Artikel/Sosok Sidi Saleh: Bikin Film Murah yang Tidak Murahan

Sosok Pandji Putranda 10-10-2014

Setelah keberhasilan Fitri di Clermont-Ferrand International Film Festival tahun 2013 lalu, tahun ini sutradara Sidi Saleh kembali ke Indonesia sambil membawa piala dari 71st Venice International Film Festival. Film pendek lainnya, Maryam, menjadi peraih Piala Orizzonti  (Horison) sebagai film pendek terbaik di antara 2.500 film peserta.

Apabila Fitri bercerita tentang kegelisahan seorang pekerja seks komersial di malam takbiran, Maryam menceritakan pembantu rumah tangga hamil yang  bekerja di rumah keluarga Katholik yang salah seorang anggotanya memiliki gangguan psikologis. Persis di malam natal, Maryam dipaksa majikannya ini untuk menemaninya pergi ke gereja dan mengikuti prosesi misa.

Sidi mengaku sering terinspirasi untuk membuat film tentang malam-malam perayaan besar yang terjadi di Indonesia. “Pada dasarnya saya suka dengan film yang ruwet dan masif. Tapi anggaran untuk mengeksekusi ide tersebut sangat terbatas, dan malah makan waktu kalau mau menunggu sampai dananya aman. Akhirnya saya dan teman-teman putar otak saja. Untuk kasus Maryam, kami atur jadwal kumpul dari kru sampai pemain di malam natal, langsung syuting.” ujarnya santai.

Ide tentang Maryam sebenarnya sudah ada sejak tahun 2013, tepat setelah Fitri rampung digarap. Ketika itu, Sidi tertarik untuk membuat film yang berlatar malam Natal. Meskipun idenya masih tumpang tindih, Sidi merasa tidak terburu-buru untuk menata ulang elemen ceritanya satu per satu. Pria kelahiran 1979 ini merasa bahwa otaknya mulai bekerja maksimal justru di saat-saat kepepet.

“Jadi kalau direncanakan dari jauh-jauh hari, biasanya malah tidak karuan. Tapi kalau kepepet justru biasanya jadi brilian,” ia tertawa. “Sampai sekarang saya percaya itulah jalan yang paling efektif, walaupun cara ini sebenarnya tidak dianjurkan. Karena memang ada banyak hal penting yang justru muncul pada saat syuting. Hal-hal yang ini yang menurut saya tidak bisa direncanakan dari awal.”

Sama halnya dengan Fitri, Sidi cukup memerlukan dua hari untuk syuting Maryam. Sehari untuk seluruh adegan misa malam natal di gereja, dan sehari untuk adegan-adegan lain di luar gereja. Di sisi lain, Sidi menganggap film-film pendeknya jarang melewati tahap pra produksi yang layak, lantaran hanya satu minggu rentang dari finalisasi ide sampai syuting berlangsung.

“Tapi (bagi saya) ini positif. Pernah sebelumnya saya berencana membuat film pendek, berbulan-bulan direncanakan dan dipikir ulang terus-menerus, nyatanya sampai sekarang malah tidak jadi. Mungkin saya bukan seorang perencana yang baik. Tapi, karena ada modal pengalaman sebagai sinematografer, saya merasa punya kemampuan mengatur dan menyiasati kondisi lapangan yang kuat.” imbuhnya. “Lagi pula saya selalu berpikir: bagaimana caranya membuat film yang murah, tapi tidak murahan; bagaimana caranya menyiasati ide itu dengan dana dan anggaran seadanya.”

Keakrabannya dengan kamera sejak kecil membuat Sidi dengan mudah membayangkan gambar seperti apa yang ia inginkan sebagai sutradara. Menurutnya, proses itu terjadi begitu saja. “Secara bawah sadar, saya langsung bisa tahu gambar seperti apa yang saya inginkan. Saya tidak bisa menjelaskannya secara rinci karena itu sudah feeling, sudah naluri.”

Kendati tahap pra produksi dan produksi terbilang singkat, tidak demikian halnya dengan tahap pasca produksi. Di tahap ini Sidi harus pandai-pandai mencocokkan jadwal dengan editor, dengan penata suara untuk keperluan scoring, dan lain-lain yang lebih memakan waktu ketimbang dua tahap sebelumnya.

Bicara soal kendala yang dihadapi dalam setiap pembuatan filmnya, Sidi menganggap setiap film memiliki masalahnya sendiri-sendiri. “Saya tidak bisa mengambil masalah-masalah di film sebelumnya sebagai bahan pembelajaran untuk film saya berikutnya, karena pasti ada saja masalah baru yang tidak bisa diantisipasi. Film baru saya pun tidak bisa dibilang sebagai perbaikan dari film-film sebelumnya. Buat saya setiap film itu spesifik, tidak ada yang sama, dari pendekatan sampai penanganannya. Ibarat orang jatuh cinta saja. Kan tidak mungkin kita melakukan pendekatan yang sama persis dengan tiap pasangan kita. Pasti ada sesuatu yang baru di pasangan berikutnya. Pasti!”

Venice International Film Festival

“Venice itu festival film pertama, dan mungkin satu-satunya, yang buat saya paling sentimental.” ungkapnya sedikit menghela nafas.

Tahun 2011 silam, ketika Sidi diundang ke Far-East Film Festival di Udinese, ia sempat meluangkan waktu berjalan-jalan ke Venice. Setelah menginap semalam, hari berikutnya Sidi menerima kabar ayahnya meninggal. “Mengapa sentimental, karena ayah adalah orang pertama yang memperkenalkan saya dengan kamera. Dari sejak SMP, saya sudah diajarkan teknik-teknik kamera oleh ayah. Bagaimana caranya mengambil gambar still; bagaimana caranya panning; tilt itu apa; macam-macam. Sesentimental itu.”

“Lalu 2014 saya mendapat email dari Venice kalau Maryam menang. ‘Wow’ kan? Hal pertama yang muncul di kepala saya, ya, apalagi kalau bukan memori tentang kepulangan ayah tiga tahun lalu? Katakanlah begini, 2011 saya ke Venice dan dapat kabar yang membuat saya melihat Venice seolah rata dengan tanah, 2014 tempat itu memanggil saya lagi dengan kabar begini. Wow!” lanjutnya berkaca-kaca.

Lepas dari kesan sentimental tadi, Venice International Film Festival amatlah menyenangkan bagi Sidi. Segala hal, dari konsep acara sampai lokasi pemutaran, terintegrasi dengan baik. Hal lain, festival ini memiliki program dengan muatan film yang –bagi  Sidi—terletak di tengah-tengah, antara film seni dengan film komersil.

“Mereka tetap memikirkan kualitas tanpa mengesampingkan nilai-nilai komersil ala Hollywood. Saya tidak tahu bagaimana pandangan penonton, tapi Maryam bisa dibilang sebagai usaha saya mencampurkan dua nilai tadi. Kalaupun saya kurang memberi penjelasan lantaran Maryam adalah film pendek, saya percaya film pendek adalah perkara mood. Film pendek adalah bagaimana caranya kita menikmati mood dan emosi tanpa perlu repot-repot berpikir jauh, apalagi berpikir ilmiah.”

Pulang dari Venice, Sidi membawa pulang kesimpulan baru: bahwa setiap kali ia menonton film, ia akan lebih memperhatikan apa yang hendak disampaikan oleh pembuatnya alih-alih memperhatikan teknik pembuatannya. Bukan berarti ia menganggap remeh soal teknis, namun pesan yang ingin disampaikan dan dengan cara apa pesan itu disampaikan, adalah hal yang lebih penting bagi Sidi.