Trivia menarik tentang #republiktwitter: inilah film pertama di muka bumi yang mengangkat Twitter, dari salah satu negara lima besar pengguna terbesarnya di dunia. Relevansi sosial? Ada potensi. Jalan menuju ke sana sebenarnya diretas dengan baik oleh Kuntz Agus sebagai sutradara dan ES Ito sebagai penulis naskah. Protagonis film digambarkan sedemikian rupa sehingga ia mewakili mayoritas pengguna Twitter (atau media sosial populer lainnya) di Indonesia: kelas menengah dan berusia di antara 17-25 tahun.
Namanya Sukmo (Abimana Aryasatya), mahasiswa tingkat akhir di Jogja. Karena seorang gadis kenalan di linimasa, Hanum (Laura Basuki), ia nekat pergi ke ibukota bersama teman baiknya, Andre (Ben Kasyafani). Sesampainya di Jakarta, ia harus berhadapan dengan realita: Hanum ternyata sudah punya pasangan, atau setidaknya itu ia tangkap saat mengamati dari jauh. Perempuaan pujaannya duduk semeja dengan seorang laki-laki berpakaian necis. Pada momen itulah, Sukmo menyadari bahwa cinta di linimasa belum tentu bisa diterjemahkan ke realita.
Sejumlah pencitraan pun dikerahkan Sukmo. Berkat kepiawaiannya mengolah 140 karakter di linimasa, Sukmo ditawari kerja oleh Belo (Edi Oglek), pemilik warnet, sebagai pengurus akun Twitter pejabat dan selebriti. Ia mengaku ke temannya kalau ia bekerja sebagai "konsultan komunikasi". Penghasilan dari pekerjaannya tersebut membuat Sukmo cukup percaya diri untuk bertemu Hanum. Kali ini gantian Hanum yang kecewa. Sukmo yang Hanum bayangkan di linimasa tak serapih Sukmo yang ia temui di dunia nyata, atau setidaknya itu yang ia tangkap ketika melihat Sukmo berpakaian modis ala muda-mudi ibukota.
Identitas, Linimasa, dan Politik Praktis
Hikayat Sukmo dan Hanum mengerucut pada satu hal, yakni cairnya identitas di jaringan media sosial. Di level personal, Hanum dan Sukmo mendapati gambaran yang berbeda satu sama lain. Di level yang lebih luas, pencitraan seorang individu bisa jadi hanyalah bentukan individu lain, seperti yang tercermin dari pekerjaan Sukmo sebagai pengurus akun Twitter. Dari sini terdefinisikan dunia ilusi yang dijalani oleh generasi sekarang—"generasi menunduk" kata Andre—yang lebih asyik dengan layar di depan matanya ketimbang orang di sekitarnya.
Pendefinisian generasi yang dilakukan pembuat film #republiktwitter sekiranya adalah modal yang baik. Perkembangan selanjutnya yang sayangnya kebablasan. Pembuat film mengaitkan dikotomi realita-linimasa dengan konspirasi politik yang melibatkan Kemal (Tio Pakusadewo), konsultan komunikasi profesional, dan Arif Cahyadi (Leroy Osmani), pengusaha kelas atas. Melalui Belo, Kemal membayar Sukmo untuk mengedarkan nama Arif di linimasa sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Targetnya: dalam dua hari, Arif Cahyadi harus jadi trending topic di Twitter. Hanum, yang baru memulai karier di jurnalisme, mengendus potensi berita di balik ini semua.
Kenapa kebablasan? Karena perkembangan plot #republiktwitter ini berdasar pada imajinasi tentang Indonesia yang realita sehari-harinya terpengaruh oleh gejolak linimasa semata. Dalam film, tidak ada referensi visual yang menunjukkan kalau perubahan turut digalakkan lewat tindakan di lapangan. Semuanya terjadi di linimasa. Seakan-akan trending topic di Twitter sudah menjadi modal yang cukup untuk berpolitik praktis. Konsekuensinya, kegagalan di ranah ini juga akan terasa seperti kekalahan mutlak, tanpa ada cara lain untuk memperbaikinya. Pandangan tersebut dirangkum oleh Kemal dalam sebuah kalimat yang memorable: "Sekarang ini, suara rakyat itu suara Twitter!"
Pertanyaannya kemudian: rakyat yang mana? Sebanyak-banyaknya ia digunakan di negeri ini, Twitter belumlah cukup untuk mewakili suara rakyat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pengguna media sosial di Indonesia mayoritas adalah anak muda dan kelas menengah. Apa yang terjadi di linimasa kemungkinan besar akan tetap berada di linimasa. Penggunaan Twitter di Indonesia masihlah terlalu banal untuk sampai pada tataran politik praktis. Paling-paling puncaknya twitwar antarselebritis.
Kalaupun kita mengubah sedikit kerangka pikir, dan menjadikan Twitter sebagai perwakilan media sosial secara umum, skenario yang diajukan #republiktwitter tetaplah terasa terlalu utopis. Betul, dalam beberapa kesempatan, internet terbukti bisa menjadi pemicu aktivisme sosial, macam gerakan Koin untuk Prita yang dipantik komunitas blogger 2009 silam. Kalau mau dirunut ke belakang lagi, peristiwa ’98 juga tak lepas dari persebaran informasi di luar media arus utama via mailing list.Namun, patut diingat kalau gerakan-gerakan tersebut membutuhkan kolaborasi beberapa elemen masyarakat sampai ia bisa memperoleh momentum.
Wacana Besar, Modal Kurang
Singkat kata: #republiktwitter menyasar wacana yang terlalu besar untuk modal yang ia miliki. Modal yang dimiliki pembuat film adalah kisah cinta antara Sukmo dan Hanum. Fokus pembuat film pada konspirasi politik skala besar di pertengahan akhir film menjadikan modal kisah cinta tadi tidak terlalu baik diterjemahkan sebagai benang merah cerita. Kisah cinta yang disodorkan di awal film cakupannya terlalu kecil, sementara konspirasi politik yang dikembangkan hingga akhir film skalanya terlalu besar. Pembuat film sayangnya tidak menyediakan jembatan yang cukup panjang di antara keduanya.
Buktinya dapat ditemukan sepanjang film. Hanya ada empat tokoh yang terdefinisikan dengan baik: Sukmo, Hanum, Belo, dan Kemal. Keempatnya berkaitan dengan dua konflik utama film, dan terus-menerus tampil sebagai pengatur alur cerita. Tokoh-tokoh lainnya sebenarnya masih punya hubungan dengan konflik film, namun kemunculannya dalam cerita tidak terlalu fungsional. Konsekuensinya, banyak tokoh pendukung yang tidak terbangun dengan baik. Andre dan pacarnya muncul sekali-kali, dan lebih sering sebagai comedy relief. Rekan kerja Sukmo, total berjumlah tujuh orang, juga seperti tidak punya fungsi lain kecuali memenuhi warnet milik Belo. Salah satunya adalah Nuril (diperankan oleh Tiga Setia Gara) yang sepanjang film hanya memandangi Sukmo dan berlagak seksi.
Tokoh-tokoh pendukung ini sejatinya adalah potensi yang kurang tergarap. Mereka adalah kelompok anak muda yang kehidupannya lebih mendapat pengaruh langsung dari Twitter, ketimbang mereka yang ada di atas struktur kuasa sana. Anak-anak muda ini yang seharusnya menjadi jembatan antara konflik personal dan sosial dalam film. Presedennya sudah ada di The Social Network dan I Know What You Did on Facebook, dua film yang melibatkan media sosial sebagai elemen vital cerita. Penuturan kedua film tersebut berangkat dari konflik pribadi protagonis anak muda, kemudian berkembang ke kawanannya sesama anak muda. Andai saja pembuat film lebih melibatkan sejawat Hanum dan Sukmo dalam cerita, #republiktwitter akan menjadi film yang lebih mengena untuk kondisi masyarakat Indonesia.