Artikel/Wawancara Satrio Budiono: Perlu Ada Standar untuk Penataan Suara

Wawancara 12-12-2012

(Foto: FI)Film bukanlah perkara mata saja, tapi juga telinga. Sayangnya, kerja teknisi suara di Indonesia belum mendapat eksposur yang layak. Belum banyak orang-orang yang mendedikasikan dirinya di bidang tata suara, sementara suara sendiri kerapkali mendapat bujet yang paling kecil dalam produksi film nasional.

Satrio Budiono sudah berurusan dengan suara film sejak zaman Petualangan Sherina(1999). Ia sudah mendapatkan 12 nominasi dan 3 penghargaan untuk bidang penataan suara di Festival Film Indonesia. Baru-baru ini, ia dinobatkan sebagai penata suara terbaik di FFI 2012 atas hasil kerjanya dalam Rumah di Seribu Ombak. Pria yang akrab dipanggil Yoyok ini bercerita tentang profesinya sebagai penata suara dan perlunya standarisasi dalam pengerjaan suara film di Indonesia.

Film Indonesia (FI): Menurut katalog kami, Anda sudah terlibat dalam 110 judul film. Kalau dilihat lebih lanjut, Anda tercatat sudah melakoni empat jenis profesi: sound engineer, penata suara, penyunting suara, dan perekam suara. Bagaimana sebenarnya pembagian kerja untuk bidang suara dalam produksi film di Indonesia?

Satrio Budiono (SB): Pada dasarnya unsur suara dalam film itu banyak. Secara global, penyuntingan suara (sound editing) terbagi dalam penyuntingan dialog, rekam ulang dialog, efek suara, musik, dan foley (efek suara yang diciptakan khusus untuk sebuah film – Red FI). Biasanya dibagi ke beberapa divisi, dan masing-masing punya mixer sendiri. Satu tim mengurus dialog, satu tim lagi mengurus efek, misalnya. Nah di Indonesia, semua itu kadang dirangkap oleh satu orang. Begitulah kita. (Tertawa)

Kalau sound mixing beda lagi. Ibaratnya begini, di Oscar ada penghargaan untuk sound editing dan best sound. Kalau sound editing itu seperti yang saya ceritakan tadi. Nah, kalau best sound itu kaitannya sama mixing dan perekaman suara di lapangan. Jadi best sound dinilai dari kualitas suara, sedangkan best editing itu lebih ke kelengkapan detail dan kerapihan suara. Bisa dibilang ada dua divisi besar ini, sayangnya di Indonesia pekerjanya itu-itu juga.

Secara teknis, sound engineer adalah sebutan untuk orang-orang yang berkecimpung di dunia suara. Setelah itu, baru spesialisasinya apa. Ada sound mixer, sound recordist, sound editor, dan lain-lain. Kurang lebih sama seperti dokter. Sebutan umumnya dokter, baru kemudian ada spesialisasinya: dokter gigi, anak, bedah plastik, dan sebagainya.

Secara kreatif, ada pengawas yang mengatur kerja para sound engineer. Biasanya disebut supervising sound editor.Dia yang menciptakan konsep, sementara sound engineer yang menciptakan suara. Misalnya dalam film Wall-E. Konsepnya, si Wall-E kan suara mesin. Teknisnya, sound engineer ambil materi dasar dari suara motor, kemudian dikembangkan pakai synthesizer. Suara kan tak harus organik, bisa juga dibuat sendiri. Nah, keputusan-keputusan untuk produksi suara itu ada di sound engineer.

FI: Anda sendiri lebih banyak bekerja di bagian yang mana?

SB: Awalnya saya lebih banyak mengerjakan penyuntingan dialog. Sekarang ini, kalau di Fourmix, kami kerja berempat. Ada yang merangkap pegang dialog, ada juga yang mengurus efek sama foley, lalu ada yang bertanggungjawab untuk sinkronisasi. Nah, saya lebih ke urusan mixing. Di luar sana, sound mixer umumnya disebut re-recording mixer. Di sini, re-recording mixer disebutnya sound mixer. Ribet ya. [Tertawa]

 Makanya, seperti yang di IMDb, saya menuliskan peran saya sebagai re-recording mixer. Cuma memang ada beberapa film yang butuh konsep suara. Nah di situ saya merangkap sebagai sound designer. Pada dasarnya, setiap film butuh sound designer, cuma kapasitasnya memang tidak selalu produksi suara, kadang mixing saja. Mixing saja itu sudah bagian dari desain suara kan, karena sudah membentuk suara juga. Tapi kalau di sini saya disebut beda-beda, ya terserah, soalnya di sini juga nggak ada standarisasi. Saya cuma kurang sreg kalau kredit awal suatu film menyebutkan penata suara ada dua orang, misalnya saya sama seorang sound recordist. Seharusnya si sound recordist disebut terpisah sebagai perekam suara, karena dia seringkali tak terlibat sepanjang proses produksi, terutama di pasca produksi.

FI: Kabarnya, sebelum sekarang mengurusi studio penyuntingan suara, Anda punya production house sendiri. Bagaimana ceritanya?

SB: Iya, dulu punya PH sinetron. Kebetulan kerjanya hampir dari awal produksi sampai pasca produksi. Dulu kan jarang yang punya Protools (software khusus untuk “manipulasi” suara – Red FI), dan kita satu-satunya yang punya. Orang yang bisa mengoperasikan Protools waktu itu juga sedikit. Makanya, pas mau buat Petualangan Sherina, Mbak Mira [Lesmana] menghubungi saya. Saya kerja bareng Adityawan Susanto. Kami bagi tugas. Dia sound editing, saya sound mixing. Habis itu, ada Pachinko, Jakarta Project, Pasir Berbisik. Baru pas Miles mau bikin Ada Apa Dengan Cinta?, kami mulai berpikir untuk serius dan membangun studio penyuntingan suara. Jadi, proyek pertama Fourmix adalah Ada Apa Dengan Cinta?

 Terus terang pembelajaran dasar saya dari musik. Jadi saya senang urusan seperti ini, baru kemudian belajar teknisnya otodidak. Paling sering belajar waktu bantu-bantu orang, apalagi film-film kita sering mixing di luar. Dulu di Sidney, sekarang di Bangkok. Belajar banyak juga dari Internet dan buku. Keuntungannya waktu saya mulai dulu, jujur saja, adalah belum ada yang protes kalau salah. Kesalahan masih dimaklumi, karena yang mengerjakan suara belum banyak.

Satrio Budiono bersama Lola Amaria dan Dewi Umaya, saat mixing suara Minggu Pagi di Victoria Park di Hongkong (Foto: Facebook Satrio Budiono)FI: Kenapa ada lebih banyak sound recordist ketimbang sound editor di Indonesia?

SB: Banyak yang bilang kerjaan sound recordist lebih gampang dan semua orang pasti bisa jadi sound recordist, padahal sebenarnya tidak juga. Itu salah kaprah. Hanya karena kerja merekam suara terlihat mudah, bukan berarti semua orang bisa. Ada persyaratan teknis yang harus dipatuhi. Kenapa sih taruh mikrofondi sini bukan di situ? Cara mengakali rekaman suara supaya jernih dan tidak berisik bagaimana? Itu kan ada teorinya sendiri, yang harus menyesuaikan kondisi lapangan. Teorinya tidak bisa dihafal begitu saja, seperti yang banyak orang lakukan sekarang. Ada waktunya kapan mikrofonharus dikerudungin (diberi wind jammer, alat yang berfungsi untuk menyaring suara angin, agar tidak ikut terekam – Red FI) dan tidak. Ada peraturan sendiri dalam menempatkan genset selama produksi film supaya tidak menggangu perekaman suara. Wireless (mikrofon nirkabel – Red FI) juga tidak bisa asal tempel. Itu baru teknis lapangan, belum di pascaproduksi yang urusannya bisa jadi lebih rumit, tergantung problematika di lapangannya seperti apa. 

Waktu kerja, saya biasanya periksa dulu siapa perekam suaranya. PH baru kadang milih pakai sound recordist baru karena murah. Kalau memang benar baru, saya temuin dia, cari tahu seberapa jauh penguasaannya. Kalau dia belum bisa tapi masih semangat, saya ajarin. Tapi kalau sudah nggak bisa, saya minta buat rekaman suara terus kami dengerin bareng-bareng. Semoga dia bisa mengerti di mana letak permasalahannya. Kalau tetap nggak paham, saya kontak PH-nya, “Begini masalahnya, dia tidak mengerti ini, ini, dan ini. Bagaimana? Mau tetap pakai?” Kalau jawabannya “Iya, mas, bujetnya cuma segini”, ya sudah terserah. [Tertawa]

Ada juga PH yang saya tanya, setelah melihat hasil syutingnya: "Kok itu parah ya, kayaknya bakal perlu banyak rekam ulang dialog. Orang PH itu menjawab, "Oh iya mas, memang sudah kita perkirakan akan seperti itu, karena waktu di lapangan begini, begini, dan begini.” Saya cuma jawab, “Ooo....” Ternyata sudah direncanakan [Tertawa]

Terus terang, di kalangan pekerja suara sendiri, suara untuk film termasuk yang paling rumit. Karena selain ilmu audio, juga harus mengerti ilmu film dalam artian kreatif, teknologi dalam film, juga teknologi presentasinya, baik di bioskop, televisi, dan medium lainnya. Tadi saya sebut televisi, karena sekarang ini kita menggandeng sistem audio televisi. Beda halnya waktu televisi dulu masih pakai Betacam. Rumit banget sinkronisasi gambar dan suaranya, karena sistem perekamannya berbeda. Saya bersyukur kita sudah melewati masa-masa pita analog. [Tertawa]

Standar

FI: Kamera sekarang semakin kecil, ringkas, dan mudah dibawa ke mana-mana. Bagaimana pengaruhnya dengan kerja perekaman suara di lapangan? Apakah juga berpengaruh pada kerja penyuntingan suara di studio?

SB: Perkembangan teknologi suara sebenarnya tidak secapat gambar. Merekam suara tetap harus dengan alat “segambreng” sendiri, jadi tidak bisa dipukul rata. Mikrofon tetap harus segitu jumlahnya, tetap harus dekat sumber suara, tak bisa selalu disembunyikan. Pakai slate pun (atau clapboard yang ditaruh di depan kamera saat awal pengambilan gambar – Red FI) tetap harus disiplin. Jumlah mikrofon tidak bisa dikurang, jumlah track (jalur) makin banyak makin bagus. Kalau dikata minimum empat track, jangan diganggu lagi. Di luar sendiri, standarnya sudah 10-12 track: empat wireless, dua boom (mikrofon yang dipasang di ujung “galah” panjang – Red FI), lainnya untuk rekam ambience (suara suasana sekitar – Red FI). Di sini empat saja susah. Boomnya kadang bisa cuma satu, sedangkan boom sendiri jenisnya beda-beda, ada yang buat dalam ruangan, ada yang luar ruang. Boom itu ibarat lensa. 

Saya mengalami produksi yang harus syuting dengan kru kecil di film Atambua 390C. Syutingnya harus meminimalisasi perijinan, maka krunya sedikit. Peralatan untuk divisi suara tetap harus lengkap, sementara sound recordist cuma satu orang. Waktu itu Suhadi, perekam suaranya, harus membawa semua alat seorang diri. Ada satu perekam, empat pemancar, dan masih harus pegang boom. Tentu saja resiko seperti ini sudah diobrolkan panjang lebar, di masa pra produksi. Saya tidak merekomendasikan ini untuk jadi kebiasaan ya. [Tertawa]

Banyak orang mengira wireless tinggal dipencet, nyala, terus ditempel. Nggak begitu. Harus mengatur channel suara, harus mengatur level suara berkali-kali. Perekam suara juga harus tahu dimana meletakan clip-on supaya tidak bergeser dan rekaman suaranya jelas, nggak mendem. Saya tidak mendapatkan masalah dengan hasil rekaman Suhadi di Atambua 390 Celcius, pertanda dia memang mengusai hal itu. Kalau asal tempel, dan kresek-kresek atau gruduk-gruduk, nggak jadi film dong. [Tertawa].

FI: Tadi Anda bilang di sini belum ada standardisasi. Bagaimana maksudnya?

SB: Buat saya yang paling kritis sekarang adalah masalah standarisasi ilmu. Kalau mau jadi mixer ya mesti tahu ilmunya. Misalnya begini, ada orang satu-dua kali jadi asisten sound recordist, terus dipercaya jadi sound recordist. Ya tidak bisa begitu. Dia harus punya pendidikannya juga. Harus ada buka bukunya.

Coba lihat ASC [American Society of Cinematographers]. Kalau seseorang mau bekerja sebagai DOP, dia harus masuk asosiasi itu. Orang mau masuk asosiasi itu harus punya rekomendasi dari orang-orang dalam ASC. Artinya, kalau ada orang yang mau saya angkat jadi sound recordist, harus ada orang berpengalaman yang mengakui dia. Artinya kalau dia memang mau jadi sound recordist, ya harus magang dulu sampai benar-benar bisa. Yang merekomendasi itu yang bertanggung jawab. Sesederhana itu logikaku.

Kalau lulus sekolah film pun, harus praktek dulu kan istilahnya, harus ada senior yang mengawasi kalau memang dia sudah menguasai itu. Pertanyaan saya sesederhana ini: jenis mikrofon itu ada apa saja sih? Misalkan, si sound recordist ini sudah pegang mikrofon bagus, artinya dia juga harus tahu alternatifnya, harus buka wawasan. Bagaimana dengan pemahaman dasar dia soal audio? Seberapa jauh dia mengertinya? Untuk memahami permasalahan akustik kan harus belajar, sementara sound recordist yang ada di Indonesia sebenarnya banyak yang aslinya bukan jebolan sekolah film. Kebanyakan dari sinetron kemudian diangkat masuk ke produksi film. Okelah, dia mungkin sudah dua-tiga tahun kerja di sinetorn, tapi belum tentu kerjanya benar, kan?

Menurut saya, cara magang bisa jadi solusi. Magang terus sampai akhirnya orang itu jago. Hasil kerjaan kan dipengaruhi oleh penguasaan teknis seseorang, walau saya juga tidak mengesampingkan faktor-faktor lain seperti bayaran dan insentif sejenis.

FI: Konon, divisi suara adalah divisi yang paling sedikit mengeluarkan biaya. Benarkah?

SB: Mungkin lebih tepat disebut penekanan bujet. Dibanding lini-lini produksi lainnya, divisi suara memang yang paling sering ditekan bujetnya. Saya sendiri tidak sering merasakannya, karena saya selalu minta bujet penuh pada klien-klien saya. Kalau cocok, silakan. Kalau tidak bisa bayar, mending cari orang lain saja, jangan sama saya. Saya punya harga sendiri yang mencakup biaya dan kebutuhan kerja saya, yang mencakup semua ilmu dan keahlian yang saya punya. Kebetulan saya seberuntung itu, jadi hampir tidak pernah punya masalah bujet yang ditekan. Tapi kadang masalahnya ke sound recordist, karena jadinya bujet buat mereka yang ditekan. Jadi, kalaupun bujet saya terpaksa ditekan, saya selalu menjaganya agar masih dalam batas yang wajar.  

Saya pribadi menggunakan sistem bayar paketan. Jadi klien membayar utuh, dari kepala divisi, tim kerja, sampai penyewaan studio. Di Indonesia, saya rasa kebanyakan juga memberlakukan sistem sejenis. Dulu kami pernah coba supaya dibayarnya dipisah, antara gaji pekerja dan penyewaan studio. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, rasanya kok nggak adil ya. Di luar negeri, bayaran tergantung perhitungan jam kerja. Kalau saya menghitungnya berdasarkan jenis filmnya. Ada harga yang beda antara film drama dan komedi dengan film laga dan horor. Durasi film juga saya perhitungkan, karena terkait dengan jumlah reel. Kalau dari pekerjaan saya yang sudah-sudah, film laga dan horor punya tingkat pengerjaan yang lebih tinggi.

Satrio Budiono pada saat mixing Batas di Shaw Studios, Hongkong. (Foto: Facebook Satrio Budiono)FI: Kalau dari pengalaman Anda, berapa rata-rata jam kerja untuk pengerjaan suara suatu film?

SB: Biasanya penyuntingan dialog menghabiskan tiga jam per reel. Kalau harus sinkronisasi juga, berarti empat jam per reel. Mixing bisa lebih panjang, karena ada preview dan tergantung hasil revisinya. Lalu juga ada mastering buat DVD. Semuanya harus masuk kan elemen itu. Kalau final mix, yang biasanya dilakukan di Bangkok itu rata-rata 40-50 jam untuk semua reel. Sehari bisa 8 jam, berarti kira-kira lima sampai enam hari disana. Biasanya saya bekerja di Siam Film, Technicolor, Kantana, Shaw Studios dan beberapa tempat lain.

FI: Apakah setiap penata suara punya studio sendiri?

SB: Tidak selalu. Tapi, memang sekarang banyak yang punya studio sendiri. Kalau dulu studio seperti ini tidak bisa dibeli, maksudnya untuk bikin studio harganya tinggi. Jadinya seringnya rental dan saya sebenarnya lebih mendukung itu, karena akan lebih optimal. Si studio tidak dipakai terus-terusan dan pemilik studio bisa merawat barang-barangnya. Nah, makin ke sini makin murah peralatan audio makin terjangkau harganya, jadi penata suara film bisa bikin workshop sendiri. Saya pribadi merasa workshop audio ini sebenarnya lebih cocok untuk persiapan pengerjaan. Pengerjaan suara sendiri idealnya dilakukan di studio berkapasitas besar, seperti yang ada di Bangkok.

Masalahnya begini: ada hal-hal yang tak terdeteksi selama kamu kerja di studio kamu sendiri. Misalnya begini, kita memang bisa grading gambar pakai komputer di studio, tapi kan tetap harus dilihat di layar yang besarnya proporsional dengan layar bioskop. Suara juga begitu. Di studio sepertinya oke nih suaranya, tapi tahu-tahu pas dicoba di bioskop malah banyak noise. Frekuensi suara juga begitu. Di studio sepertinya baik-baik saja, pas dicoba di ruang sebesar bioskop malah beda. Suara jalan dari speaker ke kuping kita jauh banget kan di bioskop. Di antara keduanya ada tahanan suara, sehingga ada yang harus dikompensasi dari frekuensi.

Idealnya, studio kita pun idealnya punya ruang dan fasilitas yang setara untuk ekshibisi di bioskop, karena ada hal-hal yang tidak bisa didengar di ruangan kecil. Tidak cukup hanya ruang yang tidak ada suara dari luar masuk ke dalam ruangan atau sebaliknya, tapi juga ruang yang akustik ruangnya mampu membuat kita mendengar suara dengan netral. Netral maksudnya begini: apabila kita memutar suara rendah, maka yang sampai ke telinga kita juga seperti itu, serendah itu. Itulah fungsi-fungsi treatment akustik ruangan. Ruangan yang tidak diberikan treatment akustik ruang yang baik, dikhawatirkan akan bergema. Gema sendiri, pengaruhnya tidak rata. Kadang hanya di suara dengan level tertentu saja. Juga speaker yang benar. Ruangan itu sendiri, memang sebaiknya dibuat mendekati bioskop dalam hal ini ruang putarnya, karena pada dasarnya kita mengemulasi (“meniru”) bahan yang nantinya akan diemulasi di bioskop.

FI: Apakah standardisasi ruang kerja dengan ruang ekshibisi ini sudah dilakukan di Indonesia?

SB: Belum, belum ada yang membangun. Kalau nantinya ada yang membangun studio sebesar itu, pengerjaan suara pas pascaproduksi bisa dilakukan di sini, tidak perlu jauh-jauh ke Bangkok. Pertanyaannya kemudian: kenapa belum ada yang membangun? Kemungkinan besar karena biaya yang dibutuhkan besar. Untuk membangun ruang yang besar dan alat-alat yang memadai, berarti harus ada yang menyewa terus-terusan, kalau nggak: rugi. Masalahnya, tidak semua produser di Indonesia berpikir kritis. Ada yang mau film-filmnya dikerjakan secara layak, ada juga yang berprinsip “sudah segini saja”. Maksudnya, pengerjaan film di studio kecil sudah dianggap selesai. Pemakluman seperti ini kan parah. Ibaratnya, kita ke dokter supaya sembuh total, tapi si pasien merasa sudah puas karena reda demamnya, padahal belum tentu total sembuhnya.

Ada spesifikasi minimum yang diminta oleh Dolby (sebuah sistem suara – Red FI). Luas ruangan seharusnya 75 meter persegi, volume ruangan 300 meter kubik. Tingkat noise dalam ruangan tidak lebih dari NC-25. Speaker ada di belakang layar, di kiri, kanan, dan tengah. Posisi antara speaker dan layar membentuk sudut 45 derajat. Tinggi posisi speakernya juga harus sama. Respons frekuensi speakernya antara 40-16 kHz, kurang lebih dua desibel. Ada lagi beberapa, bisa dicari di internet. Syarat-syarat dasar ini yang harus dikejar supaya studionya terhitung profesional. Kalau semua tidak bertindak profesional, nantinya malah digampangin.

Pagar terakhirnya sebenarnya produser dan pemilik bioskop. Kenapa studio paska produksi yang besar mau di Bangkok? Menurut saya, Bangkok sendiri adalah kota yang strategis, letaknya di tengah-tengah beberapa negara Asia Tenggara. Negara-negara tetangganya seperti Laos, Kamboja, dan Vietnam kebanyakan dubbing film-film yang masuk negaranya. Jadi makin banyak pelanggannya. Sementara itu, angka produksi film di Thailand stabil. Budaya menontonnya juga kuat. Kalau di Indonesia, sebelum ada DCP, satu film biasanya dicetak 60-70 copy. Di Thailand, minimal bisa 100 copy. Film-film besar bisa sampai 500 copy. Itu untuk film dalam negeri.

FI: Luas ruangan studio Anda ini berapa?

SB: Ini 6x4 meter. Belum setara lah dengan studio yang ideal menurut Dolby. Makanya saya bilang, tempat semacam ini baiknya untuk persiapan saja, untuk pre-mixing. 

Satrio Budiono dan perangkat kerjanya (Foto: FI)FI: Anda sendiri sekarang menggunakan alat apa?

SB: Saya menggunakan Digital Audio Workstation (DAW), Avid Protools HD 10.3 yang dilengkapi lagi dengan beberapa plug-in(software efek). Sederhananya begini, kalau dulu kita bikin gema atau efek-efek lain kan pakai hardware yang terpisah, sekarang sudah ada di sini semuanya. Untuk plug-in, ada beberapa yang bawaan dari Protools. Beberapa juga ada dari Waves, Sonnox, ada yang dari Dolby juga, karena masih butuh pengawasan dari mereka. Saya juga pakai Cedar DNS, yang berfungsi untuk mengurangi noise. Sebenarnya mereka juga sudah mengeluarkan versi digital plug-innya, tapi belum saya beli, karena ini memang perangkat yang cukup mahal dibandingkan yang lain.  

Mengerjakan suara kan macam-macam prosesnya. Ada equalization, menambah dan mengurangi suara cempreng, atau menambah dan mengurangi bass. Ada juga menambah dinamisasi, mengatur suara agar tidak keluar dari levelnya. Ada juga menambah echo. Beberapa hal itu didapat dengan cara menginstal beberapa plug-in ini. Ada beberapa versi juga, dari beberapa perusahaan yang berbeda. Untuk equalizer misalnya, ada yang bikinan Avid, ada yang bikinan Sony, dan beberapa lagi. Tadinya beberapa perusahaan pembuat software ini, juga mengawali dengan pembuatan hardware sebelumnya. Protools HD memiliki card yang berfungsi sebagai akselelator dari plug-ins ini. Jadi plugin ini berjalan terpisah dari CPU si komputer, agar tidak mengganggu kinerja prosesor komputer. Protools HD ini sudah bisa menangani 768 voice track. Film Indonesia yang selama ini saya tangani, paling jauh itu 96 track lah.

Peralatan yang dipakai masih standar untuk studio penyuntingan suara di beberapa negara. Supaya nanti kalau mau melanjutkan pekerjaan di studio luar, file bisa tetap terbuka dan bekerja dengan baik seperti di studio kita. Kadang ada plug-in yang harus dibawa, karena nggak ada di sana. Tetapi project-nya sendiri tetap bisa dibuka dengan baik.

FI: Piranti lunak yang Anda gunakan asli atau bajakan?

SB: Alhamdulillah sudah asli. Jujur saja, dulu waktu baru mulai usaha ini, saya pakai software bajakan. Beberapa tahun kemudian, diganti secara bertahap ke yang asli. Agak boros sih. (Tertawa) Kadang klien nggak mau mengerti ini. Mereka pikir software kalau sudah dipasang ya beres, tidak dipikirkan masalah asli atau bajakan, tidak dipikirkan juga maintenance-nya. Ada software yang harus diperbaharui. Ada versi baru yang harus dibayar atau barang lain yang harus dibeli.  

FI: Kalau pakai software bajakan saja masih ada, kenapa Anda memilih pakai yang asli?

SB: Pertama, saya aktif pada beberapa forum di dunia maya yang khusus membahas tata suara ini. Saya merasa, kalau kita mau tanya-tanya soal software, tapi ternyata yang kita pakai bajakan, kayaknya nggak enak diskusinya, seperti ada yang salah. Yang terpenting sebenarnya karena saya percaya karma. Saya di sini bekerja. Kerja pada dasarnya adalah suatu itikad baik, tujuannya untuk mendapatkan rezeki. Tentu saja maunya rezeki yang baik dong. Kalau saya pakai cara yang tidak baik, yakni menggunakan barang bajakan, bagaimana mungkin hasilnya jadi baik? 

Saya harus akui, waktu pertama membuka usaha ini, tempat saya adalah satu-satunya untuk audio pascaproduksi. Kami mengambil keuntungan untuk menjadi yang pertama dan berkembang menjadi tempat yang dipercaya oleh klien. Kami jadi punya kesempatan dan aliran dana yang baik. Menjadi yang pertama juga tidak bisa dibohongi merupakan keuntungan. Dari situ saya dapat menjaga harga sampai sekarang. Sejauh ini, saya belum mau banting harga. Selain itu, sejujurnya, sampai sekarang yang namanya sound designer tidak banyak juga. Jadi secara bisnis, kami masih tertolong dengan pasar yang ada. Coba saja kalau ada 3-5 lagi saja, saya nggak yakin bisa survive kalau caranya masih seperti sekarang ini.