Selamat Pagi, Malam bercerita tentang kehidupan Jakarta jelang matahari terbenam melalui tiga sudut pandang tokoh utamanya: Gia (Adinia Wirasti) yang baru pulang ke Jakarta setelah menahun tinggal di New York, Indri (Ina Panggabean) yang berambisi mendapatkan laki-laki kaya melalalui obrolan di telepon seluler pintarnya, dan Ci Surya (Dayu WIjanto) yang menemukan bahwa almarhum suaminya ternyata memiliki wanita simpanan. Lewat satu malam di Jakarta, hidup ketiganya berubah.
“Jakarta ini lucu. Setiap kali saya meninggalkan Jakarta, saya merasa senang sekali. Tapi setelah pergi, ujung-ujungnya saya selalu kangen. Ke manapun saya pergi, saya mendapati diri saya kembali kangen dengan suasana Jakarta. Kemudian saya bingung sendiri. Ada apa dengan kota ini sampai bisa membuat saya kangen sedemikian rupa? Lalu saya merasa ada sebuah energi yang sangat kuat, yang kacau, mampu bikin frustrasi, tapi pada akhirnya kita suka, kita cinta akan hal itu. Singkatnya, kalau bukan karena Jakarta, saya nggak akan bisa buat film ini. Jadi bisa dibilang saya berhutang budi dengan Jakarta.” jelas Lucky.
Selain itu, Lucky juga merasakan ada semacam ketidakpaduan antara tampilan fisik Jakarta dengan isinya. Secara fisik, Jakarta seolah-olah terlihat mirip dengan New York, namun tanpa esensi yang jelas. “Esensi yang hilang itulah yang saya mainkan dalam film ini. Misalnya, ada salah satu menu di resto yang diberi nama grandma’s ice tea, saya mikir, itu neneknya siapa ya?” ujarnya sambil tertawa. Bagi Lucky, kota ini menyimpan energi yang mampu membuat penduduknya terobsesi menjadi pribadi yang lain.
“Padahal yang menurut saya indah dari kota ini bukan begitu. Indah itu justru ketika ada balapan liar di tengah malam, ada warung-warung kaki lima pinggiran yang menunya bermacam-macam, itulah keindahan Jakarta. Bukan malah tempat-tempat bergengsi yang terlihat berusaha membuat orang untuk menjadi pribadi yang lain.” pungkasnya sambil menghela asap rokok.
Naskah Selamat Pagi, Malam pertama kali ditulis oleh Lucky pada tahun 2005. Membutuhkan hampir satu dekade sampai akhirnya berhasil tayang di layar lebar. Sedangkan proses syuting untuk film yang berdurasi 91 menit ini hanya berlangsung selama 11 hari. Lucky sendiri mengakui butuh waktu untuk membangun dan mengembangkan naskahnya, karena di awal-awal proses pembuatan naskah, Ia merasa masih belum bisa melihat Jakarta dari sudut pandang yang cukup obyektif.
Lantas, dengan proses syuting yang terbilang singkat, ada salah satu adegan yang secara pribadi menarik bagi Lucky. “Adegan kerak telor itu aslinya tidak ada di dalam naskah. Jadi waktu kami syuting adegan yang asli, kebetulan lagi ada balapan liar yang dekat dengan lokasi syuting. Walhasil kami tidak berhasil merekam suara sama sekali karena bising. Hampir gila tuh.” Ia tertawa.
“Dan pada akhirnya kami terpaksa menambah satu malam lagi untuk syuting. Di samping itu, bahkan ketika sedang syuting, saya tiba-tiba merasa adegan aslinya (bukan adegan kerak telor) kok tidak masuk ya. Terutama secara karakter, dua orang ini (Faisal dan Indri) jadi terasa inkonsisten. Kemudian saya pikir ulang, saya tulis-tulis lagi, akhirnya adegan aslinya dibuang dan diganti dengan adegan kerak telor. Toh menurut saya, kami hampir tidak mungkin merealisasikan seratus persen apa yang sudah terencana di kepala ketika sedang syuting.” imbuhnya.
Namun kesan yang begitu mendalam bagi Lucky adalah eksotika malam kota Jakarta itu sendiri. “Malam hari di Jakarta, tempat di mana kita bisa menciptakan dunia sendiri.” Terutama secara spasial. Di siang hari, misalnya, jalan raya yang biasa difungsikan untuk kepentingan umum bisa berubah fungsi untuk kalangan tertentu mengadakan balapan liar. Menurut Lucky, dengan demikian jalan raya yang tadinya milik umum berubah menjadi milik pribadi.
Melihat rekam jejak Lucky dalam penggarapan film panjang, film kali ini tergolong lebih serius dengan muatan drama yang kental dibandingkan dengan film sebelumnya yang bergaya komedi. Apakah ada persiapan tertentu yang membedakan metode penggarapan film bergaya drama dengan film komedi? Lucky menjawab tidak. “Buat saya, semuanya kembali ke naskah. Naskahnya minta apa, itu yang dijadikan acuan. Madame X dieksekusi dengan gaya komedi karena itu merupakan salah satu trik untuk menghindari sensor, karena sebetulnya isu yang diangkat dalam film itu cukup sensitif. Ada soal fundamentalisme dan lain-lain. Jadi, kalau saat itu saya mengemasnya dengan gaya drama yang super serius, akan susah sekali untuk tayang. Lagipula, Madame X secara tidak langsung membutuhkan komedi untuk diserap penonton. Karena kebanyakan penonton tuh kalau melihat komedi biasanya tidak terlalu menanggapi dan berpikir secara serius.” jelasnya.
Secara lugas, Lucky tidak menganggap trik ini akan berakibat pada luputnya inti cerita yang ingin disampaikan. Karena keputusan dalam pemilihan gaya film merupakan salah satu upaya strategis untuk meloloskan film tersebut hingga beredar ke layar bioskop. “Kami mau film ini ditonton banyak orang, sementara kami akan sulit mencapai itu dengan gaya drama yang super serius. Jadi pada akhirnya memang benar-benar tergantung pada keinginan dan kebutuhan naskah.” Terlebih sebagai pembuat film, Lucky juga tidak memiliki preferensi khusus dalam gaya tertentu. “Tapi barangkali saya tidak bisa bikin film laga atau horor, karena saya penakut,” lanjutnya sambil tertawa.