Tinjauan Agama di Antara Negara dan Keluarga

7/10 Adrian Jonathan Pasaribu 17-11-2011

Mari lupakan sejenak label art film yang kerap melekat di karya-karya Garin Nugroho. Mata Tertutup adalah filmnya yang paling gamblang dan verbal. Berbeda dengan kebanyakan film Garin sebelumnya, tidak ditemukan simbol maupun metafor, yang menjadikan narasi film kompleks dan berlapis-lapis. Dalam Mata Tertutup,segala informasi dituturkan dengan lugas melalui dialog para tokohnya. Kosa gambarnya juga sederhana: kamera hampir statis untuk adegan luar ruangan, banyak gerakuntuk adegan dalam ruangan. Sederhana dan mengena.

Pembuat film memang tidak meniatkan Mata Tertutup untuk pencapaian teknis, tetapi komentar sosial. Oleh karenanya, penuturan film dibuat sesederhana dan sekomunikatif mungkin, setidaknya untuk ukuran film Garin. Dalam produksi, ada keterlibatan Ma’arif Institute, yang membawa agenda tentang kehidupan beragama di Indonesia. Melalui Mata Tertutup, Ma’arif Institutesejatinya ingin memberi respons terhadap fundamentalisme beragama, yang dirasa mulai banyak berkembang di generasi muda sekarang. Garin beserta tim produksinya mengemas ulang cerita sejumlah narasumber, beserta data hasil riset tambahan. Hasilnya adalah sebuah doku-drama berdurasi 90 menit.

Cerita dibuka dengan gambaran proses indoktrinasi. Dalam sebuah mobil, Rima (Eka Nusa Pertiwi) mendapati matanya tertutup oleh bandana hitam, dan dipaksa menyebut syahadat serta sejumlah kalimat dogmatis berkali-kali. Konon, itulah langkah pertama untuk "hijrah" ke Indonesia baru. Di tempat lain, Jabir (M. Dinu Imansyah) baru saja dilepas dari pesantren karena sudah lama tak membayar iuran. Ia pun berkeliling kota (tidak jelas kota apa, walau dari bangunannya terlihat seperti Yogyakarta), menyambung hidup sebagai supir angkot bersama temannya, sampai akhirnya bergabung dengan sebuah kelompok jihad. Ada juga Asimah (Jajang C. Noer), seorang ibu yang kebingungan setelah Aini, putrinya, diculik kelompok Islam fundamentalis. Setelah Asimah menelpon beberapa orang, nama NII (Negara Islam Indonesia) pun terucap dalam film.

NII dan Kehidupan Beragama

Dalam bingkai kecil, Mata Tertutup mengajak penonton untuk menelusuri lika-liku di balik NII. Sudah dijelaskan bagaimana film dibuka dengan gambaran proses indoktrinasi. Gambaran tersebut kemudian dilanjutkan dengan adegan-adegan yang menggambarkan kondisi internal NII. Mulai dari kegiatan merekrut anggota (seperti yang terjadi di awal film), pengadilan berbasis syariat Islam, kelas ideologi, hingga rapat kegiatan komunitas. Melalui adegan-adegan tersebut, penonton mendapat informasi perihal tujuan NII, yakni menghadirkan negara baru berbasis syariat Islam, yang diharapkan lebih adil bagi masyarakatnya.

Dalam bingkai yang lebih luas, Mata Tertutup mencoba menggambarkan kehidupan beragama di Indonesia. Di sinilah kosa gambar yang diterapkan Garin terasa efektif. Apabila order didefinisikan sebagai kondisi yang tenang dan teratur, maka setiap adegan di luar ruangan menandakan ilusi keteraturan yang sedang menyelimuti kehidupan negara. Pasalnya, kamera tidak banyak bergerak di luar ruangan, bahkan statis di beberapa kesempatan. Timbul kesan kalau Rima, Jabir, dan Asimah berinteraksi dengan tenang, walau sejatinya kondisi yang menyelimuti mereka genting. Konflik pun menjadi sesuatu yang laten, bersembunyi manis di balik tenangnya gambar. Kamera baru banyak bergerak di adegan dalam ruangan, yang mayoritas berkaitan dengan NII, baik tempat tinggal, markas, maupun ruang rapat. Dalam wilayah tersebut, terjadi gejolak penempaan ideologi baru: disorder.

Kontras order dan disorder ini tidak untuk dipahami secara hitam-putih, tidak juga secara baik-buruk. Order dalam kasus ini mewakili kondisi negara yang stagnan. Aman iya, stabil iya, tapi juga tidak bisa dibilang berkembang. Banyak masalah-masalah sosial yang belum terselesaikan. Segalanya berjalan lempeng, namun tidak menjanjikan jalan keluar ke kehidupan yang lebih baik. Dalam penggambaran ini, NII (maupun kelompok fundamentalis sejenis) dalam Mata Tertutup tidak bisa dianggap sebagai antagonis. NII menjadi satu dari sedikit jalan keluar yang tersedia bagi para tokoh dalam film. Betul, NII berada di seberang ideologi negara, namun negara juga tidak segera bertindak menyelesaikan masalah-masalah di dalamnya. Dalam film, NII mewakili sebuah perubahan skala besar, sebuah pemaknaan ulang atas relasi kuasa di tubuh masyarakat, yang diharapkan orang-orang di dalamnya bisa menyelesaikan masalah personal mereka.

Masalah personal dalam kasus ini bukanlah soal kepercayaan, tapi keberlangsungan hidup. Hal tersebut tercermin dari motivasi para protagonis. Jabir bergabung dengan kelompok jihad karena teringat ibunya, yang susah payah menyambung hidup dengan berjualan di pasar. Penekanannya pada kondisi keluarga yang dilanda kesulitan ekonomi. Aksi jihad ia harapkan dapat menggerakkan mata pemerintah ke masalah ibunya, yang terkait erat dengan kemiskinan yang masih melanda negara. Permasalahan Rima lebih bernada eksistensial, walau kaitannya tetap dengan keberlangsungan hidup. Sebagai perempuan, ia merasa hak-haknya tidak dipenuhi oleh kondisi negara sekarang. Tindak-tanduknya di NII ia harapkan bisa membuka ruang bagi dirinya dan rekan-rekan sejawatnya.

Dengan berfokus pada keberlangsungan hidup, Mata Tertutup sesungguhnya melihat permasalahan tokohnya dengan bijak. Ia tak menghakimi, tidak ambil pusing dengan kepercayaan mana yang lebih benar. Masalahnya bukan pada fundamentalisme para pelakunya. Hal tersebut natural, mengingat setiap ideologi (baik agama maupun politik) mengedepankan sebuah realita tunggal, yang dirasa masing-masing pelakunya sebagai yang paling benar. Kalaupun sampai timbul masalah, letaknya ada pada tindak-tanduk pelakunya, bukan pada kepercayaannya. Akan lebih berguna apabila yang disorot adalah kondisi-kondisi objektif yang memungkinkan fundamentalisme menjadi ancaman dalam kehidupan bersama, karena pembahasan tersebut lebih memberi ruang untuk diskusi lanjutan dan analisa yang lebih meluas. Itulah yang Mata Tertutup coba kejar. Atas sikap dasar ini, Mata Tertutup menjadi berharga.

Keluarga Sebagai Unit Politis

Dalam pembahasannya tentang fundamentalisme agama, Mata Tertutup turutmengangkat isu keluarga. Dalam film, keluarga dibingkai menjadi unit politis tersendiri. Terlihat dari strategi penuturan Garin yang bertumpu pada dialektika keluarga dan individu. Apabila individu dibentuk oleh keluarga, berarti relasi antara orangtua dan anak menjadi faktor penting dalam tersemainya fundamentalisme di kalangan generasi muda. Dalam film, hal tersebut tercermin dalam relasi Rima dengan orangtuanya. Dalam satu adegan, ibu Rima bertanya pada suaminya. Si bapak menjawab tidak tahu dan tidak masalah, karena ia percaya Rima sudah tahu mana yang baik dan tidak. Ia malah memberi uang kepada Rima, sebagai tambalan ongkos atas kegiatan yang Rima ikuti, apapun itu.

Ketidaktahuan serupa turut mengemuka dalam relasi Asimah dengan anaknya. Ia hanya bisa panik dan terkejut ketika mengetahui Aini terlibat dengan NII. Ia tidak tahu NII itu apa, tidak tahu juga selama ini kegiatan anaknya apa. Ketidaktahuan tersebut menyiratkan keterputusan generasi. Keterputusan tersebut yang menjadikan keluarga kehilangan fungsi orientasinya, termasuk untuk urusan beragama. Sebagai sebuah unit politis, ia mandul dan tak berdaya menghadapi segala pengaruh di luar sana. Generasi muda keluar rumah, tanpa disadari tercerabut dari pohon keluarga yang selama ini menghidupinya. Kembalinya Aini ke Asimah di akhir film menjadi sesuatu yang puitis. Inilah seorang anak yang kembali memeluk nilai-nilai yang selama ini ia lupakan, nilai-nilai yang hanya bisa ada di balik teduhnya pelukan orangtua.

Pertanyaannya kemudian: nilai-nilai apa yang diwakili oleh keluarga dalam Mata Tertutup? Di mana posisi keluarga dalam percaturan ideologis ini? Apakah pengencangan ikatan keluarga sekadar alternatif atau bisa menjadi solusi bagi fundamentalisme yang sedang marak belakangan ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang tak terjawab dalam film. Kata "keluarga" masih sekadar konsep yang belum didedah lebih lanjut oleh pembuat film, baru menjadi latar tapi belum menjadi sebuah pernyataan tersendiri. Sebagai sebuah komentar sosial, Mata Tertutup jadi terasa kurang komplit. Andai pembuat film memperdalam bahasannya sedikit lagi saja, Mata Tertutup, sebuah pencapaian yang sebenarnya sudah baik, bisa menjadi lebih baik lagi.