Lahir di Jakarta, Meninggal di Jakarta. Pendidikan : Tionghwa Hew Kwan, Jakarta; Sekolah Menengah di Amerika; kursus Penulisan Skenario, Palmer Theatre Play, Amerika.Ketika sekolah di Amerika sekitar awal tahun 1920-an itu Teng Chun bersama teman sekolahnya Fred Young sudah tertarik pada film. Sering main di studio dan sama-sama belajar menulis skenario. Tahun 1925-1930 Teng Chun berada di Shanghai untuk menjadi pemilih dari film buatan negeri itu yang akan di import ayahnya ke Indonesia. Di Shanghai ini, ia juga berkesempatan coba-coba bikin film. Di antara karyanya adalah : "Whell of Desteny", film bisu. Ketika ia kembali ke Indonesia pada tahun 1930, ia mendirikan perusahaan film "Cino Motion Picture", tanpa mendapat sokongan ayahnya yang kaya, karena ayahnya menganggap lebih baik mengimport saja. Tapi Teng Chun merasa ada kepuasan tertentu kalau bikin sendiri.
Produksi pertama perusahaannya adalah "Bunga Roos Dari Tjikembang" (1931). Film bersuara yang dibuat dengan kamera Single System, langsung bisa merekam suara, yang alat suaranya dikerjakannya sendiri di Bandung. Produksi ini seluruhnya dikerjakannya sendiri, dari mulai cerita, Sutradara, kamera dan sebagainya. Hasilnya kurang baik, terutama suaranya amat buruk. Hingga ia memerlukan satu tahun untuk "ambil nafas" dan memperbaiki kameranya. Film-film berikutnya yang dibuat adalah berdasarkan cerita klasik Tiongkok, seperti Sampek Engtay, Ouw Pe Coa atau seri See You, cerita siluman. Pemilihan cerita ini bisa menolong perusahaannya bertahan dari kebangkrutan, ternyata penonton Cina Peranakan suka pada cerita ini dan bahasanya bisa pula mereka pahami.
Maka tahun 1935 ia sudah bisa membeli peralatan baru dan merubah nama perusahaannya menjadi Java Industrial Film (OF). Diajaknya adik-adik kandungnya masuk dalam perusahaan, dan mulai dilakukan pembagian tugas, untuk juru suara, kamera dsb. Inilah untuk pertama kalinya dalam usaha pembuatan film dilakukan penataan sebagai sebuah industri. Perusahaan ini ternyata paling tahan menghadapi segala tantangan. Sejak tahun 1938 ia mengubah tema cerita yang difilmkan dengan cerita-cerita tentang kehidupan di sini (Jawa), dimulai dengan "Oh, Iboe" (1938). Ia juga mengambil bintang-bintang tetap, Moch. Mohtar dan Hadidjah, sejak pembuatan "Alang-Alang" (1939), film ala Tarzan Indonesia yang pertama.
Pada masa panen pertama dalam sejarah pembuatan film di negeri ini, JIF merupakan studio yang paling kuat dan produktif. Teng Chun mengambil tenaga-tenaga terbaik dari dunia teater masa itu, seperti Andjar Asmara, Ratna Asmara, Astaman, Inoe Perbatasari, Rd. Ismail, Tan Tjeng Bok, Suska dsb. Di antara hasil perusahaannya yang menonjol adalah "Tengkorak Hidoep" (1940), "Srigala Item" (1941), "Matjan Berbisik" (1941), "Kartinah" (1942), "Ratna Moetoe Manikam" (1942). Pada masa pendudukan Jepang, perusahaannya ikut ditutup Jepang, sebagaimana perusahaan film lainnya. Teng Chun mencoba bergerak di bidang sandiwara, dipimpinnya rombongan "Djantoeng Hati", tapi ia tak betah lama. Maka, ia pun jadi pedagang apa saja yang bisa dijual.
Pada 1949, menjelang peralihan Kedaulatan, Teng Chun kembali mendirikan perusahaan film bersama dengan Fred Young, teman masa kanak-kanak dulu di Amerika. Nama perusahaannya Bintang Surabaja, diambil dari nama sandiwara milik Fred Young, yang amat populer sejak jaman Jepang. Perusahaan ini segera menjadi salah satu perusahaan yang amat produktif di awal tahun 1950an dan yang pertama melahirkan film ala 1001 malam, yang kemudian jadi wabah pada sekitar tengah tahun '50-an. Di akhir 1950, perusahaan ini turut melemah, bersama suramnya dunia pembuatan film masa itu, dan menghentikan produksinya sejak tahun 1962. Orang yang meletakkan batu-batu pertama dalam menjadikan usaha pembuatan film sebagai industri ini menjadi guru privat bahasa Inggris sampai akhir hayatnya. Menerima Tanda Penghargaan dari Gubernur DKI pada tahun 1976.
Sumber: Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978. Disusun oleh Sinematek Indonesia. (Jakarta : Yayasan Artis Film dan Sinematek Indonesia, 1979)