Kalau mau cari inspirasi, jangan tonton Sokola Rimba. Film terbaru Riri Riza inibukan soal kisah sukses, bukan pula roman tentang kepahlawanan. Berbeda dengan sosoknya yang begitu menjulang dalam poster film, sosok Butet Manurung (diperankan Prisia Nasution) terlihat begitu kecil dan remeh selama 90 menit durasi film. Tak sedetikpun ia berbagi tentang mimpi-mimpi revolusioner, tak juga berhambur sajak-sajak magis tentang suatu model kebajikan.
Ketika ditanya oleh seorang peneliti kenapa ia menjadi pengajar, Butet melanturkan sebuah jawaban yang teramat ‘biasa’: lulus kuliah, tidak tahu mau apa, lihat ada lowongan pekerjaan sebagai guru di pedalaman, menganggapnya sebagai petualangan yang eksotis, lalu mendaftar. Adapun sekelumit kisah tentang orangtuanya, “Kalau Bapak masih hidup, saya mungkin tidak akan ada di sini. Ibu yang mendukung saya mengambil pekerjaan ini.” Jadilah ia mengajar baca-tulis dan berhitung untuk masyarakat Suku Kubu, dikenal juga sebagai Orang Rimba, yang bermukim di hulu dan hilir Sungai Makekal, Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.
Butet juga tidak pernah benar-benar ‘menang’ dalam Sokola Rimba. Sampai dengan kredit film bergulir, tak sekalipun kita melihat adanya perubahan yang drastis dalam kehidupan Orang Rimba—tak ada kepastian apabila suku pedalaman ini bisa lepas dari tirani kepentingan pengurus taman nasional dan pemilik perkebunan kelapa sawit. Tak juga kita melihat Butet mendapat timbal balik yang setimpal untuk upayanya bersusah-susah memperjuangkan pendidikan dan hak Orang Rimba.
Di lingkungan kerjanya, sebuah lembaga konservasi alam bernama Wanaraya, Butet dicibir oleh atasannya karena terlalu jatuh hati dan terlalu peduli dengan khalayak Orang Rimba yang selama ini ia temui— di awal film Butet diselamatkan seorang anak dari hilir Sungai Makekal ketika ia jatuh pingsan akibat malaria, yang mendorong Butet untuk memperluas wilayah kerjanya. Di kalangan Orang Rimba sendiri, Butet sempat diusir karena dianggap menyebarkan kutukan lewat ilmu pengetahuan—tak lama setelah Butet mengajar di kawasan hilir Sungai Makekal, pemimpin kelompok setempat tutup usia.
Pencapaian tertinggi Butet dalam Sokola Rimba adalah beberapa anak yang bisa membaca. Tidak lebih, tidak kurang. Menariknya, justru karena penyikapan yang bersahaja ini, Sokola Rimba menjadi begitu mencuat. Dalam film ini, pendidikan tidak hadir sebagai batu loncatan atau solusi instan menuju kemakmuran. Ia hadir sebagai alat yang Orang Rimba bisa pakai pada hari-hari mendatang untuk kebutuhan mereka. Hasil akhir itu masalah nanti. Yang penting prosesnya dulu.
Penggambaran pendidikan macam ini yang kerap absen dalam sinema Indonesia belakangan. Semenjak Laskar Pelangi pada 2008 (yang kebetulan juga disutradarai Riri Riza), film-film bioskop kita giat menyiarkan iming-iming luar biasa yang menanti seseorang di ujung jenjang pendidikan—baik itu kekayaan maupun kesempatan ke luar negeri. Gambaran iming-iming semacam itu tertuturkan dalam Negeri 5 Menara, Semesta Mendukung, hingga 9 Summers 10 Autumns.
Kesan pertama yang muncul: sineas kita sungguh tidak kreatif. Satu film sukses, lantas formula yang sama difotokopi terus-menerus sampai buram jadinya. Namun, pada tingkatan yang lebih dalam, masyarakat kita memang sedang kecanduan kebajikan siap saji. Cerita anak-miskin-sekolah-lalu-kaya banyak meramaikan toko buku di seantero nusantara—beberapa di antaranya sudah dan akan diadaptasi ke layar lebar. Belum lagi belakangan ini motivator menjadi profesi yang luar biasa menguntungkan secara finansial—tak sedikit dari mereka yang menekankan pentingnya pendidikan bagi kemakmuran pribadi.
Pendidikan memang penting bagi kemaslahatan umat, namun perkembangan-perkembangan ini berpotensi mengeneralisir guna pendidikan di benak warga. Lulus sekolah, menumpuk kekayaan. Lulus kuliah, ke luar negeri. Apa iya sesempit itu kemungkinannya? Dan apa iya kebutuhan semua warga itu sama, yakni kekayaan melimpah atau melanglang buana? Bagaimana dengan kalangan warga yang tak mengenal konsep “kaya” atau “pelesir” dalam khazanah kehidupan mereka?
Sokola Rimba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini untuk konteks Orang Rimba. Di sini kita patut menghargai usaha (serta ketelatenan) pembuat film mengurai hal-hal apa saja yang mengisi kerutinan Orang Rimba—lahan bermukim, kesempatan berburu hewan, hukum adat, kebersamaan dalam kelompok—dan mengaitkan semuanya dengan hal-hal yang mengisi kerja Butet Manurung sebagai pengajar di daerah mereka.
Di satu sisi, lahan bermukim dan kesempatan berburu hewan bertautan dengan kepentingan pengurus taman nasional, yang juga berkaitan dengan politik tempat kerja Butet, yang lebih mementingkan publisitas (supaya punya reputasi baik di mata pemodal) ketimbang menyokong keinginan Butet untuk memperluas wilayah ajar. Di sisi lain, hukum adat dan kebersamaan dalam kelompok Orang Rimba berlawanan dengan pendidikan yang Butet tawarkan. Sejumlah tetua Orang Rimba yang Butet temui curiga kalau pendidikan yang ditawarkan akan mendorong generasi penerus untuk pergi meninggalkan mereka, walau anak-anak dan remaja dari kelompok yang sama menerima keberadaan Butet.
Adapun, seiring berjalannya cerita, muncul fakta bahwa para penebang hutan dan pemilik taman nasional mengeksploitasi para Orang Rimba. Kelompok-kelompok Orang Rimba ini diminta menandatangani kontrak yang sesungguhnya merugikan mereka, tapi mereka tidak sadar kalau mereka sedang dirugikan karena tidak tahu apa sebenarnya yang tertera dalam kontrak itu.
Berdasarkan silang sengkarut kebutuhan dan kepentingan inilah cerita Sokola Rimba berjalan. Tak heran kalau kemudian Butet Manurung terasa menjadi sosok yang begitu kecil dalam film. Setiap langkah yang ia ambil bergantung pada kepentingan dua kalangan, baik tempat kerjanya maupun para Orang Rimba. Beberapa kali ia mau tidak mau ikut aturan, beberapa kali ia terpaksa bersiasat—dan ia tidak selamanya berhasil.
Bentuk penuturan macam ini baik adanya. Berbeda dengan film-film biografi kita belakangan, terutama yang beredar sepanjang 2013, Sokola Rimba tidak terjebak pada penyederhanaan seorang tokoh menjadi sosok yang serba bisa dan serba ada. Ia hanyalah seorang pemain dalam suatu konstelasi yang besar, di tengah sistem yang tak melulu berpihak padanya. Bentuk penuturan macam ini memungkinkan Sekolah Rimba mencapai kedalaman-kedalaman yang jarang ditemui dalam film-film kita.
Pada tingkatan tertentu, Sokola Rimba menjadi pelajaran yang realistis tentang anatomi suatu gerakan sosial. Apa yang Butet ingin capai itu mulia: berbagi ketrampilan untuk menghadapi kehidupan yang berubah. Namun, sebagaimana yang atasannya tekankan, semua itu butuh modal dan modal tidak berserakan begitu saja di halaman belakang rumah. Dan itu benar adanya—hanya karena atasan Butet menghalangi langkah protagonis kita, ia tidak bisa kita salahkan begitu saja.
Pada tingkatan lainnya, Sokola Rimba menjadi kritik halus terhadap pemerintah yang titip absen dalam mencerdaskan warganya. Perhatikan dalam film, di luar rekan-rekan Butet sesama pengajar, siapa yang benar-benar peduli dan mau membantu program pendidikannya secara konkret? Orang asing.
Terpenting dari semua ini, bentuk penuturan Sokola Rimba memberi kita kesempatan untuk tidak saja mengenal Butet, tapi juga para Orang Rimba. Suara mereka mendapat tempat dalam film, dalam posisi yang krusial pula. Dari awal kita mendengar narasi suara Butet menjelaskan pandangannya, apa yang ia temui sepanjang berinteraksi dengan Orang Rimba, dan apa yang ia pelajari selama mengajar mereka baca-tulis. Pada sebuah momen klimaks, salah seorang anak didik Butet mengantikan narasi suara gurunya, bercerita tentang suatu ritual pengambilan madu yang penting di kalangan Orang Rimba. Sepanjang film kita melihat mereka belajar mengenal aksara dan pada akhirnya mereka “bersuara”. Puitis sekali.