Sebagai seorang aktor, Surya Saputra terkesan sangat berhati-hati dalam memilih peran. Hal ini terlihat dari jumlah film per tahun yang ia bintangi. Sejak 2008, ia konsisten dengan jumlah tiga film per tahun (kecuali tahun 2010 ketika ia tidak bermain film sama sekali). Film-film yang ia bintangi pun berkisar di jenis drama, termasuk film terbarunya yang akan rilis 1 Desember 2011, Arisan! 2. Surya berperan sebagai Nino, seorang pembuat film yang berpacaran dengan Sakti (Tora Sudiro). Kali ini Surya harus memainkan Nino yang sedang goyah karena hubungannya dengan Sakti karam. Seperti apa Surya melihat Nino, apa dasar Surya memilih peran, dan bagaimana pandangannya tentang tugas seorang pemeran dalam film Indonesia? Film Indonesia berkesempatan mengobrol dengan Surya di tengah kesibukannya mempromosikan Arisan! 2.
Film Indonesia (FI): Semua peran dalam film ini dimainkan oleh orang yang sama. Apa itu alasan Anda mau main lagi di Arisan! 2?
Surya Saputra (SS): Jujur saja, waktu Arisan! dijadikan serial televisi, banyak yang bertanya, kapan Arisan! 2 dibuat? Alasannya adalah karena Arisan! adalah film yang mau berbicara dengan jujur. Gini deh: ibu-ibu arisan semacam itu tuh ada lho. Kehidupan gay seperti itu juga ada. Kita tahu sendiri, film-film sekarang ini lebih banyak menjual mimpi dan romance, yang sebaiknya dikurangilah, tidak ditinggalkan. Sedang yang lainnya menjual air mata dan keseksian. Harus ada something new-lah. Nah, Arisan! ini adalah suatu tontonan yang beda. This is something fresh, nggak seperti film-film yang biasa. Jadi bisa dibilang alasannya ya karena ada kebutuhan di masyarakat terhadap sebuah film dengan cerita seperti ini.
FI: Membandingkan Arisan! dan Arisan! 2, apa saja yang berubah?
SS: Sebenarnya masih sama, seputar friendship. Teman itu akan selalu ada di masa susah dan senang. Pada Arisan! 2 ceritanya berkembang. Lebih kepada pencarian diri sendiri. Misalnya, ada satu tokoh yang tiba-tiba karakternya berubah. Dari yang sangat teratur, tiba-tiba sekarang dia jadi orang yang hanya ingin menikmati hidup saja. Semua tokoh dalam film ini berkembang. Contohnya Sakti yang sudah established as a gay, yang agak sedikit ngondek (feminin).
FI: Bagaimana dengan Nino?
SS: Nino tetap pada porosnya, hanya lebih nyaman sekarang. Kalau sebelumnya, di Arisan! dia belum kenal dengan semua orang, dengan teman-temannya Sakti, masih lebih cool. Setelah sekarang ini dia sudah mengenal tokoh lain, dia lebih merasa nyaman. Pasangan Nino-Sakti sendiri mengalami masalah dalam hubungan mereka dan putus di Arisan! 2. Mereka pisah dan masing-masing memiliki pasangan lain. Tentu saja pasangan lainnya ini sebenarnya sebagai pelarian. Mereka mencari pasangan yang sama dengan yang terdahulu. Nino yang dewasa dan melindungi, suka sama Sakti karena manjanya. Nino mencari pasangan yang manja seperti Sakti, tapi ternyata pasangan barunya ini kelewat manja dan kebablasan. Akhirnya mereka sadar kalau mereka masih menyayangi satu sama lain. Mereka sadar kalau tidak bisa lepas dari sosok pasangan sebelumnya. Ya namanya juga pasangan, kadang maunya lebih, nggak bisa mensyukuri pasangannya selama ini, kan.
Pesan Moral
FI: Kenapa selalu tiga film per tahun sejak 2008? Apakah jumlah ini disengaja, atau ada kesulitan dalam memilih peran?
SS: [Tertawa] Sebenarnya ini bukan masalah mematok harus tiga film setahun, tetapi memilih peran yang bagus susah banget. Nggak klik. Jujur, aku menolak banyak sekali yang komedi misalnya, tapi komedi yang nggak komedi murni, komedi yang diselingi seksualitas misalnya. Horor pun begitu.
FI: Horor?
SS: Jujur, aku pecinta horor. Tapi, setiap kali ditawarkan untuk main di horor, selalu harus lihat dulu, ini arahnya ke mana. Setiap kali sudah tahu kalau itu arahnya ke sini... ke sini... Sudah bisa ditebak. I want something new saja. Dan ini memang terdengar agak klise, tapi aku selalu mau main film, kalau film itu punya pesan moral yang baik.
FI: Pesan moral yang baik seperti apa?
SS: Banyak film yang sudah nangis-nangis, sudah ketawa-tawa tapi nggak ada itunya. Nggak dipikir bagaimana kalau kita ada di posisi itu. Aku pernah nonton film kartun yang berbicara tentang betapa egoisnya manusia, manusia yang simple saja deh, tidak mau membuang sampah pada tempatnya. Itu film kartun dan simple, tapi pesannya baik. Nah kita kekurangan film yang seperti itu kan. Atau aku juga pernah nonton film yang berceritra tentang Islam yang radikal. Pada akhirnya penonton bisa menangkap, kalau mau masuk surga, caranya ya dengan shalat dan berbuat baik, cuma masalahnya manusianya saja yang kadang... ya begitulah.
Peran Pria Dewasa
FI: Dalam suatu wawancara dengan Rudi Sudjarwo (sutradara), dia pernah menjelaskan bahwa peran pria usia 30-an itu susah. Susah mencari pemainnya dan jarang ada cerita dengan karakter seperti itu juga. Benar nggak?
SS: Bener banget! Sekarang begini, kita seakan-akan takut dengan masyarakat yang tidak mau menerima tokoh utama yang berumur. Mereka maunya muda sekali. Maka jadilah anak-anak yang masih sangat muda ini bermain sebagai tokoh yang… kok nggak pantes banget ya? Hal ini terbalik dengan yang ada di Hollywood. Hampir setiap superhero di sana dimainkan oleh aktor berumur 30-an. Kita lihat Robert Downey Jr. yang bermain di Iron Man atau Ryan Reynolds yang main di Green Lantern. Di sana orang-orang yang mendapatkan peran yang baik adalah orang-orang yang memiliki jenjang karier yang tidak sebentar. Bisa kita lihat, cara orang melihat totalitas dalam profesionalisme di luar negeri itu luar biasa.
FI: Kalau di sini?
SS: Yang seringkali terjadi adalah orang-orang yang memerankan ini adalah orang-orang yang sedang sering-seringnya muncul di TV misalnya. Nah, hal itu kadang tidak dibarengi dengan totalitas profesi mereka. Kalau mereka bermain dengan baik, sama sekali tidak bermasalah. Tapi kalau mereka dipilih cuma karena sedang naik namanya dan dengan usia yang masih muda, tidak seperti itulah caranya. Seharusnya memang dia mampu memerankan, dia total dan profesional. Contohnya: dia on time, dia disiplin dengan reading dan latihan, hal-hal seperti itu. Jujur, aku sering nemuin pemain-pemain muda yang, "ah ga usah reading lah". Kadang suka gemes. Padahal banyak orang yang secara teknis, totalitas, dan profesionalisme bagus, tetapi kesempatan yang datang ke mereka jarang.
FI: Jadi ini masalah kesempatan yang diberikan atau kemampuan pemeranannya?
SS: Jujur di sini memang industrinya pincang. Kadang gemes juga sama industrinya. Memang nggak bisa dipungkiri lebih banyak orang yang mencari untung. Aku sebetulnya nggak mau mengkotak-kotakkan ya, tapi orang yang membuat film belum tentu moviemaker. Karena ada juga orang-orang yang bikin film dengan target nomor satunya untuk mendapatkan untung dan bukan untuk bisa bikin film yang bagus. Itu salah. Aku pernah ke Kuala Lumpur untuk sebuah festival film di sana. Mereka kagum dengan film-film kita, "Saya pernah menonton Ada Apa dengan Cinta?, film itu bagus sekali" atau "Saya nonton Petualangan Sherina dan sangat terhibur". Belakangan ini kita kekurangan film-film seperti ini.
Kita hampir kalah dengan Malaysia, sebelumnya mereka look up to us, tapi sekarang kita malah tertinggal. Bukan hanya Malaysia, tapi juga negara Asia Tenggara lainnya. Industri film mereka lebih maju daripada kita jadinya sekarang ini. Aku melihat beberapa film bagus dari Malaysia. Mereka mampu membuat film yang “melayunya” masih ada, tetapi kemasannya modern dan menyentuh semua lapisan. Mengapa kita tidak banyak membuat film-film yang seperti itu? Wah kok jadi seperti orang yang marah-marah begini ya… [tertawa]