Artikel/Wawancara Benni Setiawan: Jatah Layar untuk Film Lokal Sedikit Sekali

Sebelum menggeluti dunia perfilman, alumni Institut Kesenian Jakarta ini cukup aktif berlakon di panggung teater semasa kuliah. Setelah lulus, Benni sempat terlibat dalam beberapa sinetron televisi. Salah satunya ialah serial Keluarga Rahmat di stasiun TVRI. Lewat serial inilah Benni berkesempatan mengembangkan minat dan bakatnya dalam kegiatan penulisan skenario, hingga akhirnya menjadi sutradara untuk naskah garapannya sendiri. Di tahun 2010, Benni berhasil meraih piala citra FFI untuk kategori Penulis Skenario Cerita Adaptasi Terbaik sekaligus Sutradara Terbaik atas filmnya yang berjudul 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta. Kepiawaiannya menulis kembali dibuktikan di tahun berikutnya lewat penghargaan yang sama, dalam kategori Penulis Skenario terbaik lewat film Masih Bukan Cinta Biasa.

2014 menjadi tahun bersejarah untuk Benni. Karena untuk pertama kalinya Ia membuat film biografi berjudul Sepatu Dahlan. Film yang diangkat dari novel karangan Khrisna Pabichara ini bercerita tentang masa kanak-kanak Dahlan Iskan, pendiri Jawa Pos Group yang sekaligus menjabat sebagai Menteri BUMN Indonesia. Film ini rilis pada tanggal 10 April 2014, satu hari setelah pemilu legislatif berlangsung. Obrolan dengan Benni Setiawan kali ini berkisar antara filmnya yang terbaru, pandangannya terhadap industri film nasional, bagaimana mengakali film yang diangkat dari novel, serta awal karirnya menuju dunia layar lebar.

filmindonesia.or.id (FI): Boleh diceritakan soal film terakhir Anda (Sepatu Dahlan)?

Benni Setiawan (BS): Ini bukan pertama kali saya membuat film yang diangkat dari novel. Sebelumnya ada beberapa film, seperti 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta, Madre, lalu Edensor, semuanya diangkat dari novel juga. Cuma kali ini memang menarik karena tokohnya (Dahlan Iskan) masih ada, maksudnya menarik karena ini bisa disebut sebagai film biografi. Dan saya baru pertama kali bikin film seperti ini.

Tantangannya ada di seputar kesamaan dan kemiripan dengan tokoh asli. Karena saya khawatir kalau nanti tokoh dalam cerita kami malah complain, “Nggak begitu tuh ceritanya!” ya kira-kira begitulah. Jadi saya banyak konsultasi dengan Pak Dahlan walaupun waktu beliau singkat sekali, dan kebanyakan informasi yang saya dapat justru dari keluarganya, teman-temannya, sampai saya ke kampung halamannya Pak Dahlan juga untuk cari-cari info sambil sekalian observasi.

Pak Dahlan sendiri tidak menyuruh ataupun ambil bagian. Memang ada produser yang menginginkan cerita ini diangkat ke film, dan kebetulan cerita ini sudah lama dibicarakan ke saya oleh Mizan Production. Kira-kira setelah saya selesai dengan film Madre. Dan sudah sempat saya pelajari juga ceritanya. Bahkan itu sebelum Edensor. Namun karena ada hambatan tertentu yang saya kurang tahu persis, yang didahulukan malah Edensor. Dan pada akhirnya Sepatu Dahlan baru bisa produksi di tahun 2013.

Prosesnya cukup seru. Terutama ketika kita coba untuk mengambil latar yang riil, tapi ternyata perumahan di kampung halamannya Pak Dahlan sendiri sudah berubah. Jadi kita bangun ulang lagi semuanya. Ladang tebu juga cukup susah tuh, karena kebetulan waktu itu sedang jelang musim panen. Akhirnya kita cari ladang tebu sampai ke Kediri. Nah itu ladang tebu yang muncul di ending Sepatu Dahlan.

FI: Melihat film-film anda, sejauh ini belum ada yang mengambil setting Jawa Timur. Adakah kesulitan dalam tahap sosialisasi dengan masyarakat setempat?

BS: Ada sih. Terutama dari soal dialek dan bahasa. Lagipula saya sendiri bukan orang Jawa dan nggak ngerti bahasa Jawa. Nah yang saya lakukan kemudian adalah mencari tim yang bisa mengerti lingkungan dan bahasa setempat. Kami banyak dibantu teman-teman yang sudah paham situasi di sana. Justru yang menurut saya agak sulit adalah mencari pemeran. Karena toh harus sesuai dengan karakter Pak Dahlan. Baik dari fisik maupun dialek dan sebagainya.

FI: Bagaimana dengan proses pemilihan lokasi?

BS: Sebelumnya kita sempet mencari ke mana-mana. Awalnya sih ingin di Magetan (kampung halaman Dahlan Iskan), tapi karena kondisinya sudah berubah, akhirnya pindah ke Madiun.

FI: Beberapa pemeran anak kecil kabarnya memang sengaja diambil dari penduduk setempat. Bagaimana proses castingnya?

BS: Nah ini juga yang menjadi alasan saya mencari tim yang udah paham situasi setempat, karena saya memang harus mencari pemain yang dialeknya sesuai dengan masyarakat di sana. Jadi untuk peran-peran di luar Dahlan memang sengaja nggak dilakukan di Jakarta. Saya mau cari anak-anak asli sana supaya kekhasannya muncul dan dapat terlihat.

Kami sempat audisi di berbagai tempat. Di Kediri, Magetan, Madiun, macam-macam. Proses seleksinya juga ketat sekali. Karena mereka kan belum punya pengalaman sama sekali soal main film. Jangankan main film, proses syuting saja barangkali mereka baru tahu. Karenanya, kami juga menurunkan tim khusus untuk melatih mereka soal seni peran.

FI: Bagaimana antusiasmenya?

BS: Antusias banget (Tertawa). Dan bagus pula. Mereka punya bakat alam. Contohnya seperti Kadir (pemeran teman Dahlan). Dia kan bagus banget mainnya.

Politik

FI: Balik ke cerita Sepatu Dahlan, bagaimana korespondensi dengan Krishna Pabichara (novelis Sepatu Dahlan) dan Dahlan Iskan sendiri?

BS: Saya baru ketemu Krishna di Gala Premiere XXI Epicentrum Walk. Sebelumnya cuma komunikasi lewat telepon. Dia bilang dia menyerahkan segalanya ke saya. Dan saya mengerti maksudnya. Saya mengerti kalau karya tulis dan karya audiovisual adalah dua karya yang berbeda. Yang penting jangan sampai kehilangan benang merah ceritanya. Dia malah takut kalau ketemu saya (Tertawa). Takut gatel kepingin ambil bagian. Tapi saya hargai keputusan Krishna untuk tidak melibatkan diri. Apalagi ternyata dia senang sekali dengan hasil filmnya. Karena memang ketika karya tulis telah beralih format menjadi karya film, harus ada elemen-elemen tertentu yang dilebihkan, ditambahkan, atau bahkan dikurangi.

Pak Dahlan sendiri malah bilang kalau dia tidak bisa bercerita banyak. “Kamu cari tahu saja dari orang tentang kehidupan saya.” Begitu katanya. Pak Dahlan juga bilang tidak peduli mengenai dampak film ini. Mau baik mau buruk baginya tidak masalah. Jadi memang Pak Dahlan bisa dibilang tidak terlibat. Ceritanyapun berhenti di masa-masa Pak Dahlan kecil di pesantren. Tidak ada kelanjutan mengenai bagaimana Pak Dahlan akhirnya jadi orang sukses atau sebagainya. Karena cerita sebetulnya kan berbentuk trilogi. Sepatu Dahlan, Sepeda Dahlan, dan Surat Dahlan.

FI: Ada tanggapan soal pendapat masyarakat yang menganggap film ini sebagai sarana kampanye Dahlan Iskan? Terlebih di tahun ini (2014), wacana seputar politik sedang hangat-hangatnya dikarenakan jelang pemilu.

BS: Sebetulnya saya menyayangkan karena tahunnya bertepatan. Karena film itu sendiri baru selesai akhir Desember 2013, kemudian proses grading, scoring, dan pascaproduksi segala macam baru rampung di kisaran bulan Februari-Maret 2014. Lagipula jadwal 21 Cineplex susah, ketat untuk masuk. Jadi walaupun sudah didaftarkan sejak tahun 2013, dapatnya baru di bulan April 2014. Sementara buat saya sebagai sutradara, bahkan mungkin buat produser juga, April 2014 ini masih terlalu sensitif. Apalagi persis berurutan dengan tanggal nyoblos, film ini langsung tayang. Sehingga ada banyak sekali komentar-komentar yang bilang kalau ini film propaganda. Saya anggap itu sah, itu penilaian bebas dari orang-orang. Tapi ada juga beberapa orang yang sudah menyaksikan sendiri film ini dan menganggap film ini netral. Seandainya judulnya diganti jadi Sepatu Udin pun sama aja. Nggak ada masalah. Motif politiknya juga nggak ada.

Saya ibarat pembuat pisau. Pisau yang saya buat tentunya harus bagus, tajam, kuat. Orang lain yang pakai pisau buatan saya kan bebas tujuannya. Ya terserah mereka mau diapakan. Untuk memotong buah, bisa. Memotong daging, bisa. Untuk tujuan jahat pun bisa. Itu kembali ke penonton. Pada dasarnya semua orang kan bikin film karena dipesan (Tertawa). Saya dulu waktu pertama kali bikin filmpun atas pesanan produser. Jadi saya pikir kalau ada tanggapan bahwa film ini film pesanan, ya memang benar. Karena nyatanya semua sutradara juga dipesan sama produser.

FI: Bagaimana dengan Mizan? Ada kekhawatiran yang serupa atau bahkan antisipasi untuk menghadapi respon semacam itu?

BS: Saya tidak tahu sampai detilnya. Setelah produksi, urusan distribusi dan promosi sudah sepenuhnya kembali ke mereka (Mizan). Tugas saya sebagai sutradara selesai. Bagaimana mereka menghadapi respon-respon semacam itu saya kurang tahu (Tertawa).

FI: Lalu bagaimana keterlibatan anda dalam proses casting?

BS: Saya mengikuti semuanya dari awal. Pemeran-pemeran dipilih berdasarkan persetujuan saya, terus juga melalui kesepakatan dengan produser, dan tentunya dengan mereka yang terpilih.

FI: Apa sedari awal pemeran Bapak Iskan (Donny Damara), Ibu Iskan (Kinaryosih), dan Dahlan Iskan (Aji Santosa) sudah ditetapkan, atau proses casting dilakukan secara terbuka?

BS: Kami mengadakan sistem casting terbuka. Selain Donny Damara sempat ada beberapa aktor lain juga yang coba ikut audisi untuk peran Bapak Iskan. Bukan berarti kita nggak percaya kemampuan akting si aktor, melainkan lebih ke proses menentukan cocok-tidaknya si aktor dengan sosok Bapak Iskan sendiri.

FI: Adakah momen yang menonjol selama keseluruhan proses produksi? Dari ketika praproduksi, produksi, pascaproduksi, bahkan penayangan perdana bersama Pak Dahlan Iskan sendiri? Atau bahkan hingga saat ini, sampai respon negatif bermunculan?

BS: Saya justru menyayangkan soal distribusi layar bioskop. Katakanlah begini, seharusnya ada kesempatan bagi film-film Indonesia untuk jadi tuan rumah. Kasih kesempatan lebih besar agar jumlah orang yang nonton juga makin banyak. Sementara di sini, kalau ada dua layar jatah film asing, jatah layar yang akhirnya kami dapat juga sedikit, lebih terbatas. Sehingga kesempatan bagi film nasional untuk bertahan lama di layar bioskop juga rendah. Ada yang baru seminggu tayang sudah turun, bahkan ada yang belum sampai seminggu. Sementara kalau diperhatikan, apresiasinya sudah mulai nampak, terutama promosi dari mulut ke mulut. itu yang paling efektif. Tapi balik lagi ke masalah tadi, jatah layar filmnya sudah habis, filmnya sudah nggak diputar lagi bioskop. Lantas gimana nontonnya?

Ini sering terjadi. Banyak film nasional yang saya pikir bagus, tetapi masa penayangannya sebentar banget. Sebaiknya kan ada dukungan juga dari pemerintah. Karena film nasional pun sebenarnya punya daya saing terhadap film-film luar negeri kok. Kurang lebih hal ini kembali ke urusan modal. Film-film luar kan memang dibuat untuk masyarakat dunia, skalanya internasional. Tapi bukan berarti film-film kita nggak punya modal kok. Misalnya film dokumenter Jalanan yang baru-baru ini keluar. Saya rasa filmnya bagus. Kenapa nggak dikasih kesempatan lebih? Karena saya lihat jatah layar mereka sedikit sekali, dan hanya diputar di Jakarta pula. Yang di luar Jakarta belum bisa nonton. Dengan begitu orang-orang kan jadi punya alternatif tontonan yang lain, yang lebih beragam.

Karir

FI: Bisa diceritakan soal latar belakang pendidikan anda?

BS: Saya lulusan IKJ. Sempat ngambil jurusan sinematografi, lalu pindah ke teater. Waktu itu saya angkatan ’84. Habis itu saya sempat berkarir sebagai pemain di serial televisi Keluarga Rahmat. Kemudian karena di sana kekurangan penulis, mulailah saya coba untuk menulis skenario. Pembimbing saya waktu itu adalah Ibu Tati Malyati, dosen IKJ juga. Dari situ saya mulai tertarik untuk menulis. Kemudian saya bikin sekaligus memainkan peran juga di serial Halimun yang pada saat itu tayang di RCTI dan cukup dapat sambutan bagus. Kemudian saya aktif bikin serial-serial lagi untuk FTV, sempat bikin skenario komedi juga, dan terus berlanjut sampai film layar lebar saya yang pertama, Bukan Cinta Biasa (2009).

FI: Dari rekam jejak film anda, sempat ada jeda satu tahun, yaitu di tahun 2012. Sedang beristirahat atau vakum?

BS: Nggak kok. Di tahun itu saya masih aktif bikin film. Hanya saja film-film yang lagi saya buat di tahun itu dirilis di tahun berikutnya. Masa-masa vakum saya justru ketika peralihan dari FTV. Waktu itu saya merasa jenuh, kok gini-gini aja ya, setelah itu saya berpikir untuk membuat film layar lebar. Nah itu cukup lama jedanya, dari tahun 2004 sampai 2008. Empat tahunan saya sama sekali nggak mengerjakan apapun yang berbau film. Ya kurang lebih karena titik kejenuhan tadi itu, ketika sinetron sudah mulai kejar tayang, sudah mulai stripping, sementara saya nggak terbiasa seperti itu.

FI: Kembali ke film-film anda, hampir semua film yang anda sutradarai juga anda tulis sendiri naskahnya. Ada alasan tertentu?

BS: Sebenarnya ada beberapa film saya, Lupus atau Cahaya Kecil, yang penulis skenarionya bukan saya. Tapi mungkin karena saya pada dasarnya penulis, ketika saya ambil skenario orang lain, saya merasa kurang percaya diri, kurang merasakan sesuatu yang membuat saya bisa menyatu dengan ceritanya. Sementara kalau saya nulis sendiri, menyutradarai sendiri, dari awal tulisan saya sudah melakukan editing, saya sudah memberi konsep, segalanya sudah dapat terbayangkan sejak awal proses penulisan. Jadinya lebih matang lah.

Tapi situasinya begini, ketika saya syuting, saya merindukan untuk menulis. Ketika saya nulis, saya merindukan untuk syuting di lapangan. Jadi kalau ada yang tanya, “Lo mau fokus ke mana?” Saya nggak bisa milih. Karena saya memang suka dengan dua hal ini. Saya nggak bisa lepas dari keduanya.

FI: Apa yang berbeda ketika memfilmkan cerita karangan sendiri dengan cerita orang lain, misalnya dengan Sepatu Dahlan yang bukan orisinil cerita anda?

BS: Kalau dari cerita karangan orang lain justru lebih mudah. Karena energi untuk bikin konsep cerita sudah nggak diperlukan lagi, semuanya sudah ada di novel. Novel kan sudah bertutur, tinggal cara mengembangkannya saja agar jadi sebuah karya audiovisual. Misalnya di Sepatu Dahlan, tokoh Kadir saya bikin jadi lucu.

Kalau untuk Bukan Cinta Biasa, yang ide ceritanya murni berasal dari saya, itu justru lebih lama proses memperdalam materi-materinya. Singkatnya begini: kalau novel, setengah dari pekerjaan kami sudah tersedia, jadi proses selanjutnya boleh dibilang lebih ringan. Tapi novel juga punya bebannya sendiri, yaitu imajinasi pembaca dan interpretasi yang beragam terhadap novel. Nah itu yang selalu kejadian. Misalnya komentar, “Kok jadi begini filmnya?” Tapi seperti yang tadi saya bilang, bahwa karya tulis dan karya film itu memang sangat berbeda. Nggak bisa disamakan.