Tinjauan Membahasakan Ulang Atau Menafsir Ulang Novel?

4/10 Adrian Jonathan Pasaribu 24-08-2011

Dua puluh lima miliar rupiah. Menurut laporan di media-media, jumlah uang sebanyak itu yang digelontorkan MD Pictures untuk mengangkat novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ke layar lebar. Jumlah yang sangat mencolok, mengingat rata-rata biaya produksi film di Indonesia jarang sekali lebih dari sembilan digit. Di satu sisi, jumlah tersebut mengundang pertanyaan: apa benar menghabiskan uang sebanyak itu? Bagaimana kalau filmnya tidak laku? Apakah mungkin balik modal? Bisakah filmnya melampaui jumlah penonton Ayat-Ayat Cinta, film sejenis yang sukses menjaring tiga juta lebih penonton?

Di sisi lain, merilis biaya produksi ke lingkaran media merupakan strategi pencitraan yang jitu. Dengan mengumumkan angka dua puluh lima milliar rupiah ke publik, MD Pictures ingin menunjukkan bahwa mereka serius dalam mengadaptasi Di Bawah Lindungan Ka’bah, bukan sekadar memanfaatkan novel karya Buya Hamka sebagai jualan belaka. Suatu langkah awal yang tepat, mengingat beberapa kalangan di masyarakat Indonesia punya ikatan emosional yang kuat dengan karya sastra tersebut. Menunjukkan respek adalah cara yang baik untuk menarik simpati, atau dalam kasus ini meyakinkan orang untuk menonton. Langkah berikutnya adalah menyajikan konten yang mumpuni, untuk mengimbangi promosi besar-besaran filmnya.

Konten film Di Bawah Lindungan Ka’bah menjadi tanggung jawab Hanny R. Saputra untuk penyutradaraan, dan Titien Wattimena dan Armantono untuk penulisan naskah. Mengutip pernyataan Stephen King, membandingkan buku dengan adaptasi filmnya sama saja seperti membandingkan apel dengan jeruk. Keduanya berbeda dan punya kelezatannya sendiri-sendiri. Perbedaan antara versi cetak dan gambar gerak sudah pasti akan terjadi, dan sia-sia kalau diributkan terus-menerus. Hal yang lebih penting dinilai adalah bagaimana adaptasinya membahasakan ulang, atau bahkan menafsirkan ulang, esensi cerita dari teks ke medium film. Logika serupa sekiranya bisa diterapkan pada Di Bawah Lindungan Ka’bah.

 

Mengharu-Biru

Cerita film dibuka dengan Hamid dan Zainab. Keduanya berpapasan seusai Hamid bercakap tentang niatnya untuk melanjutkan pendidikan pada Haji Jafar. Kedua protagonis saling mencintai, namun terpisah oleh status sosial. Hamid (Herjunot Ali) adalah laki-laki sederhana, dari keluarga sederhana, dengan mimpi sederhana pula: naik haji. Sementara Zainab (Laudya Cynthia Bella) adalah anak perempuan dari Haji Ja'far (Didi Petet), seorang tetua yang disegani di desanya. Haji Ja'far sudah menganggap Hamid yang yatim seperti anaknya sendiri, sampai-sampai ia rela membiayai Hamid untuk bersekolah. Sebagai balas budi, ibu Hamid (Jenny Rachman) mengabdi pada keluarga Haji Ja'far.

Dalam novel, Buya Hamka merangkum jarak antar kedua protagonis melalui sebuah kalimat yang dialamatkan ibu Hamid kepada anaknya, “Emas tak setara dengan loyang, sutera tak sebangsa dengan benang.” Kalimat tersebut juga muncul dalam film, yang diperkuat dengan adegan percakapan Hamid dan Zainab dari balik tembok. Di suatu malam, terpisah oleh sebuah tembok kayu, keduanya saling berbisik dan mengetuk-ngetuk tembok. Hamid bergerak menjauh dan kembali mengetuk tembok. Zainab menyusul ke tempat suara ketukan tersebut. Keduanya tertawa. Adegan tersebut menjadi satu dari sedikit tawa yang ada di sepanjang film. Sisanya derai air mata.

Sementara novelnya tidak lebih bahagia, versi film Di Bawah Lindungan Ka’bah begitu berusaha untuk terlihat mengharu-biru. Saking kerasnya usaha tersebut, sampai-sampai film menambah kejadian-kejadian yang tidak ada dalam novel. Sejumlah kejadian tersebut adalah tenggelamnya Zainab di sungai, usaha penyelamatan Hamid, dan pengusiran Hamid dari desa tempat tinggalnya. Ia diusir karena ia menjamah raga Zainab saat berusaha menyelamatkannya. Hal tersebut dipandang tak layak oleh warga dan para petinggi agama di desa tempat Hamid tinggal. Untuk menghindari omogan-omongan tak sedap, diusirlah Hamid dari desa. Dalam setengah terakhir film, Hamid menanggung konsekuensi dari tindakan yang sejatinya berlandaskan niat baik.

Revisi yang dilakukan Hanny R. Saputra dan kawan-kawan menjadikan Di Bawah Lindungan Ka’bah bergeser dari esensi cerita aslinya. Dalam novel, keduanya adalah dua insan manusia yang tak bisa bersama karena pilihan masing-masing. Mereka sadar akan batasan-batasan yang muncul dari perbedaan status sosial keduanya, dan memilih untuk tidak mengkonfrontasi batasan-batasan tersebut. Mereka pun memasrahkan kondisi mereka pada yang di atas, dan memilih untuk melanjutkan hidup dengan sejumlah pertanyaan dan lamunan. Konflik terjadi dalam batin masing-masing protagonis. Berkat penuturan tersebut, novel karya Buya Hamka memperoleh aura relijiusnya.

Dalam film, konflik batin tersebut ditambah dengan sebuah konflik eksternal. Hamid dan Zainab versi film juga sadar akan batasan yang harus mereka hadapi, dan memasrahkan segalanya pada Sang Khalik. Namun, pembuat film menjorokkan mereka dalam sebuah situasi, ketika keduanya harus terpisah secara paksa. Hal ini menjadikan kepasrahan para protagonis dalam film jadi tak menonjol. Perhatian penonton terus-menerus diarahkan pada drama yang melingkari keduanya. Masalahnya, drama tersebut sejatinya bukan pilihan mereka. Hamid dan Zainab terlibat dalam drama murni karena keinginan pembuat film. Alhasil, Hamid dan Zainab dalam film terlihat tak lebih dari sepasang kekasih yang tak bisa bersama.

 

Penafsiran Ulang

Di Bawah Lindungan Ka’bah versi Hanny R. Saputra dan kawan-kawan boleh jadi memang tidak diniatkan sebagai adaptasi yang setia. Mereka boleh jadi hanya ingin menarasikan hikayat Hamid dan Zainab untuk penonton Indonesia modern, yang terbiasa dengan film roman Islam mendayu-dayu semodel Ayat-Ayat Cinta. Pasalnya, mengadaptasi kadang melibatkan proses penafsiran ulang, yang pada perkembangannya merevisi esensi cerita. Dalam perspektif ini, Hanny R. Saputra dan kawan-kawan bisa dilihat sebagai pihak yang meminjam judul, karakter, serta pola cerita dari Buya Hamka. Mereka kemudian memindahkan semua itu ke sebuah dunia baru, yang dikonstruksi sesuai dengan visi mereka.

Penafsiran ulang tersebut sah. Hal serupa banyak ditemui sepanjang sejarah film. Akira Kurosawa menggabungkan drama King Lear karya Shakespeare dengan legenda Jepang dalam film Ran (1985). Untuk menyasar penonton muda, Baz Luhrmann mengemas ulang roman Romeo dan Juliet menjadi drama mafia dalam film Romeo + Juliet (1996). Di Indonesia, pada tahun 1977, Asrul Sani mengadaptasi Di Bawah Lindungan Ka’bah menjadi Para Perintis Kemerdekaan. Dalam film itu, Hamid dan Zainab adalah sepasang kekasih di zaman perang kemerdekaan. Cerita yang terjadi di film begitu kental dengan semangat anti-imperialisme. Gagasan yang mendasari film tersebut: perjuangan fisik tanpa didasari moral agama akan runtuh begitu saja. Gagasan tersebut berbeda dari gagasan yang ada dalam novel Buya Hamka, namun bisa dipahami oleh penonton pada zamannya.

Contoh-contoh film di atas merupakan adaptasi yang sukses. Meski menggeser esensi cerita aslinya, para pembuatnya menggarap visi mereka secara total. Penonton bisa percaya melihat dunia baru yang melingkupi para karakternya, karena dunia tersebut digarap secara mendetail untuk mengakomodir keberadaan mereka. Penonton bisa membayangkan kalau karakter dari King Lear, Romeo dan Juliet, serta Hamid dan Zainab berada di film-film yang dunianya diperbaharui tersebut. Totalitas tersebut yang tak ditemukan dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah versi Hanny R. Saputra dan kawan-kawan. Mereka bahkan tidak perlu menciptakan dunia baru. Mereka hanya perlu merekonstruksi Padang dan Mekkah tahun 1920-an, latar tempat cerita dalam film dan novel terjadi.

Dalam film Di Bawah Lindungan Ka’bah, satu-satunya penanda kota Padang adalah rumah gadang, yang terlihat jelas dalam beberapa adegan. Selebihnya, kamera lebih lekat menyorot wajah para karakter, baik dalam medium shot maupun close-up. Lingkungan di sekitar mereka hampir tidak ditunjukkan, kecuali dalam sejumlah shot transisi antar adegan dan beberapa adegan yang melibatkan banyak orang. Dari sini, terlihat bagaimana film hanya berfokus menjual drama antara kedua protagonis, tanpa ada perhatian lebih terhadap dunia yang menaungi mereka. Pertandanya ada di dua detail dalam film. Pertama, penggunaan aksen yang tidak kontekstual. Nama Zainab berkali-kali dilafalkan sebagai ‘Jainab’. Aksen tersebut lebih dekat dengan Sunda ketimbang Padang.

Masalah kedua adalah penempatan produk yang tak mengindahkan logika internal cerita. Dalam sekuens pembuka, tepatnya dalam adegan kedua, kamera mendadak membingkai sebuah merek cemilan coklat selama tiga detik. Dalam suatu adegan di pertengahan film, cemilan coklat tersebut dimakan oleh seorang karakter. Ada juga sebuah produk pembasmi nyamuk yang cukup populer. Merek tersebut muncul tiga kali sepanjang film. Pertama sebagai sebuah poster di pasar, dalam satu adegan di awal film-film. Dua lagi sebagai obat bakar anti-nyamuk yang dinyalakan karakter sebelum tidur. Cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah terjadi di Padang tahun 1920-an, sementara produk-produk tersebut baru masuk Indonesia beberapa dekade kemudian.

Betul, ada yang namanya tanggung jawab kepada sponsor. Sayangnya, pembuat film memilih untuk melakukan tanggung jawab tersebut dengan cara yang malah mengganggu perkembangan film. Konsekuensinya: drama antara Hamid dan Zainab, yang ingin ditekankan pembuat film, jadi terasa lepas dari keseluruhan film. Para protagonis seperti berjalan di logika sendiri, sementara dunia di sekitar mereka berjalan dengan logika lainnya. Sayangnya lagi, kesalahan tersebut adalah kesalahan mendasar. Untuk film yang konon diproduksi dengan bujet dua puluh lima miliar rupiah, Di Bawah Lindungan Ka’bah seharusnya bisa lebih baik lagi.