Tinjauan Moralitas Cap Coboy Junior

5/10 Adrian Jonathan Pasaribu 16-06-2013

Coboy Junior sedang naik daun. Anak-anak ini adalah kisah sukses yang terhitung magis di negeri ini. Di tengah derasnya impor boyband dari Asia Timur, Coboy Junior melesat sebagai grup vokal yang digemari jutaan anak dan remaja seantero negeri. Coboy Junior The Movie jugamenjanjikan dirinya sebagai film yang magis. Film ini tidak main-main dalam memberi janji hiburan. Lihat saja poster filmnya. Keempat personil grup vokal Coboy Junior menari-nari dengan gelimangan cahaya warna-warni di sekujur tubuh mereka. Glamor. Di poster juga tertulis dengan cukup mencolok: “100 Dancers, 20 Songs, 1 Grand Final”. Kuantitas skala besar ala konser-konser papan atas langsung dikedepankan pada calon penonton.

Kasus Coboy Junior The Movie ini mirip-mirip dengan Never Say Never, dokumenter tahun 2011 tentang Justin Bieber. Si idola masih terlampau muda, tapi popularitasnya sudah terlampau mendunia. Cerita hidup dia masih terlampau sedikit untuk diangkat, tapi di zaman internet ini hampir tidak ada cerita yang tidak diketahui publik. Semuanya sudah tersedia di laman Wikipedia terdekat. Tidak heran kalau kemudian jualan utama Never Say Never bukanlah kisah hidup sang idola, tapi pengalaman menonton konser Bieber dalam sensasi 3D.

Menariknya Coboy Junior The Movie disutradarai oleh Anggy Umbara. Ia sangat bisa diandalkan untuk kemasan film warna-warni nan glamor. Mama Cake, film Anggy sebelumnya, begitu kental akan kosmetik visual semacam ini, yang sayangnya sama sekali tidak membangun cerita yang ingin disampaikan. Dalam Coboy Junior The Movie, pendekatan visual Anggy menemukan konteks yang tepat. Cerita adalah prioritas sekian. Toh, kebintangan Coboy Junior sudah cukup jadi alasan bagi penonton untuk bertahan dari awal sampai akhir film. Yang penting adalah bagaimana caranya grup idola ini ditampilkan dalam kemasan yang memukau.

Terlihat sekali usaha Anggy untuk memperbanyak kosmetik pada tatanan filmnya. Dari segi penyajian, Coboy Junior The Movie begitu mengumbar nada dan dakwah. Beberapa menit kita melihat mereka menyanyi, beberapa menit kemudian kita menyaksikan mereka berbicara ke kamera, membagi isi pikiran mereka dan kiat-kiat sukses. Begitu pola yang terjadi sepanjang film.

Perihal dakwah ini agak susah untuk tidak terdengar menceramahi. Dakwah ini sudah membanjiri telinga penonton sejak awal film, yang didukung sejumlah pesan moral yang tertulis di layar. Penonton benar-benar diusahakan agar tidak melewatkan kata-kata mutiara ini. Untungnya, perihal nada, pembuat film terhitung taktis untuk tidak membanjiri penonton dari awal. Pembuat film cukup punya kesabaran untuk membangun kontras para penampil di sepanjang film. Acuannya adalah fase kompetisi Xplode, pentas nyanyi dan tari terbesar di Indonesia, yang menjadi konflik utama Coboy Junior The Movie.

Di babak kualifikasi, kita melihat Coboy Junior tampil menyanyi saja, dengan minim koreografi. Mereka bahkan mendapat kritik atas miskinnya koreografi oleh para juri Xplode. Sementara itu, grup lain lebih banyak menekankan pada koreografi. Di babak semifinal, Coboy Junior mulai melibatkan koreografi dalam penampiln mereka, hasil dari belajar dan bekerjasama dengan satu kelompok tari. Sementara itu, kelompok lain juga mulai memberi porsi lebih besar pada menyanyi. Di babak final, penampilan tari dan nyanyi ini mulai dikombinasikan dengan desain panggung. Kata ‘glamor’ jadi sesuatu yang tidak terhindarkan.

Tidak nyaman

Dengan pembabakan macam ini, penonton mendapat variasi. Coboy Junior The Movie setidaknya tidak menjadi katalog pentas semata, yang sekadar merekam pertunjukan, tapi tidak melibatkan penonton dalam proses pembangunan pertunjukan itu sendiri. Dalam Coboy Junior The Movie,setiap penampilan punya rasanya sendiri dan setiap babak jadi punya tekanannya sendiri. Babak grand final jadi memang terasa penting, karena pembuat film secara konstan menempatkan para tokoh ceritanya di posisi yang tidak nyaman, di mana setiap peserta benar-benar dituntut untuk melampaui penampilan yang sudah-sudah.

Dalam segi penokohan, pembuat film cukup bijak untuk tidak menjadikan kesuksesan Coboy Junior sebagai sesuatu yang serta-merta. Selalu ada aral yang melintangi langkah-langkah mereka. Yang artinya, kesuksesan Coboy Junior adalah buah dari proses yang putus. Dua plot sampingan dikerahkan untuk mencapai ‘pesan moral’ ini: satu terkait salah satu anggota yang meminta anaknya untuk fokus sekolah, satu lagi tentang persaingan Coboy Junior dengan Superboys dan The Bangs.

Subplot pertama bisa dipahami. Tarik ulur antara karier dan sekolah adalah wacana yang selalu berulang setiap kali ada bintang cilik yang naik daun. Tentunya pembuat film (dan tim manajemen Coboy Junior) ingin memberi kesan pada penonton anak-anak (dan orangtua mereka) kalau jadwal pentas tidak menjadikan para anggota Coboy Junior lupa pada pendidikan. Hal ini pula yang sering disuarakan oleh para anggota Coboy Junior dalam dakwah-dakwah mereka ke kamera.

Subplot kedua bisa dipahami sebagian. Namanya juga kompetisi, pasti ada friksi-friksi antarkelompok di dalamnya. Sebagian lain yang tidak bisa dipahami adalah keputusan pembuat film menampilkan grup-grup pesaing Coboy Junior dalam kerangka moral yang ‘buruk’. Anggota dan pelatih Superboys selalu muncul dengan muka sombong; kata-kata dan perilaku mereka kasar. The Bangs setali tiga uang. Bedanya, pelatih The Bangs adalah orang Korea dan lebih tidak tahu batas dibanding pelatih Superboys. Saat Coboy Junior latihan untuk penampilan babak final, pelatih The Bangs diam-diam menyelinap dan mensabotase panggung. Akibatnya, salah satu anggota grup jagoan kita cedera menjelang babak final.

Pertanyaannya: sepenting itukah kemenangan moral bagi Coboy Junior? Kalau mau diluaskan lagi: sepenting itukah kemenangan moral bagi penonton kita? Bukannya tidak mau mendukung moralitas yang baik, tapi marilah kembali pada esensi filmnya. Coboy Junior adalah grup tari dan nyanyi yang pentas di Xplode, kompetisi tari dan nyanyi tingkat nasional, dalam film bejudul Coboy Junior The Movie, yang materi publikasinya lebih banyak bicara soal tari dan nyanyi. Lantas, kenapa filmnya tidak setia saja pada urusan tari dan nyanyi? Kenapa konflik film tidak dilekatkan saja pada usaha dan disiplin Coboy Junior untuk meningkatkan performanya? Garis cerita itu sendiri sudah cukup dramatis, malah lebih menjelaskan esensi Coboy Junior sebagai kelompok, karena sesi latihan dan usaha menyeimbangkan karier-sekolah jauh lebih konkrit (yang artinya juga lebih inspiratif) ketimbang perkara moral yang diada-adakan itu.

Perkara moral ini menganggu banyak hal. Secara penuturan, ia membuka sebuah pertanyaan tersendiri dalam reka-percaya film: apa iya hanya anak-anak dan pelatih Coboy Junior saja yang bisa sportif? Anak-anak kita separah itu sampai tidak ada yang bisa bersaing dengan sehat? Kesannya ada kewajiban dadakan untuk menjadikan Coboy Junior sebagai panutan moral yang paling paripurna, padahal awalnya filmnya tidak soal itu. Secara penyikapan, Coboy Junior The Movie bisa jadi malah mengajarkan pesan sebaliknya dari yang diniatkan. Alih-alih soal sporitivitas dalam berkompetisi, film ini salah-salah bisa mendorong anak-anak untuk mencurigai sekitarnya. Dunia yang disajikan begitu tidak nyaman, seakan-akan anak di sebelahmu punya agenda tersembunyi, yang didukung oleh orang-orang dewasa yang bertanggungjawab atas mereka. Apa iya dunia sudah sekelam itu bagi anak-anak kita?