Awi Suryadi seperti kebingungan menentukan identitas film panjang terbarunya. Sepanjang 75 menit, Lo Gue Endbermetamorfosa dari adaptasi biografi singkat seorang novelis, drama anak muda urban, film horor-fantasi, ke kisah moral tentang bahaya narkotika. Dalam sejumlah kasus, banyak makna adalah tanda dari kedalaman cerita. Dalam kasus Lo Gue End, banyak makna adalah konsekuensi dari ketidakjelasan keinginan pembuat film.
Banyak mata rantai yang putus antara kemasan dan gagasan film. Pembuat film mendesain Lo Gue End sebagai kisah berbingkai. Cerita Zara Zettira (diperankan oleh Amanda Soekasah) menjadi bingkai, sementara cerita Alana (Nadine Alexandra) menjadi isinya. Perkembangan film pun terpantik lewat perjalanan bolak-balik antara kedua cerita. Ide yang cemerlang sebetulnya, kalau saja kedua cerita saling membangun.
Di cerita pertama, kita mendapati satu tokoh utama yang ironisnya tak punya kepentingan sama sekali berada dalam film. Dalam sepuluh menit pertama, penonton langsung mendapati tiga fakta biografis tentang Zara: ia baru pulang dari liburan, sebelumnya cerai, dan sekarang sudah tak bergairah lagi menulis. Dari tiga ini, hanya fakta terakhir yang punya sambungan ke cerita film. Itu juga dilakukan dikembangkan secara dangkal, yang berpotensi membuat penonton meragukan kredibilitas Zara sebagai penulis –dan kredibilitas cerita secara keseluruhan.
Pasalnya, gairah Zara untuk menulis lagi digambarkan hadir setelah membaca cerita Alana. Sewaktu mengecek email yang terbengkalai sepanjang liburan, Zara mendapati banyak surel dari Alana. Beberapa berisi makian Alana karena Zara tak kunjung membalas suratnya, beberapa lagi memuat kisah magis yang dialami Alana. Kisah Alana inilah yang kemudian Zara pakai untuk novel terbarunya yang berjudul Lo Gue End.
Pertanyaannya: apakah cerita Lo Gue End hanyalah kisah catutan? Apakah Zara sebagai penulis hanya menuliskan kisah orang lain tanpa dialog lebih lanjut dengan narasumber? Lebih parah lagi, apakah Zara hanya mengambil cerita orang tanpa memberi pengakuan kepada si empunya cerita?
Pesan moral yang begitu didengungkan dalam kisah Alana adalah “Drugs don’t bring me happiness.” Anehnya, mencatut milik orang lain membawa kebahagiaan bagi Zara. Di akhir film, Zara digambarkan berdiri di acara peluncuran novel terbarunya, sendirian di tengah kilatan blitz kamera. Di mana Alana? Kalau Alana bisa menghubungi Zara lewat email, kenapa Zara tak bisa melakukan hal serupa? Bukankah internet seharusnya memangkas jarak antara orang asing?
Alana lebih pantas mendapat spotlight. Berbeda dengan Zara, Alana mengalami pergumulan yang konkret sepanjang cerita. Penonton lebih mungkin bersimpati pada Alana ketimbang Zara. Kalau saja tokoh Zara dan kisah sempilannya dihilangkan sepenuhnya, Lo Gue End akan menjadi rangkaian cerita yang lebih koheren dan beralasan. Toh, kisah Zara dalam film hampir tak punya tautan dengan kisah Alana.
Sialnya lagi, eksekusi kisah Alana sendiri bukannya tanpa masalah. Pesan moral yang disuarakan tepat seusai klimaks cerita terasa kosong karena karakteristik cerita yang mendahuluinya. Pasalnya, tragedi yang Alana alami bersifat supernaturalistik. Selalu ada ganjaran untuk setiap tindakan amoral yang dilakukan. Gemar menelan pil ecstasy? Mati tenggelam di kolam. Kecanduan heroin? Jatuh dari balkon. Dan sejenisnya.
Kalau memang ingin menginspirasi penonton untuk menjauhi obat-obatan terlarang, kenapa tidak menyajikan dampak penggunaan narkotika secara faktual? Ini sangat kontradiktif, mengingat Lo Gue End didukung penuh oleh Yayasan Stigma, yang memperjuangkan hak-hak pecandu narkoba dengan cara-cara yang tentunya tidak supernaturalistik. Kalau memang ingin menyajikan kisah horor-fantasi, kenapa kemudian harus begitu menonjolkan pesan moral segala? Pembuat film tak dapat menentukan identitas filmnya dan memilih untuk mencampur aduk segalanya. Alhasil, Lo Gue End tidak jauh beda (dan tidak lebih superior) dengan episode berjudul "Hidup Tak Tahu Diuntung, Mati Dikerumuni Belatung" dari suatu sinetron religi.