa, berbuat kejahatan semuanya manusia. Sosok setan di film ini tidak berbuat jahat, menakut-nakuti saja, tapi tidak pernah berbuat jahat. Tapi ternyata publik tidak menginginkan hal seperti itu. Itu kenapa pada akhirnya saya bikin Pocong II. Menurut saya, Pocong adalah film horor terbaik Indonesia. Takutnya kalau sudah keluar dia akan jadi biasa. Karena tidak ada sesuatu yang dirahasiakan. (Tertawa)