Artikel/Wawancara CLC Purbalingga: Edukasi Film, Edukasi Politik

Cinema Lovers Community (CLC) yang resmi berdiri 4 Maret 2006 sejatinya sudah bergerak sejak dua tahun sebelumnya. Komunitas yang betul-betul bersifat lokal ini boleh dibilang merupakan komunitas yang sudah membuktikan diri tahan banting. Beragam kegiatan yang dilakukan selama ini seolah tak pernah surut, meski hambatan birokrasi pemerintahan dan dana selalu menghadang. “Puncak” kegiatan komunitas ini adalah Fetival film Purbalingga yang berlangsung setahun sekali selama bulan Mei. Tanpa tergoda untuk menjadi “nasional”, festival ini tetap mengkhususkan film-film buatan lokal (Banyumas) untuk seksi kompetisinya. Tidak aneh, bila hasilnya kemudian menasional dan mendunia. Festival yang berlangsung satu bulan penuh ini juga punya program unik: Layar Tanjleb yang diadakan dari desa ke desa. Kegiatan komunitas dengan demikian menjadi kegiatan masyarakat.

Hambatan-hambatan yang dihadapi komunitas ini membuka mata para pengurusnya bahwa kegiatan “mencintai” film ternyata harus berhadapan dengan urusan sosial-politik lokal, seperti bisa dibaca dari wawancara Windu Jusuf, penulis FI dan Cinema Poetica dengan para aktivis CLC berikut ini. Bahkan sebelum pemilu legislatif yang lalu, CLC mengadakan kegiatan pemutaran dan diskusi film dokumenter Children of Nation, yang berkisah tentang sejarah dan sisi lain Pemilihan Presiden 2009 di tempat yang mereka namakan Bioskop Rakyat alias Biora.

Wawancara ini sudah dimuat di laman Cinema Poetica. Redaksi FI menganggap wawancara ini penting untuk dibaca dan diketahui lebih banyak orang lagi. Karena itu, dikutipkan di sini.

WINDU JUSUF (WJ): Bisa diceritakan bagaimana CLC bermula?

BOWO LEKSONO (BL): CLC berawal dari proses saya sendiri di tahun 2004. Itu tahun di mana pertama kali saya bikin film. Bikin filmnya di kampung. Sebelumnya, tahun 2001 saya bekerja sebagai wartawan di desk kebudayaan yang membuat saya kenal dengan banyak pembuat film. Awalnya di Republika, lalu pindah dari satu koran ke koran lain. Kalau proses pribadi itu mau dirunut, bisa lebih panjang lagi. Sebelumnya saya berteater.Selama 10 tahun sejak 1994. Teater saya tinggalkan karena teater sudah tidak bisa hidup. Pentasnya sangat mahal. Makanya saya coba film. Modal nekat, modal dari pengalaman teater saja. Sekarang, kelompok yang bisa diorganisir adalah film. Sastra di Purbalingga mati. Begitu juga dengan teater.

WJ: Ini berarti sudah 10 tahun ya?

BL: Iya. Kalau CLC sih delapan tahun. Pendirinya sekarang tinggal dua yang masih aktif, saya dan Haris Prasetyo. Banyak dari yang sudah ‘sekolah’ di CLC balik ke usaha video manten [perkawinan—red] lagi. Saya tidak menyalahkan mereka, karena ketika mereka terus-terusan di film, masalahnya lagi-lagi adalah waktu buat cari nafkah. Kalau buat saya pribadi, orientasi saya memproduksi film kan bukan uang. Saya malah lebih senang bikin proyek yang nggak ada duitnya. Ada juga yang kerja di dinas penyiaran pemkab. Dia berhenti dari CLC ketika konflik dengan pemkab mencuat. Filmmaker Purbalingga sebetulnya banyak, tapi nggak semua bicara tentang Purbalingga.

WJ: Kira-kira ada berapa komunitas film di Purbalingga, selain CLC tentunya?

BL: Ada banyak sebenarnya. Tapi nggak konsisten. Biasalah, di awal semangat, tapi lagi-lagi harus dibenturkan dengan kenyataan hidup. Nah, tahun 2004 itu saya memutuskan untuk bikin film, tapi sejak awal saya tidak mau bikin film di Jakarta. Terlalu banyak kompromi di sana. Kalau saya ke Jakarta, saya akan ‘habis’. Kalau saya bikin film di sana, orang yang bermain di sana sudah banyak. Jakarta sudah punya IKJ dan banyak lagi. Bisa saja berkolaborasi, tapi kan belum tentu cocok. Saya belajarnya ya hanya dari nonton dan ngobrol. Awalnya teknis banget yang dibicarakan. Saya beli kamera analog, waktu itu harganya masih 1,5 juta. Waktu itu saya cuma tahu on-offsaja. Teman-teman di teater yang sudah tidak aktif saya ajak dalam proses belajar film ini.

WJ: Kenapa komunitas-komunitas teater dan sastra ini mati?

BL: Salah satunya karena Reformasi. Anak-anak muda itu kan selalu cari medium yang bisa bikin mereka berkarya sampai berdarah-darah. Sebelum 1998, medium yang paling efektif dan politis adalah teater. Teater di tahun itu teater pergerakan. Tidak cuma di panggung, tapi juga di jalanan. Baru ngeluarin judul saja bisa bikin heboh. Sekarang nggak bisa lagi begitu. Mungkin film yang bisa bikin mereka intens.

WJ: Jadi mungkin bisa dibilang bahwa apa yang dilakukan di CLC selama ini, cara produksi filmnya, tema yang diangkat dalam setiap narasinya, dan lain-lain adalah kelanjutan dari berteater? 

BL: Iya. Mungkin sekadar pindah medium. Makanya, sekarang orang-orang yang bergerak di Purbalingga pun adalah orang-orang seusia saya, dari angkatan itu, yang juga dulu turun ke jalan.

WJ: Bisa cerita tentang aktivitas CLC di sekolah-sekolah?

BL: Awalnya, kami berangkat dari pemutaran. Acara pemutaran di sekolah itu bisa lama, bisa dua hari, tiga hari. Dari sepuluh sekolah, hanya ada dua atau empat yang mau memutar film-film kami. Itu pun pendekatannya informal. Lewat guru teater. Dan kebetulan teater-teater di sekolah mati. Guru-guru ingin supaya anak-anak ini nonton. Biasanya guru muda yang kepingin ada kegiatan film. Dari situ beberapa anak ngajakngobrol, mulai tertarik film.

Baru setelah tahun 2006, kami mulai memfasilitasi ekskul di beberapa sekolah. Karena kekurangan tenaga juga, saya ajak teman-teman saya yang bikin video manten untuk gabung. Saya ajak ngobrol, saya ajak membayangkan cara membuat film yang “bercerita”, saya ajak bikin film di saat mereka sedang tidak bekerja. Awalnya ini strategi untuk mengakses alat. Tapi lama-kelamaan, mereka pun ikut senang juga terjun di pembuatan film. Di tahun itu akhirnya kami ketemu bareng dan memutuskan untuk bikin komunitas yang lebih besar, yang salah satu fungsinya adalah memfasilitasi anak-anak muda yang ingin bikin film, sampai jadi, sampai rampung.

Kembali ke cerita pendirian CLC, sebagai komunitas, CLC pun awalnya berangkat dari kebutuhan akses bersama. Lagi-lagi persoalannya adalah alat. Kalau di kota besar sih gampang, tapi kalau di kampung seperti ini kan saya harus pinjam ke kota besar. Persoalan alat itu juga mengemuka ketika mau mengadakan pemutaran. Untuk pemutaran, kami ingin pakai fasilitas pemkab, tapi malah ujung-ujungnya dilarang. Kita ingin maju, tapi dipersulit. Kami akhirnya mulai bikin layar tancap, dan di tahun 2007 bikin festival. Mulai kenal yang namanya perjuangan itu ya ketika pemkab menolak program kita.

WJ: Kalau saya lihat film-film yang dihasilkan temanya sangat politis, yang jarang saya dapatkan di komunitas lain. Kalaupun ada, tidak konsisten dan kecenderungan individu saja, bukan kelompok. Awalnya bagaimana CLC bisa bergumul dengan isu-isu itu? Apakah sudah di-setting sejak awal, atau apakah ini merupakan konsekuensi dari model pendidikannya yang menganjurkan keterlibatan dalam masyarakat?

BL: Saya pikir mulainya dari yang terakhir itu. Saya selalu membebaskan mereka dalam berkarya. Tapi ketika mereka punya ide cerita dan ngobrol, barulah mereka bisa menghubung-hubungkan cerita dan konteks sekitar mereka. Ngomong kemiskinan sudah pasti ngomong politik: kenapa orang miskin? Ini bukan soal nasib. Nah, mereka harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Akhirnya terjadi diskusi panjang. Oke, penyebab kemiskinan adalah korupsi dan seterusnya. Itu mereka dapatkan sendiri setelah bersentuhan dengan masyarakat.

Saya selalu tekankan ke mereka: sebagai pembuat film, selain kalian harus nonton, kalian juga harus ngobrol. Ngobrol dengan siapa saja, dari pejabat sampai tukang becak. Ngobrol ini bukan perkara gampang lho. Mereka ngobrol dengan guru saja sangat pilih-pilih, kok. Paling kelihatan itu dari karya-karya dokumenter. Mereka riset, konsultasi dengan saya atau dengan orang lain, terus kembali ke lapangan,  dan seterusnya. Ketika mereka mengangkat realitas di masyarakat, otomatis film-film yang mereka bikin langsung kelihatan memberontak, kritis. Terakhir, saya coba pakai cara serupa di Banjaran, untuk ikut mengadvokasi warga menolak pembangunan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di lingkungan mereka. Mungkin Yunus bisa cerita.

YUNUS (YU) : Awalnya gerakan ini sangat kecil. Ada kegelisahan di warga, tapi kami bingung siapa yang bisa bantu advokasi. Akhirnya kami bersurat ke mana-mana, ke wartawan, ke LSM. Tapi jarang ditanggapi, jawaban mereka lebih sering meledek. Padahal, kasus proyek TPA di Banjaran ini sudah lama terdengar oleh wartawan, yang anehnya tidak pro-warga. Beritanya kelihatan sudah disetir. Saya sempat ke kantor Republika, tapi mereka tidak mau meliput permasalahan di daerah kami karena konteksnya terlalu lokal. Akhirnya ada wartawan yang kasih tahu kami bahwa di Purbalingga ada orang-orang film yang mungkin bisa menyediakan sarana dan sudah masuk ke sekolah-sekolah.

WJ: Sebelumnya sudah pernah ada komunitas lain yang terlibat dalam advokasi di Banjaran?

YAHYA (YA): Belum. Wartawan biasa cari data, tapi nggak pernah jadi berita. Setelah CLC masuk, warga mulai bergerak lagi. Warga biasanya memberikan masukan yang nantinya diolah lagi oleh CLC jadi film.

YU: Keterlibatan CLC ini kan berperan memberikan bukti ke pemerintah tentang kejadian-kejadian di lingkungan sekitar. Selain perekaman, kami melibatkan CLC juga dalam rapat-rapat dengan pemkab dan siapapun yang terlibat, atau dirugikan, pembangunan TPA ini. Kami tidak punya anggaran untuk bikin film. CLC sendiri yang sukarela membantu kami.

ARIF (A) : Pemkab baru berkomitmen menutup TPA, tapi belum memutuskan. Peran CLC membawa isu ini ke forum-forum film di luar Purbalingga, dan ke media nasional. Isu ‘sekecil’ ini kemudian bisa menjadi isu nasional. Sampai-sampai belakangan CLC tidak boleh lagi ikut dalam pertemuan-pertemuan pemkab. Pemkab lebih suka menunjuk LSM yang sudah mereka bayar, untuk mewakili warga. Parahnya lagi, pemkab membuat AMDAL palsu. Mereka juga nggak punya data yang penting untuk memutuskan TPA itu bisa dibangun atau tidak. Jadi, buat mereka, yang penting tanah itu dikapling dulu. Ujung-ujungnya proyek.

BL: Ya ujung-ujungnya proyek. Dari perbaikan jalan sampai pembangunan terminal. Yang penting tanahnya dikapling dulu oleh pemerintah. Tapi ujung-ujungnya diserahkan ke korporasi, entah itu korporasi apa, untuk proyek apa. Makanya selalu bermasalah.

Bom Waktu

WJ: Di lingkungan sekitar CLC sendiri, problem sosial apa yang pernah diangkat oleh anak-anak?

BL: Macam-macam sih. Tapi yang paling masif itu tentang buruh. Ini bom waktu.

WJ: Bisa diceritakan lebih lanjut?

BL: Ada banyak masalah, tapi yang paling besar adalah yang melibatkan pabrik bulu mata palsu. Perusahaan ini dari Korea. Mereka pakai sistem jemput bola, sistem produksi yang awalnya ada di pabrik, dipindahkan ke rumah-rumah, sehingga tidak terlihat seperti industri besar, tapi industri rumahan. Cara ini mereka lakukan untuk menghindari pajak. Efeknya, anak-anak di Purbalingga ini jadi malas sekolah. Karena setinggi apapun mereka sekolah, mereka akan tetap kerja di pabrik.

Industri ini sangat susah ditertibkan. Alasannya selalu sama, bahwa “ribuan tenaga kerja kan bisa masuk.” Masyarakat pun dibuat sulit menolak, sulit melawan. Kasus perburuhan ini berbeda dengan Banjaran. Perlawanan warga di sana sudah ada dan bulat, sehingga saya tinggal masuk saja.

Nah, masalah buruh ini di Purbalingga ini jauh lebih sulit. Saya coba terjun dengan film. Buruh bisa tertarik, ikut diskusi, ada kawan-kawan yang mengadvokasi. Tapi ya ujung-ujungnya mental. Demo sehari-dua hari, setelah itu mereka kena pecat. Susah lawan kapitalis seperti itu.

WJ: Di Purbalingga sendiri seperti apa gerakan buruhnya?

BL: Tidak ada gerakan buruh yang aktif. Serikat pekerja di sini sengaja dibikin oleh perusahaan, supaya seolah-olah ada keterwakilan dari buruh. Tapi buruhnya ya tetap tidak berdaya. Mereka tidak punya hak sebagai buruh kok. Kesadaran sebagai buruh pun tidak ada, karena mereka menganggap pekerjaannya itu sampingan saja. Ya kerjaan sambilan ibu rumah tangga, petani penggarap, dan sebagainya.

WJ: Ada serikat pekerja dari kota lain yang sering mengakses film-film CLC?

BL: Sering. Biasanya kalau masuk ke Purbalingga, mereka mampir ke CLC dan membawa film-film itu. Meskipun setelah janji mau bikin pendampingan, sering juga mereka nggak balik ke sini. Jadi belum ada yang serius masuk ke lingkungan buruh di sini.

WJ: Sampai sekarang film-film apa yang dibuat dari persinggungan dengan isu-isu perburuhan ini?

BL: Ada sekitar lima film. Entah itu dibikin oleh saya sendiri, oleh anak-anak CLC atau anak-anak sekolah. Semuanya fokus pada sisi yang berbeda. Saya selalu menekankan agar film-film yang diproduksi tidak mengulang sisi yang sama.

WJ: Bagaimana proses produksinya?

BL: Kalau isu buruh lebih mudah karena yang difilmkan adalah lingkungan mereka sendiri, teman-teman mereka sendiri. Semisal, satu anak SMA memfilmkan teman satu SMP mereka yang sekarang jadi buruh, sudah menikah, dan seterusnya. Jadi, pendekatannya personal. Ada kecenderungan di sana laki-laki tidak bekerja. Kalau bekerja, biasanya di kota-kota besar. Yang kerja perempuan. Pemerintah diuntungkan dengan itu. Alasannya apalagi kalau bukan lapangan kerja, padahal UMRnya rendah banget.

Film-film tentang buruh ini fokus pada tema yang berbeda. Satu film, misalnya, tentang kesehatan mata. Coba bayangkan mereka harus menyusun bulu-bulu mata yang kecil-kecil. Kebanyakan hanya dihargai Rp 300 per produk yang dijual Rp 300 ribuan. Dari remaja sampai ibu-ibu bekerja di sektor itu. Nggak ada lagi yang bertani. Ngapain? Karena kalau dibandingkan, pendapatannya lebih besar, meskipun kerja harus siang-malam.

WJ: Dari penuturan Mas Bowo, saya melihat ada anak-anak yang awalnya tidak tertarik film, lalu kemudian muncul satu isu yang mengikat mereka yang direspon oleh medium film, dan akhirnya mereka malah belajar film. Nah, proses belajarnya berapa lama?

BL: Paling cepat satu bulan. Paling lama bisa tiga bulan. Yang pasti mereka mulai tertarik ketika sudah dua-tiga kali terjun ke masyarakat. Di situ mereka mulai punya rasa membela, karena ngobrol dengan banyak orang juga. Biasanya mereka bawa daftar pertanyaan, lalu terjun ke warga, biarkan warga berbicara. Setelah itu kembali ke saya, terjun lagi untuk melengkapi apa yang kurang. Biasanya kalau sudah dua-tiga kali datang ke subjek, mulai ada respek. Pada titik itu mereka baru antusias.

WJ: Berarti, urusan kecakapan teknis itu betul-betul belakangan? Ada kurikulum tertentu untuk membimbing proses tersebut?

BL: Belakangan banget. Yang awal turun ke lapangan itu biasanya tim riset, entah itu mau film fiksi atau dokumenter. Di tengah, juru kamera dan kawan-kawan baru masuk. Untuk kurikulum, kita nggak punya. Tapi kita punya silabus. Isinya tentang teknis kamera, prosedur riset, dan seterusnya. Riset bisa cepat, bisa lama. Porsi riset dalam silabus itu paling besar. Namun seringkali kemampuan anak-anak kan berbeda. Masalahnya, mereka pun sering tertebentur jadwal sekolah. Makanya kami sesuaikan sebisa mungkin dengan kemampuan dan jadwal mereka. Ini kendala yang paling berat.

WJ: Apa kerjasama dengan sekolah masih berlanjut?

BL: Masih. Kerjasama formal ini menghasilkan ekskul. Pihak sekolah ingin anak-anak berkesempatan belajar film. Kalau mereka mau belajar film ya harus masuk ekskul. Ekskul ini juga formalitas untuk menurunkan anggaran. Soal anggaran ini sudah selesai lewat ekskul lah.

WJ: Berapa jumlah murid yang ikut ekskul itu?

BL: Di awal rata-rata 25-30. Bisa sampai 30. Tapi di tengah-tengah bisa cuma 15-20an. Hilangnya karena program yang awalnya mereka ikuti ternyata tidak sesuai harapan. Sebagian besar belajar film karena mau jadi artis. Makanya kalau sudah ada yang cantik dan gelagatnya ‘ngartis’ biasanya kami ingatkan. Biar nggak hilang, gitu. [Tertawa] Ada juga yang dikerjai jadi clapper. [Tertawa]

WJ: Sejauh ini berapa film yang dihasilkan bersama pelajar sekolah?

BL: Saya kurang tahu persisnya. Kalau yang di luar pelajar, mungkin sekitar ada 80, mungkin 100 lebih. Setahun bisa bikin lima film.

WJ: Ada guru khusus yang mengajar?

BL: Ada guru pembina. Tugasnya memantau. Tapi aktivitas mengajar tetap dipegang teman-teman CLC. Guru-guru ini pada dasarnya senang belajar film juga. Rata-rata dipegang satu atau dua guru.

WJ: Di berapa sekolah?

BL: Sekarang ada sekitar sepuluh.

WJ: Metodenya sama seperti yang diterapkan di CLC?

BL: Ya. Biasanya di awal tahun ajaran baru itu ada lokakarya, penelitian lapangan. Kita lokakarya bareng. Ketemu lagi di musim produksi. Ini tinggal beberapa yang masih produksi. Ada musim produksi, ada musim studi. Anak-anak CLC dan anak-anak sekolah menjalaninya secara berbarengan.

Ada anak-anak yang khusus menggeluti urusan-urusan riset, naskah, dan seterusnya. Mereka biasanya lebih tertarik dengan literatur kajian sosial. Kalau yang nggak senang baca biasanya saya larikan ke urusan teknis.

WJ: Apa hambatannya yang paling berat selama proses tersebut?

BL: Ada di anak-anak sendiri sih. Setiap angkatan beda isi otaknya. Jadi kalau ada ada satu-dua orang yang menonjol dalam satu angkatan, selamatlah angkatan itu. Kalau nggak ada ya pusing. Gimana mau regenerasi kalau begini? Saya sendiri sebetulnya ingin coba stop regenerasi sementara dan memperdalam satu angkatan saja dulu. [Tertawa]

Kampus

WJ: Masuk ke kampus-kampus juga?

BL: Nggak.

WJ: Kenapa, mas?

BL: Kampus itu susah dipercaya sekarang. Mahasiswa sekarang cenderung sok tahu, merasa hebat sendiri, nggak mau lihat sekeliling. Awal-awal sempat kami masuk ke kampus. Tapi ya begitulah hasilnya: anak-anaknya merasa hebat sendiri. Saya lebih senang masuk SMA. Anak-anaknya lebih polos. Diisi apapun bisa. Sementara mahasiswa lebih suka protes.

WJ: Apa itu disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial, antara mereka yang kuliah dan yang sekolah? Karena mahasiswa-mahasiswa ini berasal dari kota lain sehingga kurang merasa terikat dengan lingkungan sosialnya, mungkin?

BL: Bahkan untuk sekolah pun, yang ikut program kami itu anak-anak sekolah pinggiran. Bukan sekolah di kota. Karena mereka tidak banyak kegiatan, tidak banyak les yang harus diikuti, lingkungannya lebih menarik.

WJ: Apa karena di daerah pinggiran itu konfliknya lebih kencang, seperti di Banjaran itu misalnya?

BL: Kalau di daerah pinggiran itu lebih kompleks sih. Tapi lagi-lagi kembali ke anak-anaknya dulu. Semakin banyak waktu luang mereka, semakin banyak kesempatan mereka untuk belajar lingkungan. Kalau di kota, di SMA 2, misalnya, awalnya yang ikut bisa belasan. Tapi setelah setengah jam, pesertanya tinggal lima orang.

Selain waktu luang, komunikasi juga jadi masalah. Saya selalu bilang ke guru-guru itu kalau ekskul film itu nggak bisa cuma diadakan seminggu sekali. Nah, di tengah padatnya jadwal itu ya kami akhirnya komunikasi jarak jauh. Anak-anak sekolah itu juga harus lebih sering main ke CLC, untuk sekadar nonton film, diskusi, berinteraksi dengan murid-murid sekolah lainnya. Materi yang tidak sempat diajarkan di ekskul karena keterbatasn waktu, bisa juga didapat langsung di CLC. Editing, misalnya.

WJ: Ada perbedaan signifikan dalam corak film antara yang diproduksi oleh anak-anak yang tinggal di kota dengan film yang diproduksi anak-anak di pinggiran?

BL: Pasti. Karena lingkungan sangat berpengaruh. Awalnya mungkin sama, tapi latar cerita yang akhirnya menentukan. Anak-anak yang dari kota biasanya cerita tentang kehidupan modern. Sementara yang pinggiran lebih banyak tentang kehidupan di kampung. Cerita boleh sama. Tapi cara mereka mempertajam kisah dan latar, bisa sangat berbeda.

Anak-anak kota cenderung mengangkat tema kehidupan remaja. Awal-awal biasanya tentang percintaan atau persahabatan. Anak-anak desa biasanya tentang kemiskinan, perjuangan hidup. Saya selalu bilang begini ke mereka: “Okelah kalian ngomongin kemiskinan, tapi nggak gitu-gitu amat kali.” Mosok bikin deskripsi kemiskinannya bisa tujuh menit sendiri? Miskin cukup jadi latar saja. Jangan jadi stereotype. Miskin bikin nggak sekolah? Itu benar. Miskin bikin susah? Itu juga iya. Tapi tarikannya ke mana? Ada nggak yang bisa bikin orang tertarik?

WJ: Kalau tema buruh itu siapa yang bikin?

BL: Dua-duanya sih. Karena industri bulu mata palsu itu sekarang sudah di mana-mana, dari pusat kota sampai pucuk gunung.

WJ: Selama ini anggaran pendidikannya ini manajemennya seperti apa? Untuk beli perlengkapan, misalnya.

BL: Untuk sekolah-sekolah yang tidak punya perlengkapan, biasanya kami pinjamkan dari CLC. Kalau dibandingan dengan yang lain, biaya perlengkapan ini tergolong kecil. Yang paling banyak untuk akomodasi, konsumsi di lapangan. Kalau ada sisa, diarahkan ke distribusi. Saya selalu menekankan kalau distribusi tidak boleh dilupakan. Nggak boleh mandeg di editing.

WJ: Film-film hasil produksi kawan-kawan ini dikirim ke mana saja?

BL: Rata-rata ke festival dan orang-orang yang butuh film itu. Saya selalu tekankan supaya jangan sampai mereka yang butuh film menanggung ongkos kirim. Biar itu jadi bagian biaya produksi awal. Supaya lebih murah, saya kirim bareng. Mereka datang ke CLC untuk mengkopi bareng-bareng. Nanti jika ada festival, saya kabari, lalu mereka tinggal isi formulir dan kirim bareng. Sekardus indomie lah biasanya kami kirim.

Distribusi lokal berjalan lewat layar tancep. Saya punya komitmen bahwa semua film-film Purbalingga harus bisa ditonton oleh masyarakat Purbalingga. Meskipun susah untuk mengatakan kalau Purbalingga punya iklim menonton yang kuat. Makanya film-filmnya pun disesuaikan untuk mengisi waktu luang mereka, dari anak-anak sampai dewasa. Untuk menumbuhkan iklim ini, pemutaran pun kita sengaja bikin doorprize atau voucher. Bentuknya macam-macam, mulai dari makan gratis sampai ke salon gratis. Bioskop yang bertahan di sini cuma satu. Bioskop itu unik. Sebetulnya bioskop itu sudah bangkrut. Tapi pemiliknya beranggapan bahwa bioskop itu harus diperlihara karena bawa hoki buat usaha-usaha dia. Jadi kalau ditutup, bisnis-bisnisnya pun bakal ikut bangkrut.

WJ: Selain kerjasama dengan festival, sekolah, komunitas, siapa lagi biasa yang dilibatkan?

BL: Banyak sebetulnya. Tapi kalau dalam advokasi, CLC bisa dibilang jadi pionir. LSM-LSM itu sudah nggak eksis. Politisi yang sekarang duduk di pemkab sangat lihai dalam manajemen konflik. LSM langsung dirangkul dan akhirnya diam. Tahun 2011, saya bikin film tentang bupati. Itu efeknya luar biasa. Sampai dinas-dinas pemkab ini bikin kebijakan khusus untuk merekam setiap kegiatan. Supaya kegiatan mereka tidak tercuri oleh kamera CLC, mereka bikin backup-nya duluan. Maka sekarang, kegiatan di mana ada kamera CLC, pasti dicurigai. Karena mereka akan berpikir: “ini akan jadi film apa lagi nih?”

Yang lebih intens bersentuhan dengan orang-orang pemkab itu malah anak-anak SMA. Kalau masalahnya sudah besar, saya baru turun. Saya selalu wanti-wanti, ke mereka: “Kalau ada apa-apa, suruh orang dinas itu hubungi BL.” Jangan sampai anak-anak itu menjelaskan terlalu banyak kegiatannya.

WJ: Pernah kena teror juga nggak? Atau ada tekanan dari militer, polisi, intel, ormas?

BL: Ini yang selalu jadi pertanyaan teman-teman pergerakan. Sebelum Reformasi, saya tidak bergerak di daerah. Sudah ada pergerakan di Purbalingga, tapi teredam oleh manajemen konflik tadi. Setelah saya muncul dengan medium film, mereka kaget. Saya juga nggak paham kenapa tidak pernah kena teror secara fisik. Yang lebih sering itu malah bukan teror, tapi rayuan, kooptasi. Lewat teman-teman saya sendiri malah. Caranya: mereka ajak saya ngobrol. Biasanya, saya minta langsung ketemu saja sama “bosnya” langsung. Tapi mereka nggak pernah mau ketemu saya.

Saya pikir, untuk melakukan teror, mereka akan berhitung sangat panjang untuk itu. Misalnya ketika film tentang bupati itu dirilis. Bupatinya nggak mau ngomong langsung. Dia pakai pengacara, yang mengatakan ke wartawan bahwa film ini ada unsur pidananya. Ini jadi blunder di mata wartawan. Karyawan-karyawan dinas—bukan bosnya—yang awalnya benci sama saya, malah jadi membela saya.

WJ: Bisa cerita tentang Festival Film Purbalingga yang katanya juga “merepotkan” pemkab?

BL: Awal konfliknya dari sana. Kami dilarang pakai gedung pemkab. Akhirnya kami sewa gedung swasta sendiri. Alasan formal mereka: ini bukan gedung pemutaran film.

WJ: Hanya CLC saja yang mendapat masalah itu?

BL: Nah, itu dia masalahnya. Tapi gedung itu sebetulnya yang paling representatif, dari desain sampai tempat duduknya. Gedung ini hanya diperuntukkan menerima tamu dari luar. Pasti tamu dari luar ke sana dulu, karena dipertontonkan profil kota Purbalingga. Bahkan ketika kami minta waktu ketika gedung itu tidak digunakan, masih juga dipersulit.

Tapi isu di belakang itu adalah: saya membawa banyak penonton dari luar ke pendopo dalam gedung itu. Pikiran saya waktu itu cuma bagaimana supaya pendopo ini jadi milik orang banyak dan film bisa diputar di situ. Selama ini masyarakat Purbalingga merasa sangat asing dengan pendopo itu. Hanya orang-orang berkepentingan yang bisa mengaksesnya.

Orang pemkab terakhir ajak kami bikin pemutaran. Saya jawab, “Ya, kenapa nggak?” Masalahnya, mereka menolak kalau film-film itu diputar di alun-alun, seperti yang saya tawarkan. Saya bilang ke mereka, “Ya percuma kalau film-film ini hanya diputar di gedung dan ditonton oleh pejabat saja.” Akhirnya nggak jadi. Alasan mereka: ribet.

WJ: Pernah ada keberatan dari pihak sekolah untuk ekskul film ini? Misalnya, pihak sekolah merasa bahwa ekskul film ini bikin murid-murid suka berontak.

BL: Beberapa ada. [Tertawa] Tapi mereka merasa lebih banyak untungnya. Hampir setiap pembuatan film melibatkan anak-anak SMA, mahasiswa. Semisal, kasus yang kami angkat meledak. Dinas langsung bikin tekanan ke sekolah. Tapi biasanya saya yang maju, saya yang menjelaskan, sehingga kepala sekolah yang awalnya takut, jadi tenang dan yakin karena merasa kegiatan murid-murid sudah dalam koridor yang benar. Yang bicara kamera kok. Tangkapannya lebih objektif.

Tapi baru tahun 2010, sekolah-sekolah ini betul-betul terbuka. Sebelumnya untuk pengiriman film, misalnya, itu atas nama individual, bukan atas nama sekolah. Anak-anak ini sekarang banyak dilirik. Oleh Diknas, contohnya. Pernah Diknas menawarkan kami untuk ikut kompetisi. Tapi setelah kami tanya anggarannya, ternyata tidak ada. Ternyata mereka hanya mau ambil film-film dari tiap sekolah. Ya, saya bilang saja ke guru-guru supaya tidak ikut.

WJ: Menjelang pemilu ini ada program khusus nggak dari CLC?

BL: Semua teman-teman sudah kuturunkan. Aku hubungi sekolah-sekolah supaya menangkap apa yang terjadi di sekitar mereka. Misalnya, kemarin film CLC yang menang di XXI Short Film Festival [Mana Janjimu karya Eko Junianto] itu kan dokumenter tentang OSIS. Film itu dibuat ketika musim pemilihan OSIS. Waktu itu saya bikin program besar di mana murid-murid dari empat kapubaten bikin film tentang pemilihan OSIS di sekolah masing-masing. Kalaupun tidak semuanya jadi film, paling tidak bisa jadi dokumentasi. Jadi arsip.

WJ: Ada bacaan-bacaan tertentu untuk mempersiapkan mereka turun ke lapangan? Materi tertulis? Atau spontan langsung turun?

BL: Yang pasti saya kasih film dan buku. Yang paling susah adalah membuat mereka membaca. Buku yang harus mereka baca salah satunya adalah karya-karya Ahmad Tohari.

WJ: Karena Banyumasan?

BL: Iya. saya pikir, kalau kita bicara masyarakat Banyumas dalam cerita, kita harus baca Ahmad Tohari. Cerpen-cerpennya lah. Soal bahasa ini buat saya juga penting. Kita pakai bahasa Banyumasan juga karena nyaman, dibanding pakai bahasa Indonesia.

Film pertama saya juga dari cerpen Tohari. Waktu itu saya pakai kamera pertama saya. Saya beli pakai gaji terakhir.

WJ: Ada dari peserta didik ini yang kemudian lanjut ke sekolah film secara formal?

BL: Ada. Tapi saya sendiri tidak pernah merekomendasikan itu. Karena biasanya mereka hilang. Tidak lagi berpikir bahwa daerah Purbalingga perlu digali. Mereka malah bawa gaya-gaya film kampus yang eksperimental gitu. Belajar di kampus itu urusan teknis kok, yang sebenarnya bisa dipelajari sendiri.