Artikel/Kajian Membicarakan Penonton Festival Film Kekinian

Kajian Dyna Herlina S 05-07-2018

Sirkuit festival film berakar dari Eropa setelah Perang Dunia II sebagai oposisi industri film Amerika kemudian menyebar ke seluruh dunia (De Valck, 2008:15). Seiring dengan pertumbuhan kegiatan perfilman di Yogyakarta, festival film juga lahir dan berkembang atas dukungan penonton. Kehadiran penonton menjamin keberlangsungan peristiwa budaya semacam ini.

Di antara banyak festival film yang lahir di Yogyakarta, ada tiga festival film yang diselenggarakan secara konsisten, yaitu Festival Film Dokumenter (FFD), Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), dan Festival Film Pelajar Jogjakarta (FFPJ). Masing-masing festival mencanangkan kegiatannya dengan menyasar penonton tertentu, misalnya FFPJ dikhususkan bagi pelajar SMA, sedangkan FFD dan JAFF ditujukan untuk penonton yang lebih dewasa.

FFD pertama kali diselenggarakan pada Desember 2002 oleh Komunitas Dokumenter. Komunitas Dokumenter kemudian berubah menjadi Forum Film Dokumenter pada 2013. Organisasi yang memiliki fokus pada film dokumenter di Indonesia ini bersifat nonprofit. Tujuan organisasi ini membangun infrastruktur film dokumenter melalui penelitian, workshop, arsip, pemutaran, produksi, dan festival. Festival ini merupakan festival film dokumenter pertama di Asia Tenggara (Festival Film Dokumenter, n.d.).

JAFF didirikan pada 2006. Selain mempromosikan sinema Asia pada publik Indonesia, tujuan festival ini juga menciptakan ruang pertemuan berbagai sektor, seperti seni, budaya, dan pariwisata. Sejak berdiri, JAFF bekerjasama dengan sebuah organisasi film dan budaya yang anggotanya berasal dari 30 negara, yaitu Netpac (Network for the Promotion of Asian Cinema) (Jogja-Netpac Asian Film Festival, n.d.).

Sedangkan FFPJ dimulai pada 2010. Festival ini bermaksud menciptakan ruang belajar bersama, sharing, ruang pertemuan komunitas, dan kompetisi film bagi pelajar tingkat sekolah menengah atas dan setara yang memiliki cakupan nasional (Aryanto, 2015:4).

Menurut De Valck (2008: 189), ada enam jenis penonton festival. Pertama, the lone-list maker, yaitu penonton yang menyiapkan daftar film/kegiatan yang ingin diikuti berdasarkan seleranya sendiri. Kedua, the highlight seeker, yaitu penonton menyiapkan kunjungannya ke festival, tetapi secara sadar mempertimbangkan dan mengumpulkan tips dari orang lain agar tidak melewatkan program-program unggulan festival. Ketiga, the specialist, yaitu penonton yang mengunjungi festival karena program unik yang ditawarkan. Keempat, the leisure visitor, yaitu pengunjung festival yang datang karena waktu luang, sehingga penonton jenis ini tidak mau memberikan pengorbanan dana dan uang untuk memilih film sebelum menontonnya. Kelima, the social tourist, yaitu pengunjung yang menjadikan festival sebagai sarana pergaulan sosial. Penonton jenis ini sekadar mengikuti saran orang yang dipercaya dalam kelompok. Keenam, the volunteer, yaitu pekerja festival yang ingin mendapatkan pengalaman mendalam sebagai imbalannya.

Menurut penelitian Unwin, Kerrigan, Waite & Grant (2007), frekuensi kunjungan penonton festival dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tidak sering, cukup sering, dan sering sekali. Penonton pada kategori pertama biasanya tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang film. Penonton ketegori ini sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut berdasarkan rekomendasi teman yang dipercaya memiliki afiliasi dengan organisasi budaya. Kategori kedua, cukup sering, berusaha mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, terutama media massa, seperti koran, yang dianggap kredibel. Sedangkan kategori ketiga, sangat sering, merupakan khalayak yang biasanya mengunjungi bioskop secara teratur dan sangat ingin menonton banyak film. Penonton kategori ini biasanya memfasilitasi dirinya dengan kartu keanggotaan bioskop.

Rotterdam International Film Festival melakukan penelitian mengenai resepsi penonton festival pada 2001. Temuan mereka menunjukkan bahwa ada dua kelompok penonton (De Valck, 2008: 190). Pertama, seasoned visitors, yaitu penonton yang telah mengunjungi festival sebanyak 5 kali atau lebih, dengan usia 20- 60 tahun. Sebagian besar dari kelompok ini (82%) memiliki pengalaman mengunjungi berbagai festival dan memiliki keingintahuan besar terhadap perkembangan baru dunia film. Kedua, neophyte visitors, yaitu pengunjung festival yang hadir 4 kali atau kurang, dengan usia 40 tahun atau lebih muda. Dari jumlah itu, 28% di antaranya tidak memiliki pengalaman menghadiri festival sebelumnya. Bagi kelompok ini, festival memiliki banyak arti, seperti kesempatan melebur bersama penonton lain pada pemutaran perdana dan terbatas, bertemu pembuat film, mendapatkan pengetahuan baru, menemukan bakat- bakat baru, suasana baru, dan kombinasi antara pengalaman sosial dan penemuan hal-hal baru.

Penulis menyebarkan angket pada penonton tiga festival film di Yogyakarta (FFD, JAFF, FFPJ) pada tahun 2015 dengan metode convenience sampling. Dari FFD ada 97 responden, JAFF melibatkan 101 responden, sedangkan di FFPJ didapatkan 108 responden. Semua data yang terkumpul diolah dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif.

Temuan data menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengunjungi festival film dibanding laki-laki. Fenomena ini sejalan dengan temuan di beberapa penelitian mengenai festival film lain, seperti Rhode Island International Film Festival 2006 (2006), Oxford Film Festival (Thomas & Kim, 2011), dan Sundance Film Festival (Meppen & Tennert, 2016). Seluruh penelitian tersebut berdasar pada analisis deskriptif kuantitatif, sehingga belum dapat mengetahui alasan perempuan lebih tertarik mengunjungi festival film dibanding laki-laki. Namun, data ini dapat menjadi catatan bagi pengelola festival untuk memperhatikan saluran komunikasi dan isi festival yang mampu menarik perhatian perempuan.

Sebagian besar pengunjung festival adalah remaja dan dewasa muda. Hasil penelitian ini cukup berbeda dengan kisaran usia penonton festival film yang telah mapan, seperti penonton Sundance Film Festival (Meppen & Tennert, 2016) yang lebih dari setengahnya berusia 45 tahun. Hal ini sejalan dengan segmentasi penonton film seni di Amerika Serikat yang cenderung didominasi oleh penonton berusia di atas 50 tahun (Austin, 1983:12).

Jika melihat perbedaan usia penonton festival film di Indonesia dan Amerika di atas, ada beberapa hal yang dapat ditelaah lebih lanjut. Penonton Indonesia adalah kelompok anak muda yang belum memiliki pekerjaan, sehingga daya beli mereka terbatas. Sebaliknya, penonton Amerika adalah kelompok dewasa yang biasanya telah mengalami kebebasan finansial. Artinya, mereka memiliki dana cukup besar untuk kegiatan waktu luang. Pada situasi ini, penonton Amerika memberi dampak yang cukup besar secara ekonomi, sedangkan festival film di Indonesia bekerja dalam ceruk yang spesifik. Artinya, pengelola festival perlu memperluas rentang usia penontonnya. Data mengenai usia ini linier dengan data mengenai pekerjaan dan pendidikan.

Jika ditelusuri lebih lanjut, penonton FFD didominasi oleh orang-orang yang berminat di bidang media dan budaya. Sedangkan penonton JAFF terdiri dari orang yang berminat di bidang media budaya dan bukan. Artinya, penonton JAFF lebih umum dibandingkan kedua festival lain.

Jumlah peserta dari luar kota didominasi oleh FFPJ yang secara khusus mengundang dan memfasilitasi penginapan mereka. Di saat yang sama, JAFF juga menyelenggarakan satu program "Forum Komunitas" yang berusaha mengundang dan memfasilitasi pegiat komunitas film dari seluruh Indonesia. Sedangkan FFD tidak melakukan fasilitasi apapun untuk pengunjung dari luar kota. Oleh karena itu, peran panitia cukup dominan. Meskipun jumlah pengunjung luar kota besar, angka ini belum mampu menunjukkan daya tarik festival.

Data menunjukkan bahwa kunjungan berulang terhitung rendah, namun penonton ingin memaksimalkan pengalaman menonton film pada tiap kunjungannya. Festival-festival internasional yang cukup mapan justru sangat bergantung pada kunjungan berulang ini karena biaya publikasi yang mereka perlukan lebih kecil dibanding dengan upaya meraih penonton baru setiap tahun. Lebih lanjut, jika kunjungan berulang cukup besar, maka festival tersebut sebenarnya telah memiliki khalayak setia.

Tema film menjadi atribut mendasar penonton memilih film, sedangkan sumber informasi yang dianggap terpercaya adalah rekomendasi teman. Data ini sejalan dengan perilaku penonton festival yang diungkapkan oleh Unwin, Kerrigan, Waite & Grant (2007) bahwa penonton yang tidak sering melakukan kunjungan ulang sangat bergantung pada opini rekannya dalam memilih film karena para penonton tersebut tidak memiliki pengetahuan luas soal film. Maka jika merujuk kategorisasi Rotterdam Film Festival penonton festival film dalam penelitian ini dapat dikategorikan dalam neophyte visitors/ festival-oriented. Sedangkan menurut tipologi penonton yang diajukan De Valck (2008: 189), para responden masuk dalam kategori the social tourist, yaitu pengunjung yang menjadikan festival sebagai sarana pergaulan sosial. Kategori pengunjung ini sekadar mengikuti saran orang yang dipercaya dalam kelompok.

Para penonton menempatkan festival sebagai sarana mendapatkan beragam pengalaman sosial melalui berbagai kegiatan yang diikuti. Pengalaman ini dianggap berharga untuk menasbihkan diri sebagai bagian dari kelas kreatif dan warga kota modern. Kehadiran para penonton di festival membuktikan adanya kepemilikan modal kultural dalam pembicaraan di antara teman, kolega, dan keluarga. Para penonton ini fokus pada atensi, tontonan, dan pengalaman, ketika menceritakan festival tanpa terjebak dalam dikotomi budaya tinggi-rendah.

Penelitian ini dikerjakan dengan metode yang relatif sederhana, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menjawab beberapa pertanyaan baru berikut ini. Pertama, mengapa penonton perempuan lebih mendominasi? Kedua, bagaimana perilaku penonton dan proses penyebaran informasi sebelum, selama, dan setelah festival berlangsung? Ketiga, faktor apa yang paling penting dalam menentukan keputusan memilih film? Keempat, dampak ekonomi, budaya, sosial, dan teknologi seperti apa yang dapat didorong oleh festival film?

Secara praktis, penelitian ini merekomendasikan penyelenggara festival untuk melakukan beberapa hal. Pertama, memperluas khalayak agar dapat meraih kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan festival. Kedua, meng- identifikasi konten yang mengombinasikan pengetahuan khusus mengenai film dan aktivitas pengalaman yang populer. Ketiga, merumuskan strategi untuk mendorong kunjungan ulang dan peserta luar kota. Keempat, menentukan pesan dan media yang tepat, yaitu memanfaatkan jaringan sosial (online dan offline) secara lebih optimal.

Daftar Pustaka

Aryanto, I. K. (2015). Festival film di DIY. Yogyakarta, Indonesia: Dinas Kebudayaan Provinsi DIY.

Austin, B. A. (1983). Portrait of an art film audience. U.S. Department of Education, Washington, D.C., U.S.

De Valck, M. (2008). Film festivals: From european geopolitic to global cinephilia. Amsterdam, Netherlands: Amsterdam University Press.

Festival Film Dokumenter (n.d.) Tentang Festival. Diakses dari http://ffd.or.id/tentang-kami/

Jogja-Netpac Asian Film Festival (n.d.). About JAFF. Diakses dari https://jaff-filmfest.org

Thomas, T., & Kim, Y. (2011). A study of attendees' motivations: Oxford film festival. Undergraduate Research Journal for the Human Sciences.

Rhode Island International Film Festival (2006) 2006 Fact Sheet. Diakses dari http://www.film-festival.org/aboutus_facts06.php

Meppen, D., & Tennert, J. (2016). Economic impact of the 2016 sundance film festival. Utah, USA: Kem C. Gardner Policy Institute, The University of Utah.

Unwin, E., Kerrigan, F., Waite, K. & Grant, D. (2007). Getting the picture: Programme awareness amongst film festival customers. International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, 12(3), 231-245.

Artikel lengkap penelitian ini dapat diunduh di Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.14, No. 1 (2017), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta