Pendidikan: ASDRAFI Yogyakarta (1954-1955), ATNI (1957-1961), East West Centre, University of Hawaii (1963). Sudah dikenal sebagai pemain sandiwara di akhir 1950an/60an waktu masih menggunakan Steven Lim Tjoan Hok dalam pementasan-pementasan yang diadakan oleh ATNI.
Teman-teman lamanya masih memanggilnya "Steve". Walau sudah mendapat praktek pada PFN dalam pembuatan film-film cerita/dokumenter dan penulisan skenario (1958), tapi dia tidak langsung terjun ke dunia film, sebab teater masih tetap menarik perhatiannya.
Teguh termasuk salah satu pendiri Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (1962). Sepulang belajar di luar negeri (mendapat beasiswa), Teguh aktif sebagai pengajar seni peran pada ATNI (1964).
Pada tahun 1965, ia mendirikan Teater Populer yang kemudian sering muncul di TIM Jakarta maupun kota-kota lain. Anggota Dewan Kesenian Jakarta antara 1968-1974 ini pernah bekerja sebagai penata artistik panggung Hotel Indonesia (1961 - 1972).
Baru terjun betul-betul ke dunia film pada tahun 1971 lewat Wadjah Seorang Laki-laki, dimana ia bertindak sebagai pengarang cerita, penulis skenario, dan sutradara sekaligus, dengan dukungan utama dari anggota-anggota Teater Populer. Demikian pula dalam film-film selanjutnya. Sebagai orang yang diakui teliti dan rapi kerjanya, Teguh cuma membikin satu film dalam satu tahun, filmnya Kawin Lari (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), yang pada FFI 1978 di Makassar, mendapat 4 piala Citra, masing-masing untuk editing, ilustrasi musik, tata suara, dan sinematografi, terbaik.
Namanya tambah terkenal karena terpilih sebagai sutradara terbaik dua kali berturut-turut, dalam FFI 1974 untuk karyanya, Cinta Pertama (1973) dan FFI 1975 untuk karyanya Ranjang Pengantin (1974). Film Cinta Pertama juga mendapat gelar Film Terbaik dengan penghargaan pada FFI 1974.
Dari Teater Populer yang didirikannya, lahirlah orang teater dan film yang berbobot, misalnya Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon (1939 - 1989), Nano Riantiarno, Niniek L Karim, Alex Komang, dan lain-lain.
Di "zaman sinetron" masih tidak kalah dari generasi baru, biarpun hanya diunggulkan pada Festival Sinetron Indonesia (FSI). Masuk unggulan dalam Arak-arakan (FSI 92), Alang-alang (FSI 94), untuk cerita Indonesia Berbisik (FSI 95), Pakaian & Kepalsuan (FSI 95) dan Perkawinan Siti Zubaedah pada FSI 97. Oleh ke "teguh"annya dalam ber "karya", pada 1991 dianugerahi hadiah Usmar Ismail oleh Dewan Film Nasional.