Tinjauan Ide Besar, Kesalahan Dasar

3/10 Adrian Jonathan Pasaribu 29-09-2011

Dalam penulisan cerita, ada yang namanya Teori Pistol Chekov. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran Anton Chekov, sastrawan legendaris Rusia. Isi pemikirannya begini: “Apabila di bagian pembuka ceritamu ada sebuah pistol, maka di adegan berikutnya pistol tersebut haruslah meletus. Kalau tidak, jangan masukkan pistol itu ke dalam ceritamu.” Apa yang Chekov maksud adalah keutuhan dalam cerita. Setiap elemen dalam cerita haruslah memiliki fungsi dan alasan yang jelas, dari awal hingga akhir cerita. Hanya dengan begitu, sebuah cerita bisa mencapai keutuhan. Bagi Chekov, cerita yang bisa dituturkan dengan baik adalah cerita yang elemen-elemen di dalamnya saling menyatu.

Film terbaru Pandu Birantoro, Euphoria, sayangnyatak memiliki keutuhan yang diwanti-wanti Chekov. Pembuat film seperti terlalu bersemangat memasukkan banyak hal dalam filmnya. Konsekuensinya: tidak jelas mana yang ingin diprioritaskan. Ada elemen cerita yang tumpang-tindih, ada juga yang kurang digarap dengan baik. Alhasil, apa yang mau disasar Euphoria jadi tidak jelas.

Premis Euphoria sendiri sebenarnya jelas: pencarian jati diri. Diproduksi dengan bujet seratus juta rupiah, film tersebut berkisah tentang empat orang yang terlibat dalam produksi teater berjudul Srikandi. Ada Giras (Maurits Fandoe), seorang sarjana muda yang bermimpi jadi seniman terkemuka. Jengah dengan kebuntuan hidupnya, yang ia habiskan sehari-hari dengan melukis sendiri dalam studio pribadi, Giras memutuskan untuk bekerja sebagai storyboarder dalam pementasan Srikandi. Pada hari pertamanya di tempat kerja, Giras berkenalan dengan Harris (Suryanata Hatta), anak seorang pengusaha papan atas. Harris berada di sana untuk mengaudit produksi teater, yang merupakan bagian dari investasi perusahaan ayahnya. Melalui proyek tersebut, Harris ingin membuktikan kalau ia bisa keluar dari bayang-bayang ayahnya.

Ada juga seorang gadis manis bernama Ara (Ananda Moechtar). Ia adalah penggemar olah raga yang berniat mengikuti jejak ibunya menjadi seorang penari. Dalam pementasan Srikandi, ia dipercaya menjadi lakon utama. Selama persiapannya, Ara bertemu dan jatuh cinta dengan Vanya (Sefezy Fandini). Ia jadi mempertanyakan kembali orientasi seksualnya. Lain lagi dengan Valerie (Indri Sriwittana). Ia mempertanyakan apakah dirinya pantas dicintai oleh orang lain. Sepulangnya pasca kuliah di Rusia, Valerie menemukan kalau orangtuanya telah bercerai. Ia harus berhadapan dengan keluarga baru, salah satunya adalah Vanya, yang tidak ia pahami sama sekali. Selain itu, pacar Valerie mendadak bertunangan dengan orang lain. Sendiri dan gundah gulana, Valerie mengurung diri dalam kamar.

Premis Euphoria menjadi tidak jelas karena penggarapan filmnya yang berlebihan. Terlalu banyak elemen yang ikut serta. Salah satu dampaknya adalah terjadinya pengulangan yang tak perlu. Lihat saja bagaimana Euphoria menghabiskan setengah jam sendiri untuk sekadar memperkenalkan karakter-karakter filmnya. Sepanjang durasi tersebut, terjadi dua kali perkenalan. Perkenalan pertama terjadi melalui sebuah narasi suara (yang diisi oleh Indro Warkop) di awal film. Narasi suara tersebut memperkenalkan keempat protagonis satu per satu, menceritakan detail-detail kehidupan pribadi para karakter, yang disertai oleh montase sejumlah gambar yang mendukung. Perkenalan kedua terjadi di hari pertama Giras bekerja di teater. Usai negosiasi perihal urusan kerja, Giras diajak berkeliling oleh kepala pengurus teater, Pak Didi (Darwin Purnomo). Ia diperkenalkan dengan orang-orang yang sedang berada di teater, sementara kamera bergerak menyorot para karakter. Tidak ada informasi baru yang disajikan. Pak Didi hanya mengulang apa yang penonton sudah ketahui dari narasi suara di awal film.

 

Poros Cerita

Dalam tataran yang lebih besar, Euphoria seperti kehilangan poros cerita. Tidak ada satu elemen yang merekatkan segala hal yang terjadi dalam film. Dalam kasus ini, keberadaan poros cerita sangatlah penting, mengingat plot Euphoria digerakkan ke sejumlah arah yang berbeda oleh empat protagonis. Penonton akan butuh satu hal untuk dijadikan acuan atas segala perkembangan yang terjadi dalam film. Poros cerita yang dimaksud seharusnya bisa diisi oleh pementasan Srikandi, mengingat elemen tersebut berkaitan dengan keempat protagonis. Masalahnya, belum juga perhatian penonton terfokus pada pementasan Srikandi, film keburu menyajikan banyak hal lain yang mengalihkan perhatian penonton.

Mendadak muncul dua konflik baru di luar konflik-konflik keempat protagonis Euphoria. Kedua konflik tersebut sayangnya tidak digarap dengan baik dan dalam beberapa hal sulit dinalar. Bukannya memperkaya cerita, kedua konflik hanya mengaburkan fokus film, dan memperpanjang durasi film secara sia-sia. Konflik pertama adalah keputusan sutradara teater (diperankan Mario Noya) untuk menolak bicara sampai produksi Srikandi selesai. Semua komunikasi ia lakukan via bahasa tubuh. Alhasil, orang-orang yang berkepentingan dengannya, termasuk para protagonis, jadi kesulitan. Kalau dinalar, karakter sutradara teater sebenarnya penuh tanda tanya. Tidak jelas apa yang ingin ia capai lewat keputusannya mengunci mulut selama persiapan pementasan. Tidak jelas bagaimana si sutradara teater bisa bertahan di pekerjaannya dengan tingkah laku semacam itu. Tidak jelas juga apa kualifikasinya yang membuatnya dipercaya untuk menyutradarai pementasan Srikandi.

Namun, pembuat film sepertinya tidak ambil pusing dengan pertanyaan-pertanyaan seputar karakter sutradara teater. Karakter tersebut diniatkan oleh pembuat film menjadi semacam metafor tentang proses komunikasi. Dalam satu adegan, si sutradara teater mengacungkan secarik kertas bertuliskan, “Komunikasi bisa dilakukan tanpa kata-kata.” Sebuah pernyataan yang sia-sia, mengingat seluruh masalah dalam Euphoria terselesaikan lewat dialog verbal, yang dalam beberapa kasus menyerempet klise-klise yang kerap disemburkan pembicara motivasi: pikiran positif, tujuan hidup, dan kawan-kawannya.

Konflik kedua adalah ancaman bangkrutnya teater. Hal ini terjadi ketika bapak Harris menghentikan aliran dana dari perusahaannya. Kaget dan bingung harus apa, Pak Didi sampai meninggal dunia akibat kejadian tersebut. Dari sini, terjadi sejumlah kejadian yang sangat dipaksakan dalam film. Para protagonis berkumpul di auditorium teater, mendiskusikan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan teater dari gulung tikar. Mendadak seorang anak magang (diperankan Januar Kristanto) mengusulkan untuk mencari brankas milik Pak Didi. Para protagonis kaget, karena tidak tahu bahwa Pak Didi punya brankas. Mereka lebih kaget lagi karena karakter anak magang itu yang memberitahukan fakta tersebut.

Layaknya para protagonis, penonton pasti bertanya-tanya: bagaimana bisa anak magang itu tahu? Pertanyaan serupa juga akan diajukan ketika para protagonis berusaha membuka brankas milik Pak Didi. Lagi-lagi si anak magang yang menjadi penyelamat. Ia memberi tahu kode brankas kepada para protagonis. Tidak jelas bagaimana si anak magang bisa tahu. Perannya dalam film sangat minor. Ia bahkan tidak punya nama karakter di credit title. Sepanjang film, ia juga tidak terlihat punya hubungan spesial dengan Pak Didi. Lantas, bagaimana ia bisa tahu? Hanya Tuhan dan pembuat film yang tahu.

 

Stagnasi

Konsekuensi dari banyaknya dan acaknya elemen-elemen cerita dalam Euphoria adalah stagnasi. Plot boleh saja berkembang hingga sedemikian rupa, namun karakter-karakter di dalamnya tidak ada yang berkembang. Semuanya nampak seperti karikatur, sebatas cetak biru dari karakter yang diniatkan pembuat film. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan pembuat film untuk menggarap detail-detail lain dalam film. Alhasil, karakter-karakter yang sejatinya esensial jadi tidak sempat diperdalam bobotnya. Dengan rambut dan pakaian yang urakan, Giras barulah terlihat seperti seniman, tapi belum terasa seperti seniman. Begitu juga dengan Harris dan kemeja berdasinya. Pencarian jati diri yang mereka jalani baru sebatas dialog-dialog motivasional. Sedikit sekali yang terwujud menjadi tindakan konkrit dalam film.

Ide yang Euphoria sasar sejatinya besar. Begitu juga dengan ambisi pembuat filmnya. Idealnya, Euphoria bisa menjadi sebuah drama epik tentang pergulatan batin sejumlah karakter yang gamang dengan dirinya sendiri. Bayangkan film-film macam Magnolia atau Gosford Park.Sayangnya pembuat film melakukan banyak kesalahan dasar, yang malah mengaburkan arah perkembangan film itu sendiri. Alih-alih para karakternya, malah Euphoria yang sepertinya perlu mencari jati dirinya sebagai sebuah film. Terlalu banyak hal yang ingin dikembangkan, tanpa ada prioritas jelas mana yang harus didahulukan. Pertanyaan yang patut diajukan kepada pembuat film Euphoria: kenapa harus sebanyak itu? Bukankah ada pepatah yang berpesan bahwa less is more?