Artikel/Sosok Henky Solaiman: Jangan Hanya BBM, Film juga Perlu Disubsidi

Sosok Pandji Putranda 09-09-2014

Tahun 2014 menjadi salah satu tahun yang cukup sibuk bagi aktor kawakan Henky Solaiman di panggung layar lebar. Setelah Comic 8,Modal Dengkul, Tania, Bajaj Bajuri, dan Mengejar Malam Pertama, pria yang dulu pernah menjadi manajer sebuah perusahaan swasta ini kembali terlibat dalam film terbaru Raditya Dika, Malam Minggu Miko The Movie. Kali ini, Ia berperan sebagai Bapak Anca, seorang pembantu berdarah biru yang secara turun-temurun senantiasa mendedikasikan hidupnya pada sang majikan. Usai pemutaran film terakhirnya itu, Henky bercerita banyak soal pengalamannya berkolaborasi dengan sineas-sineas muda, pandangannya terhadap sebuah peran, sampai pada dinamika perfilman Indonesia.

“Saya senang sekali bisa terlibat di film ini. Apalagi bekerja sama dengan para pekerja film Indonesia yang masih tergolong muda. Mungkin (faktor usia) memang tidak jadi soal. Kenyataannya kami bisa berkolaborasi dengan nyaman. Saya dan mereka bisa dengan mudah berbaur satu sama lain. Baik itu sutradara, sesama pemain, bahkan kru. Betul-betul seru pengalaman ini.” ujarnya tersenyum.

Selain itu, Henky juga menganggap sosok Raditya Dika sangat menyenangkan. “Artinya, tidak hanya dia adalah stand up comedian yang notabene dituntut agar selalu terlihat menghibur dan lucu, tetapi dia juga mampu menempatkan dirinya secara profesional.” tambahnya. Ketika menggarap film ini, Henky menilai Dika bisa sangat serius dan mampu mempertahankan serta menjaga mood sesuai situasi di lapangan. “Dia anak yang baik. Bahkan sebelum disutradarai oleh Dika, saya sempat datang ke rumahnya untuk ikut casting. Dari situ saja sudah seru.” lanjut Henky antusias.

Di film ini, Henky berterus terang bahwa ia mengikuti proses casting. Ia tidak mau menganggap bahwa dirinya sudah memiliki nama besar sebagai aktor senior, lantas tidak perlu repot-repot mencari dan hanya tinggal menunggu tawaran saja. “Saya tidak mau seperti itu. Makanya saya banyak mengikuti proses casting untuk film. Dan saya rasa setiap aktor/aktris profesional harus berpikir begitu pula (giat mencari casting). Soal cocok atau tidaknya dengan peran, itu urusan lain. Kalau cocok bagus, kalau tidak tinggal cari yang lain.” paparnya bersemangat.

Lalu bagaimana dengan perannya sebagai pembantu senior berdarah biru? Henky mengaku cocok. Ia merasa peran Bapak Anca adalah peran yang unik. “Karena komedi yang ditekankan di sini bukan semata-mata slapstick, melainkan lebih kepada permainan situasi. Dalam waktu dekat ini saya akan kembali terlibat dalam satu produksi film layar lebar bersama anak saya, Verdi Solaiman. Filmnya sendiri masih bernuansa komedi, dan peran saya di film itu juga bisa dibilang unik. Ceritanya tentang sepasang suami istri yang sudah bertahun-tahun menikah namun jarang bertemu. Suatu hari keduanya sakit cukup parah sampai harus ditempatkan dalam satu ruangan yang sama selama seminggu penuh. Peran saya nanti sebagai dokter senior, sedangkan anak saya dokter yang lebih muda. Dua dokter yang berbeda generasi ini berselisih dalam menanggulangi pasien. Unsur komedinya ada dalam situasi tersebut. Sehingga bisa dibilang komedi cerdas.” paparnya. 

Namun ketika harus memilih peran apa yang paling berkesan sepanjang karirnya di dunia film, Henky merasa kesulitan. Pasalnya, setiap peran yang Ia mainkan memiliki kesannya sendiri-sendiri. “Saya suka berperan sebagai pembantu senior di film ini. Di film yang akan datang, saya juga menyukai peran saya sebagai dokter. Kalau di tahun-tahun sebelumnya, peran saya di Habibie dan Ainun (2012) mungkin bisa dibilang peran kecil. Meskipun saya sama sekali tidak berkeberatan dengan peran kecil lho. Lalu peran saya di film Tanda Tanya (2011). Oh, bahkan bukan hanya peran saya saja, tapi saya suka keseluruhan filmnya. Dalam hati saya berujar kalau bikin film tuh harus berani seperti ini.” lanjutnya tertawa.

Terlepas dari besar kecilnya sebuah peran, Henky menganggap setiap peran harus digarap secara serius. Aktor yang baik harus dapat menemukan elemen-elemen terbaik yang dapat menghidupkan peran yang dimainkan. “Peran kecil bukan masalah. Kalau anda ingat, saya sering mendapat banyak peran kecil di film-film Teguh Karya, Chaerul Umam, dan beberapa lainnya. Misalnya peran saya di Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985). Di film itu saya cuma dapat jatah dua adegan. Tapi orang-orang masih ingat sampai sekarang. Kemudian di film Lupus pada adeganapi olimpiade yang tidak pernah padam. Masih ada lagi, di film Warkop pada adegan yang saya menyebut menu-menu makanan pakai bahasa Rusia dan Perancis. Peran saya tergolong kecil dan adegan saya tidak banyak, namun orang-orang masih hafal sampai sekarang. Kesimpulannya, para penonton akan ingat peran apapun yang memorable, entah itu peran kecil atau besar.” imbuhnya.

Kebijakan

Akhir tahun 2014 merupakan masa transisi kepengurusan lembaga-lembaga film nasional. Dengan berakhirnya masa jabatan pengurus yang lama ke pengurus yang baru, akan ada sejumlah kebijakan yang dievaluasi, sekaligus perencanaan kebijakan baru untuk kedepannya. Fenomena ini tentu akan berdampak bagi situasi perfilman nasional. Akan tetapi sebagai aktor senior, Henky menilai animo film Indonesia dewasa ini cukup positif. Terutama karena partisipasi kaum muda yang terus bertambah, serta antusiasme mereka yang tidak mudah putus asa dalam kondisi yang sebetulnya sangat menekan.

“Tekanan yang saya maksud sebetulnya sudah ada dari sejak lama. Persisnya begini, dari dulu sudah ada importir film internasional yang memonopoli industri film lokal, dan itu sangat memberatkan film lokal secara strategis. Bahkan ada masa di mana film lokal sampai mati. Saya masih ingat film Slamet Rahardjo yang kebetulan menjadi salah satu favorit saya, judulnya Langitku Rumahku (1989). Itu adalah film anak-anak yang bagus dan edukatif. Namun pada saat itu, seluruh film lokal harus melewati Peredaran Film Nasional (PERFIN) sebelum bisa sampai dan tayang di layar bioskop 21. Bisa sampai begitu karena jaringan bioskop 21 berkuasa sekali.” katanya terkekeh kecil. “Nah, film-film yang melewati PERFIN biasanya akan diputar pada hari Kamis. Sementara filmnya Slamet itu kan film anak-anak, di mana ketika anak-anak mau menonton, pasti lebih memungkinkan di akhir pekan –saat sekolah libur dan orang tua juga libur kerja. Kemudian pada hari Sabtu di minggu yang sama, film itu sudah tidak ada. Sudah dicabut dari layar bioskop 21 karena tidak memenuhi kuota standar jumlah penonton harian. Bioskop 21 punya standar, apabila dalam satu hari jumlah penonton tidak melewati sekian puluh orang, film tersebut harus dicabut dari layar.” lanjutnya.

“Di periode yang sama, saya pernah menonton film Hollywood yang dibintangi Whoopi Goldberg (Sister Act II). Saya ingat jumlah penonton di satu studio itu hanya sekitar empat orang. Tapi tetap dipertahankan pemutarannya oleh bioksop 21. Seandainya itu film lokal, ceritanya pasti lain. Seandainya itu film lokal, pasti uangnya dikembalikan ke produser film. Jadi bisa dibilang, keadaan seperti ini sama sekali tidak membantu tumbuh kembangnya industri film lokal.” tutupnya seraya mengerutkan dahi.

Lebih dari itu, Henky berharap kebijakan terkait film nasional yang baru nanti bisa lebih memperhatikan dan membantu industri film Indonesia. Sebab menurutnya, di manapun industri film sudah seharusnya dibantu oleh pemerintah. “Bila tidak, bagaimana nanti kami para pekerja film mampu bersaing dengan kekuatan Hollywood? Belum lagi pesatnya film-film India. Mereka ini susah dilawan karena pasarnya kuat sekali.” tambahnya. Selain Hollywood dan Bollywood, Henky melihat potensi yang sama juga dimiliki oleh industri film Korea Selatan.

Mengenai tahap implementasi, salah satu bentuk insentif yang paling riil menurut Henky ialah pembebasan beban pajak. “Kita tahu kalau hasil penjualan tiket itu akan dibagi lagi ke tiga pihak: pemerintah, pemilik bioskop, dan pemilik film. Jatah untuk pemilik film itu nantinya kan akan dibagi lagi untuk pemain, untuk kru, dan lain-lainya. Kalau begini terus bagaimana?” imbuhnya setengah tertawa.

“Saya tahu ada beberapa film Indonesia yang sangat surplus. Katakanlah ada beberapa tipe film yang dengan modal 15 milyar rupiah, mampu menghasilkan keuntungan 60 milyar rupiah. Tapi di sisi lain ada pula film Indonesia yang membutuhkan modal 9 milyar rupiah, sementara pendapatannya hanya kisaran 600 juta rupiah. Kalau tidak ada bantuan bagaimana mungkin bisa berkembang? Jadi jangan hanya BBM saja yang disubsidi, film juga perlu subsidi!” ia tertawa bersemangat.

Tak lupa, Henky juga menuturkan bahwa sudah waktunya pemerintah membangun kembali kebudayaan bangsanya. Dan salah satunya ialah dengan membantu perkembangan film nasional.