Artikel/Kajian Kaleidoskop 2017: Bioskop yang Belum Ramah bagi Semua

Kajian Deden Ramadani 17-02-2018

Stabilnya pertumbuhan jumlah judul dan penonton film Indonesia turut disumbangkan oleh pertumbuhan industri bioskop di tanah air. Munculnya pemain-pemain baru mewarnai peta persaingan kepemilikan bioskop yang selama ini dikuasai Grup 21. Meski saat ini banyak pemain yang terlibat, nyatanya bioskop masih belum dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat, baik dari aspek geografis, maupun daya beli.

Hanya Bertukar Pemain

Hingga Desember 2017, Indonesia telah memiliki 263 Bioskop dengan 1412 layar. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan pencatatan terakhir pada Agustus 2012 yang hanya memiliki 145 bioskop dengan 609 layar. Bila dihitung, jumlah layar bioskop di Indonesia dalam lima tahun terakhir meningkat hingga sekitar 132 persen.

Data Bioskop dan Layar 2017

Pertumbuhan jumlah bioskop dan layar turut dikontribusikan oleh munculnya pemain baru. Hingga Desember 2017, terdapat enam jejaring bioskop dan sejumlah bioskop independen. Enam jejaring tersebut adalah Grup 21, CGV, Cinemaxx, New Star Cineplex, Platinum Cineplex dan Movimax.

Bandingkan dengan Agustus 2012 yang hanya diisi oleh Grup 21 dan Blitzmegaplex (Saat ini menjadi CGV). Kehadiran lima jejaring bioskop dan sejumlah bioskop independen mengurangi secara signifikan pangsa pasar Grup 21, dari sebelumnya menguasai sekitar 90 persen pangsa pasar bioskop nasional menjadi hanya sekitar 63 persen.

Meski terdapat banyak pemain di dalam industri bioskop, dalam praktiknya, tidak semua pemain memperluas persebaran bioskop. Terdapat pula pemain yang hanya menggantikan pemain lama di lokasi-lokasi tertentu. Hal yang paling terlihat jelas adalah kehadiran Cinemaxx milik Lippo Group yang menggoyahkan eksistensi bioskop milik Grup 21 di pusat-pusat perbelanjaan.

Berdasarkan catatan filmindonesia.or.id, beberapa lokasi pusat perbelanjaan milik Lippo Group mulai "mengusir" jejaring bioskop Grup 21. Caranya adalah dengan tidak memperpanjang masa kontrak dan menggantinya dengan bioskop Cinemaxx. Hal ini telah terjadi di Depok Town Square, FX, dan beberapa pusat perbelanjaan milik Lippo Group.

Selain menggantikan dominasi Grup 21 di pusat perbelanjaan, Cinemaxx juga mulai mengembangkan bisnis bioskopnya dengan mengincar pangsa pasar yang spesifik, yaitu penghuni apartemen. Hal ini dapat dilihat dari dikembangkannya "mini-bioskop" di Kalibata City, salah satu apartemen terpadat di Jakarta Selatan. Dengan jumlah empat studio dengan kapasitas 60 kursi per layar, Cinemaxx nampaknya ingin mencari potensi penonton di luar pengunjung pusat perbelanjaan.

Mini Bioskop di Kalibata City, Jakarta Selatan. Kapasitas 60 kursi per studio dengan empat studio. Dok: filmindonesia.or.id

Strategi bisnis ini belum pernah dicoba oleh pemain di dalam industri bioskop selama ini. Jika strategi ini berhasil, tentu akan menjadi catatan menarik bagi perkembangan perbioskopan nasional. Terlebih pembangunan hunian vertikal, baik oleh pemerintah maupun sektor privat, sedang digencarkan di kota-kota besar.

Pertumbuhan signifikan bioskop di Indonesia dalam lima tahun terakhir juga didorong oleh pemanfaatan kembali proyektor digital bekas milik Grup 21. Hal ini terungkap dari pemaparan Djonny Syafruddin, ketua umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh indonesia (GPBSI), saat mengikuti Diskusi Kelompok Terarah yang diselenggarakan oleh filmindonesia.or.id pada Desember 2017.

Pada awalnya, digitalisasi diduga akan mematikan bioskop-bioskop lama yang selama ini mengandalkan proyektor seluloid. Tidak adanya film yang dibuat dalam format seluloid membuat beberapa bioskop hanya memutar film-film stok lama. Namun, hal tersebut ternyata dapat disiasati oleh pemilik bioskop dengan membeli proyektor bekas yang dijual oleh Grup 21. Melalui proyektor bekas dengan sedikit reparasi ini, pemilik bioskop lama kini dapat menayangkan film Indonesia dan impor terkini dalam format digital. Strategi ini ternyata mampu menghidupkan kembali layar-layar bioskop yang sebelumnya tidak mendapatkan akses film karena keterbatasan teknologi.

Tukar menukar barang bekas dan ruang untuk mendirikan atau menghidupkan kembali bioskop menjadi catatan tersendiri dalam perkembangan bioskop lima tahun terakhir.

Bioskop untuk Pulau Jawa

Hingga Desember 2017, bioskop sudah tersedia di hampir seluruh provinsi di Indonesia, tepatnya di 29 Provinsi di Indonesia. Hanya Provinsi Aceh, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Papua Barat dan Sulawesi Barat yang tidak memiliki akses ke bioskop.

Persebaran Bioskop 2017

Meskipun bioskop telah tersedia di hampir seluruh provinsi di Indonesia, mayoritas bioskop ternyata hanya terpusat di Pulau Jawa. Dari 263 bioskop dengan 1412 layar, 183 bioskop dengan 988 layar berada di Pulau Jawa. Atau dengan kata lain, sekitar 70 persen bioskop dan layar saat ini berada di Pulau Jawa.

Selain terpusat di Pulau Jawa, persebaran bioskop dan layar juga hanya terpusat di kota-kota besar di Indonesia. Dari 99 kota dan 416 kabupaten yang terdapat di Indonesia, 58 kota atau 60 persen kota sudah memiliki akses ke bioskop dari seluruh kota di Indonesia. Sedangkan, hanya 21 kabupaten atau sekitar 5 persen kabupaten yang baru memiliki bioskop.

Meskipun 58 kota dari 99 kota telah memiliki akses ke bioskop, persebaran bioskop dan layar lagi-lagi masih terpusat di kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan sekitarnya. Secara rinci, persebaran bioskop dan layar terbanyak berada di Kota Jakarta Selatan (19 Bioskop dengan 108 layar), Kota Surabaya (16 Bioskop dengan 87 layar), Kota Bekasi (14 Bioskop dengan 84 layar), Kota Tangerang (13 Bioskop dengan 87 layar), dan Kota Bandung (11 Bioskop dengan 76 layar).

Fakta bahwa bioskop hanya ada di kota diperkuat apabila kita melihat persebaran kabupaten berbioskop yang cenderung lokasinya berdekatan dengan kota. Jika diamati secara geografis, dari 21 kabupaten yang memiliki bioskop, sebagian besar dikarenakan lokasinya yang berbatasan langsung dengan pusat kota.

Contoh menarik dapat dilihat di Kabupaten Sleman, kabupaten dengan bioskop dan layar terbanyak se-Indonesia dengan jumlah 5 bioskop dengan 33 layar.

Secara geografis, maraknya bioskop dan layar di Kabupaten Sleman tidak terlepas dari wilayahnya yang memang berbatasan langsung dengan Provinsi D.I Yogyakarta. Pertumbuhan masif di provinsi D.I Yogyakarta memiliki pengaruh banyak untuk wilayah Kabupaten Sleman, khususnya pergeseran tempat hunian warga dari wilayah kota Yogyakarta ke wilayah Kabupaten Sleman. Pertumbuhan Kabupaten Sleman juga didorong oleh keberadaan dua kampus besar di wilayah ini, yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta yang mendorong peningkatan jumlah hunian sementara bagi mahasiswa.

Wajar, meskipun Sleman masih merupakan Kabupaten, tetapi memiliki jumlah bioskop dan layar yang setara dengan Kota Tangerang Selatan. Kondisi seperti di Sleman juga terjadi di wilayah Kabupaten Karawang, Kabupaten Badung dan Kabupaten Bogor.

Paparan di atas semakin memperlihatkan bahwa para calon penonton di Bioskop pada dasarnya adalah mereka yang mayoritas tinggal di Pulau Jawa. Para calon penonton ini hidup di kota-kota besar, atau menetap di kota/kabupaten yang bersebelahan langsung dengan kota besar.

Dengan kata lain, di Indonesia, menonton film di bioskop adalah hiburan yang hanya ramah bagi orang kota yang tinggal di Pulau Jawa. Di luar Pulau Jawa, perlu upaya yang lebih banyak untuk dapat menikmati tontonan film di Bioskop

Harga Tiket dan Daya Beli Warga

Selain dipisahkan berdasarkan geografis, calon penonton juga dieliminasi berdasarkan daya beli. Salah satu cara eliminasi melalui harga tiket bioskop.

Perlu diingat, setiap grup bioskop memiliki ragam harga tiket sesuai dengan hari pemutaran, kategori ruang pemutaran dan aspek-aspek lainnya. Untuk mempermudah analisis, penulis hanya menggunakan harga tiket untuk pemutaran reguler sebagai acuan dalam menghitung rata-rata.

Hingga Desember 2017, rentang rata-rata harga tiket dari masing-masing grup bioskop berada pada kisaran Rp31.292 pada hari Senin-Kamis hingga Rp42.448 pada akhir pekan. Besaran ini relatif naik kurang dari lima ribu rupiah dibandingkan Agustus 2012 dengan rata-rata harga tiket sekitar Rp27.826 pada hari Senin-Kamis dan Rp40.470 pada akhir pekan. Sebagai catatan, pada tahun tersebut hanya ada dua pemain saja, yaitu Grup 21 dan Blitzmegaplex.

Rata-Rata Tiket Bioskop 2017

Rata-rata harga tiket tertinggi terdapat pada Grup Cinema 21, khususnya bioskop dengan kategori XXI [1]. Rata-rata harga tiket kategori XXI secara keseluruhan adalah Rp41.881. Rinciannya, rata-rata harga tiket pemutaran Senin-Kamis berkisar pada Rp34.714 dan rata-rata harga tiket pada akhir pekan berkisar pada Rp50.036. 

Sedangkan, rata-rata harga tiket terendah terdapat pada sejumlah bioskop Independen. Rata-rata harga tiket pada sejumlah bioskop Independen secara keseluruhan berkisar Rp28.844. Rinciannya, rata-rata harga tiket pemutaran Senin-Kamis berkisar pada Rp26.333 dan rata-rata harga tiket pada akhir pekan berkisar pada Rp.32.533.

Belum ada penjelasan lebih lanjut mengapa perbedaan antar grup bioskop bisa terjadi, apakah murni strategi bisnis atau ada pertimbangan lainnya. Namun, faktor lokasi bioskop nampaknya memiliki andil besar dalam mempengaruhi besaran harga tiket.

harga tiket berdasarkan provinsi

Jika dipilah berdasarkan provinsi, dapat terlihat bahwa rata-rata harga tiket termahal terdapat di Provinsi Papua dengan rata-rata harga tiket senin-kamis sebesar Rp50.000 dan Rp75.000 pada akhir pekan. Sedangkan, provinsi dengan rata-rata harga tiket termurah terdapat pada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan rata-rata harga tiket senin-kamis Rp25.000 dan Rp30.000 pada akhir pekan.

Perlu dicatat, tingginya rata-rata harga tiket di Provinsi Papua dan rendahnya harga tiket di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung karena masing-masing diisi oleh satu bioskop dari grup bioskop yang berbeda. Jika di Provinsi Papua diisi oleh satu bioskop dari Grup 21 yaitu Jayapura XXI, sedangkan Kepulauan Bangka Belitung diisi oleh satu bioskop independen yaitu BES Cinema.

Penentuan harga tiket memang sepenuhnya ditentukan oleh pemilik bioskop. Namun, kemampuan membeli tiket film sepenuhnya ditentukan oleh pendapatan warga. Terlebih, tidak ada bentuk insentif yang nyata diberikan untuk penonton film Indonesia, baik oleh grup bioskop maupun pemerintah.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif terkait kemampuan daya beli warga di masing-masing provinsi terhadap harga tiket bioskop yang tersedia, maka perlu dihitung waktu bekerja yang diperlukan seseorang untuk membeli satu tiket film di bioskop berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2017.

Dari seluruh waktu kerja yang diperlukan untuk membeli satu tiket bioskop di setiap provinsi, D.I Yogyakarta menjadi provinsi dengan harga tiket yang paling tidak ramah bagi warganya.

Waktu Kerja untuk Membeli Tiket Bioskop

Dengan UMP 2017 sekitar 1,3 juta rupiah, warga Yogya berpenghasilan UMP perlu bekerja hingga 277 menit untuk dapat membeli satu tiket bioskop. Bandingkan dengan DKI Jakarta yang hanya memerlukan waktu sekitar 120 menit bagi warga berpenghasilan UMP untuk dapat membeli satu tiket bioskop.

Waktu bekerja lebih dari 3,5 jam untuk membeli satu tiket bioskop juga dialami warga berpenghasilan UMP yang tinggal di Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat dan Jawa Timur. Artinya, menonton film bukanlah aktivitas hiburan yang mudah diakses bagi orang-orang berpenghasilan UMP di provinsi-provinsi tersebut.

Belum ada kajian yang lebih mendalam yang menjelaskan mengapa Yogya begitu mahal untuk urusan harga tiket. Namun, salah satu faktor yang diduga cukup berkontribusi terhadap mahalnya harga tiket bagi warga Yogya adalah pengembangan pariwisata yang eksploitatif dan tidak terkontrol. Hal ini dapat diamati dari tingginya pertumbuhan tempat-tempat hiburan, hotel dan wisata dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat Yogya menjadi tidak ramah bagi warganya sendiri, termasuk urusan harga tiket bioskop.

Meskipun Yogya tergolong mahal, kenyataannya, dari 29 provinsi yang memiliki akses ke bioskop, rata-rata waktu kerja yang diperlukan untuk bisa membeli satu tiket bioskop masih sangat tinggi, yaitu 197 menit.

Waktu Kerja Beli Tiket Tiap Negara

Dibandingkan Korea Selatan, Thailand dan Malaysia, harga tiket di Indonesia tergolong mahal. Berdasarkan rata-rata penghasilan minimum di ketiga negara tersebut, warga di Malaysia ternyata hanya perlu bekerja selama 44 menit untuk membeli tiket bioskop seharga kisaran Rp52.085. Warga di Thailand juga hanya perlu bekerja selama 130 menit untuk membeli tiket seharga kisaran Rp86.895. Bahkan, Korea Selatan, yang saat ini menjadi salah satu industri perfilman terbaik di Asia, warganya hanya perlu bekerja selama 38 menit untuk membeli tiket seharga kisaran Rp126.606.

Kondisi-kondisi di atas semakin menunjukkan bahwa bioskop di Indonesia masih belum ramah bagi semua. Hanya orang-orang yang tinggal di wilayah tertentu dan dengan tingkat ekonomi tertentu yang mudah membeli tiket nonton di bioskop. Tanpa adanya intervensi dari negara atau perubahan mendasar strategi bisnis dari pengusaha bioskop, kondisi ini nampaknya akan terus berlanjut.

[1] Sebagai catatan, pemutaran reguler di Grup Cinema 21 dipisah berdasarkan kategori 21 dan kategori XXI. Meskipun saat ini, bioskop-bioskop dengan kategori 21 direvitalisasi menjadi kategori XXI.