Ada benang merah yang putus dalam Sang Kiai. Bandingkan momen pembuka dan penutupnya. Di awal film kita melihat KH Hasyim Asy’ari (diperankan secara karismatik oleh Ikranagara) menegur salah satu santrinya, yang menolak masuk seorang calon santri karena tidak bisa menyumbangkan hasil bumi. Sang kyai dengan bijaknya menekankan pentingnya berbagi, yang disokong dengan kutipan kitab suci. Si santri muda hanya bisa terdiam menunduk. Di akhir film, kita mendapati sebuah long march warga dan tentara, yang cerai berai kena serangan penjajah. Para warga kabur mencari tempat perlindungan, para tentara menembak balik musuh. Film berakhir dengan narasi (suara Ikranagara) tentang perjuangan kemerdekaan di medan perang. Di awal film, solusinya diplomasi. Di akhir film, perjuangan fisik.
Perkara benang putus ini patut kita cermati lebih dalam. Sang Kiai dibangun –dan juga diluluhlantakkan– atas narasi pencapaian kemerdekaan lewat meja diplomasi dan perjuangan fisik, dan bagaimana keduanya saling bertautan. Bentuk penuturan macam ini tidaklah baru. Setahun sebelumnya Garin Nugroho memakai bentuk serupa dalam Soegija, yang menarasikan sepotong kehidupan Monsinyur Soegijapranata, uskup pertama di Pulau Jawa, dengan fokus pada kontribusinya selama perang kemerdekaan. Sang tokoh ditempatkan sebagai energi tersendiri yang menghidupi para umat dan pejuang di masa-masa krisis.
Dalam konteks film Indonesia, Soegija terhitung ambisius dalam menampilkan sejarah bangsa, terlebih lagi sejarah perang kemerdekaan. Kacamata bangsa ini masihlah buram oleh pengaruh militer. Kita lebih banyak membaca sejarah dalam takaran perjuangan fisik, bahkan menghormati perjuangan kemerdekaan dengan cara yang militeristik (upacara bendera). Film-film kita tak luput dari kecenderungan tersebut. Seakan-akan pahlawan hanyalah mereka yang memegang senapan di medan perang, tapi tidak dengan orang-orang yang berjuang dengan cara lain di medan lain. Pembuat film Soegija cukup berani untuk tidak menjejak jalan yang sama.
Langkah serupa turut diambil oleh Rako Prijanto dan kawan-kawan dalam Sang Kiai, setidaknya dalam paruh pertama film. Sosok KH Hasyim Asy’ari dibangun dari kiprahnya di Pesantren Tebu Ireng. Ada dua elemen yang diperkenalkan pada penonton. Pertama, perkara hasil bumi. KH Hasyim Asy’ari membangun sawah di kawasan pesantren supaya pesantren dapat bertani dan berdagang, sehingga bisa hidup independen dan tidak merepotkan warga sekitar. Kedua, ketegaran di hadapan penjajah. Pasukan Jepang menyerbu pesantren, menuduh sang kyai telah menentang Jepang dengan menolak saikeirei (penhormatan bendera Jepang). Di hadapan para tentara yang bersenjata, KH Hasyim Asy’ari dengan tegas menyatakan, “Haram!”. Ia pun ditangkap.
Dua elemen ini yang kemudian dipilin menjadi benang merah Sang Kiai ketika KH Hasyim Asy’ari mulai berjuang lewat meja diplomasi. Perkara hasil bumi menjadi satu konflik penting dalam perang kemerdekaan; pihak Jepang memerintahkan warga untuk kerja lebih keras di ladang agar dapat melipatgandakan hasil bumi. Tak jauh sebelumnya, Jepang baru saja mendirikan Masyumi sebagai pengganti Majelis Islam A’la Indonesia, sebagai sarana untuk menggalang dukungan rakyat Indonesia lewat lembaga agama Islam. Terkait dengan perkara hasil bumi tadi, Jepang menuntut para pemuka agama Islam untuk menyuarakan tuntutan pelipatgandaan hasil bumi lewat ceramah-ceramah di masjid. Namun, KH Hasyim Asy’ari kembali menunjukkan ketegaran yang sama lewat Masyumi yang ia pimpin. Ia menolak permintaan Hussein Jayadiningrat, kepala Shumbu (departemen agama bentukan Jepang), agar menyitir ayat-ayat dalam menggerakkan pengumpulan hasil bumi. Terjadi perseteruan antara Shumbhu dan Masyumi.
Perseteruan Shumbhu dan Masyumi ini membuka dimensi lain dalam Sang Kiai: tidak padunya umat Islam saat perang kemerdekaan. Rako Prijanto cukup cermat untuk tidak menempatkan KH Hasyim Asy’ari sebagai corong suara tunggal bagi umat Islam zaman itu. Implikasi dari ketidakpaduan ini turut digambarkan dalam keputusan sejumlah tokoh pendukung. Harun (Adipati Dolken), salah satu murid KH Hasyim Asy’ari, memilih untuk keluar dari Tebu Ireng karena merasa tidak sepaham dengan jalan damai yang ditempuh sang kyai (bahkan menuduh beliau bekerjasama dengan Jepang). Sementara itu Abdi, murid Tebu Ireng lainnya, tetap setia pada gurunya. Keragaman politik macam ini yang absen dalam Soegija. Umat dan gereja Katolik dalam film itu seakan-akan bicara dengan suara dan kepala yang sama.
Sayangnya, pembuat film Sang Kiai tidak membawa pola ini sampai garis akhir. Konsekuensinya, benang merah KH Hasyim Asy’ari putus tengah jalan. Tanda-tanda akan terjadinya hal ini dapat dilihat dalam satu momen krusial di pertengahan film: diskusi para pemuka agama Islam perihal hukum membela tanah air. Gambar film menampilkan sekelompok pemuka agama Islam berdiskusi, namun suara yang terdengar hanya milik KH Hasyim Asy’ari seorang.
Suara tunggal
Ke mana suara yang lain? Tidak tahu dan tidak pernah dimunculkan sejak saat itu. Corong suara mendadak jadi tunggal, dan film perlahan-lahan pindah fokus ke Harun, tentang kiprahnya saat Resolusi Jihad melawan tentara Sekutu. Kontras dengan paruh sebelumnya, paruh kedua film dominan oleh adegan tempur perang dan minim akan sosok KH Hasyim Asyari.
Adegan-adegan tempur ini bukannya buruk. Secara sinematik, adegan-adegan tempur ini digarap dengan baik oleh Rako Prijanto dan kawan-kawan. Baju para pejuang boleh jadi terlihat terlalu bersih (faktanya, baju siapapun sepanjang Sang Kiai selalu terlihat bersih, kecuali baju Zaenal Mustafa saat dieksekusi di Ancol), dan beberapa tembakan boleh jadi terlihat seperti tembakan laser, namun pembuat film cukup imajinatif dalam membingkai adegan-adegannya. Ketegangan suasana perang terbangun dari permainan ruang sempit tempat para pejuang bersembunyi dengan ruang terbuka tempat para pejuang bertempur. Tebaran efek visual di beberapa adegan juga membantu menjadikan Sang Kiai film yang cantik secara visual.
Secara naratif, adegan-adegan ini tidak terbingkai dengan baik, sehingga kesannya mengglorifikasi perjuangan fisik, padahal tidak sesederhana itu juga. Masalahnya, pembuat film seperti ogah repot-repot lagi seperti di paruh pertama film, di mana mereka begitu detail membangun posisi KH Hasyim Asy’ari di tengah konstelasi politik perang kemerdekaan. Anehnya, semenjak adegan diskusi itu, apapun yang berkaitan dengan KH Hasyim Asy’ari ditempuh dengan jalan pintas.Alhasil, pembentukan Laskar Hizbullah, peristiwa yang melatari Resolusi Jihad, digambarkan terjadi begitu saja. KH Wahid Hasyim (Agus Kuncoro) bertanya pada ayahnya soal sikap terkait Heiho, dan KH Hasyim Asy’ari menjawab langsung di tempat, tanpa ada diskusi dengan para pemuka agama lainnya. Mana proses yang menjadikan KH Hasyim Asy’ari pada titik kesimpulan kalau perjuangan fisik adalah jalan yang harus ditempuh? Sebelumnya, perbedaan pendapat beliau dengan Shumbhu disorot. Kenapa sorotan serupa tidak terjadi ketika beliau merumuskan sebuah sikap dan mengambail keputusan penting bersama rekan-rekan seperjuangannya?
Bisa dipahami Sang Kiai dalam judul film ini merujuk pada satu orang saja dan orang itu adalah KH Hasyim Asy’ari. Bisa dipahami juga kalau beliau merupakan sosok yang teramat penting dalam perjuangan kemerdekaan. Tapi tidak tepat rasanya apabila pembuat film begitu saja mensakralkan sosok KH Hasyim Asy’ari dengan menafikan proses dialog beliau dan rekan-rekan sejawatnya. Bahkan kritik Harun terhadap beliau dilawan Abdi dengan argumen “kita orang biasa tidak bisa memahami pemikiran pemimpin”.
Setekun-tekunnya KH Hasyim Asy’ari beribadah, beliau tetaplah seorang manusia yang tidak bisa lepas dari sesamanya. Bukannya mau mempertanyakan otentisitas KH Hasyim Asy’ari, tapi cara penulisan sejarah yang begitu terpusat ke satu tokoh juga sama tidak baiknya dengan glorifikasi perjuangan fisik yang terjadi di film Indonesia selama ini. Bagaimanapun juga pendirian politik beliau tidak serta merta muncul begitu saja. Ideologi adalah hasil dari tempaan zaman serta percakapan bersama sewaktu perjuangan, dan pembuat film bukannya tidak sadar akan hal ini. Kalau keputusan yang ia ambil akan berpengaruh ke orang banyak, kenapa proses pengambilan keputusannya hanya digambarkan dalam pandangan satu orang saja? Bukankah penonton akan lebih bisa mempercayai pemikiran beliau di saat pemikirannya dibenturkan dengan pemikiran orang lain?
Andai saja Rako Prijanto dan kawan-kawan tidak kebelet ingin memukau penonton dengan adegan-adegan perang yang membahana, benang merah KH Hasyim Asy’ari akan terjaga utuh hingga akhir film. Pembangunan sosok beliau bisa lebih tepat pada konteks zamannya, tidak seperti impuls pribadi semata. Ini patut jadi catatan tersendiri bagi film-film kita yang bertema sejarah ke depannya, entah yang mengangkat pemuka agama, mantan presiden, diplomat, sastrawan, siapapun. Keutuhan perlu dikedepankan. Setiap tokoh perlu ditempatkan sesuai dengan takarannya sehingga tidak mengubur kelompok serta konstelasi politik yang ada di sekitarnya. Masyarakat kita sekarang tidak hanya butuh perekonomian yang baik, tapi juga ingatan yang sehat.