Artikel Wawancara

"Semua aspek mencakup produksi, pasar, distribusi dan marketing. Kita akan garap secara keseluruhan. Sekarang ini yang lebih banyak disinggung adalah ekonomi perfilman. Sistem harus kita lihat secara utuh, untuk dalam negeri dan luar negeri." - Drs. Syamsul Lussa, MA
Konflik batin itu dengan mudah bisa dituliskan di dalam novel, tetapi sulit divisualkan dalam film. Maka harus ditambahkan beberapa adegan yang menggambarkan bagaimana karakter Hamid dan Zainab merasakan suka cita, berjuang untuk bersatu, dan kesedihan mereka.
Pengalaman Chand Parwez Servia sekitar 30 tahun tentu membuat penciuman dan intuisinya terasah. Hal ini nampak pada “daya jual” film-film produksinya. Data penonton dalam empat tahun terakhir menunjukkan hampir tidak ada filmnya yang “flop”.
Saya selalu memandang film is a playground... Ada Apa Dengan Cinta datang sebagai keberuntungan untuk saya... Pada dasarnya saya tidak mau dibatasi ... Makanya saya berani bikin film, yang beberapa teman saya anggap membunuh karier saya.
Mengikuti proses Alex Komang sebagai seorang aktor tentu tidak bisa dilepaskan dari Teater Populer yang didirikan oleh Teguh Karya. Dia masih mengingat proses pembelajaran yang ia alami di Teater Populer. Salah satunya saat diminta menjadi penulis skenario untuk film Doea Tanda Mata.
Buku-buku saya bertujuan untuk menghibur, karena masih ringan. Namun saya juga tidak mau merusak akhlak pembaca.
Putrama Tuta bercerita tentang tujuan yang ingin ia capai lewat Catatan Harian Si Boy, proses pengembangan idenya, hingga lika-liku di balik produksi film tersebut.
Dua film yang ia perankan (7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita dan Batas) beredar di Indonesia dalam minggu ini. Hampir empat dasawarsa lalu ia memulai karir peran di Teater Kecil yang dipimpin Arifin C. Noer.
Hanung Bramantyo ingin Islam yang menyuarakan perdamaian dan merangkul semua kelompok. FI mengajaknya melihat kembali pikiran-pikiran yang disampaikannya lewat film dan persoalan-persoalan yang ia hadapi.
Dua sutradara muda Indonesia, Ravi Bharwani (Impian Kemarau, 2004) dan Faozan Rizal (Yasujiro Journey, 2004) bicara tentang liku-liku proses produksi film mereka dan tentang pendapat mereka mengenai perfilman Indonesia dan Asia.