Sinopsis

Karena banyak yang tidak lulus ujian nasional, guru-guru SD & SMP 08 memperketat sistem pembelajaran. Penegakkan kedisiplinan yang kaku itu malah menimbulkan dampak bagi Amek, Dulah, Acan, Ujang dan Umbe. Amek adalah salah satu murid dari sekian banyak murid SDN 08 yang tidak lulus ujian tahun lalu. Sifatnya yang keras hati dan cenderung jahil, membuat ia sering dihukum. Sebaliknya Minun kakaknya yang duduk dibangku SMP, selalu juara kelas dan sering menjuarai lomba matematika sekabupaten Taliwang.

Minun dan Amek tinggal bersama ibunya, Siti, di desa Mantar. Suatu desa yang terletak di puncak bukit, jauh dari perkotaan. Suami Siti, Jaynady, sudah tiga tahun bekerja di Malaysia tapi tidak pernah mengirimkan mereka uang. Di luar desa yang tertata rapi itu, ada sebuah pohon yang tidak begitu tinggi namun rindang. Orang kampung sekitar menyebutnya pohon cita-cita. Pohon itu memang unik. Hampir disetiap dahan diikat dengan tali yang menjulur kebawah karena ujungnya diberi pemberat. Secarik kertas bertuliskan nama seseorang berikut cita-citanya, bersama batu, potongan karang, ataupun kayu, sebagai pemberat tadi.

Minun sangat menyayangi Amek, bukan saja karena adiknya itu tidak lulus ujian tahun lalu, lebih dari itu, Amek memiliki cacat lahir, bibirnya sumbing dan sering menjadi bahan lelucon teman-temannya. Namun Amek memiliki kelebihan, ia mahir berkuda. Sering orang bertanya, apa cita-cita Amek kelak, Amek tidak pernah menjawabnya, bahkan jika gurunya yang bertanya sekalipun. Amek takut kalau orang-orang akan mentertawakannya. Ia sadar betul, cacat di bibirnya telah menjauhkan dirinya dari cita-citanya.

Amek, Acan, Umbe, Minun dan anak-anak sekolah Mantar sangat dekat dengan Guru Imbok, guru favorit. Dia yang paling mengerti keinginan anak muridnya.