Tinjauan Ada Harmoni di Pinggir Pantai Lovina

5/10 Adrian Jonathan Pasaribu 03-09-2012

Ada harmoni di pinggir pantai Lovina. Begitulah kira-kira yang Erwin Arnada ingin sampaikan. Ketiga protagonis film adalah anak-anak yang berbeda satu sama lain. Ada kakak beradik Samihi (Risjad Aden) dan Syamimi (Bianca Oleen), pemeluk Islam yang taat. Ada pula Wayan Manik (Dedey Rusma) yang biasa dipanggil Yanik, penganut agama Hindu yang soleh. Ketiganya biasa menunggu satu sama lain beribadah sebelum bermain dan berpetualang bersama.

Perbedaan para protagonis tak berhenti di agama saja. Pembawaan mereka juga berbeda. “Masa anak Singaraja tak bisa berenang!” begitu tantangan Yanik pada Samihi. Yanik begitu tangkas bergelut di air dan bergelayutan di atas kapal. Setiap harinya ia bekerja sebagai pemandu wisata turis-turis asing yang ingin melihat lumba-lumba di Lovina. Sementara itu, Samihi kepayahan setiap beraktivitas fisik. Ia mengidap asma dan tak tahu cara berenang. Ia adalah anak sekolah yang lebih rajin menjelajahi ayat-ayat kitab suci ketimbang alam di sekitarnya.

Erwin Arnada dan tim produksinya cukup bijak untuk tidak mengasumsikan bahwa penonton akan begitu saja simpatik pada tokoh-tokohnya. Satu kebiasaan dalam film anak-anak Indonesia adalah keunggulan atau kebobrokan moral yang muncul tanpa sebab. Contohnya baru-baru ini adalah Brandal-brandal Ciliwung.Seakan-akan dunia begitu hitam putih sejak usia dini, sehingga pilihan jalan hidup juga hanya dua: kalau tidak putih seputih-putihnya, ya hitam sehitam-hitamnya. Hal ini seringnya terwujud ke pembentukan kelompok protagonis yang sepertinya hanya bisa berbuat baik dan kelompok antagonis yang jauh sebaliknya. Tak jelas bagaimana mereka bisa sampai ke titik itu.

Yanik dan Samihi berbeda. Di umur yang masih muda, keduanya sudah fasih bahasa trauma dan kehilangan. Yanik ditinggal bapaknya yang minggat ke Denpasar untuk menikahi perempuan lain. Yanik juga merupakan korban pelecehan seksual oleh seorang turis Belgia. Sementara itu Samihi ditinggal kakaknya yang mati tenggelam. Bapak Samihi sendiri (dan almarhum istrinya) selalu memperingatkan anak lelakinya untuk menjauhi pantai dan air terjun. Ia tak ingin Syamimi jadi anak tunggal.

Tokoh-tokoh Rumah di Seribu Ombak bukanlah cetakan yang bisa diganti begitu saja. Mereka tak mewakili nilai-nilai tertentu di awal film, hanya trauma dan kehilangan pribadi yang terkait dengan lokal sekitar. Trauma dan kehilangan menjadi alasan sekaligus yang motivasi konkret bagi perkembangan tokoh Yanik dan Samihi ke depannya.

Tantangan Yanik agar Samihi untuk terjun ke air terus diulang berkali-kali, hingga akhirnya Samihi bisa mengatasi ketakutannya atas air. Samihi di sisi lain belajar untuk mengambil inisiatif. Ketika Yanik disergap turis Belgia yang dulu menzaliminya, Samihi mengajak Ngurah Panji (Jerinx SID), pemuda setempat, untuk mencari sahabatnya. Samihi memilih untuk memberitahukan rahasia terbesar Yanik kepada orang lain supaya temannya bisa diselamatkan.

Sepanjang proses menjadi yang dilakoni para tokohnya, Rumah di Seribu Ombak mewartakan pesan tentang harmoni bangsa tanpa harus cerewet berceramah. Satu momen berkesan adalah ketika Yanik mengajak Samihi untuk belajar vokal pada seorang penyanyi tradisional Bali. Pertanyaan yang pertama diajukan Yanik, “Apakah boleh belajar kalau tidak beragama Hindu?” Momen-momen ini bukanlah sempalan belaka. Semuanya terkait erat dengan perkembangan cerita dan tujuan hidup tokoh. Penanda-penanda perbedaan di awal film dan harmoni yang lahir dari padanya jadi terasa lebih berarti, karena ada usaha yang dikerahkan untuk mencapai potret harmoni tadi.

Sangat disayangkan Erwin Arnada seperti ingin cepat-cepat menyelesaikan filmnya, seperti tak mau repot-repot dengan cinta lintas agama, ujian terakhir potret harmoni dalam Rumah di Seribu Ombak. Para pelakunya sendiri sudah cukup teruji cobaan hidup sepanjang film: Yanik dan Syamimi. Keduanya juga belum memasuki fase tunangan maupun pernikahan, belum ada negosiasi antarkeluarga, baru sekadar saling lirik dan tukar perhatian. Digunakanlah solusi naratif instan layaknya melodrama lokal tahun 70an dan 80an. Kalau dulu wujudnya adalah tabrakan mobil atau penyakit ganas yang datang entah dari mana, di Rumah di Seribu Ombak kejadiannya adalah bunuh diri. Segala usaha yang dikerahkan untuk memotret harmoni secara beralasan menjadi runtuh seketika di hadapan satu perkembangan naratif yang tak beralasan.

Dari sini muncul pertanyaan sendiri: kapan terakhir kalinya kita melihat pasangan beda agama yang berakhir bahagia dalam film Indonesia? Rasanya sudah lama sekali. Apa benar harmoni tak bisa terwujud antar kekasih beda agama di negeri ini?