Film omnibus adalah perkara keragaman, baik keragaman penuturan maupun kreator. Satu hal yang sama dari setiap omnibus adalah durasi cerita. Masing-masing segmen dalam suatu omnibus haruslah pendek, dan durasi yang pendek ini tentunya punya tuntutan penceritaan sendiri. Jumlah tokoh sebisa mungkin diminimalisir. Waktu yang tersedia tak terlalu banyak untuk mendalami satu tokoh, alih-alih melakonkan kisah banyak tokoh. Konflik cerita juga diupayakan sederhana, dalam arti komplikasinya tak melebar ke mana-mana sehingga setidaknya ada satu benang merah dalam cerita. Sebuah aksioma yang beredar di kalangan sineas film pendek: “Orang boleh jalan kaki dalam film panjang. Dalam film pendek, ia harus lari.”
3Sum tersandung pada pemanfaatan durasi pendek ini. Ketiga segmen dalam omnibus ini tak ubahnya seperti cangkir teh diisi air segalon. Durasi masing-masing segmen tak lebih dari setengah jam, sementara sineas lebih mementingkan efek kejut, seram, lucu, dan haru. Konsekuensinya, keutuhan penuturan jadi terabaikan. Film banyak bercabang entah ke mana, mengaburkan inti cerita.
Gejala-gejala ini sudah nampak sejak segmen pertama. Insomnights garapan Witra Asliga dan Andri Cung bercerita tentang Morty (Winky Wiryawan) yang susah tidur akibat stress kerja, masalah keluarga, dan gagal nikah. Ditambah lagi rasa sakit di kaki Morty akibat tertabrak motor. Dalam usahanya memejamkan mata, Morty diganggu berbagai fenomena gaib, mulai dari semerbak wangi melati, suara isak tangis, hingga penampakan. Gangguan-gangguan gaib ini terus menerus ditampilkan, sembari film menjelajah ke sana ke mari. Terjadi perpindahan lintas waktu, dari momen Morty menangis di telepon karena batal nikah, melamar pacarnya di sebuah restoran, hingga pertemuan pertama mereka. Terjadi pula perpindahan lintas ruang, yang Morty lakoni dari dalam kamar ke kantor lalu kembali ke kamar.
Satu benang merah yang nampak dalam Insomnights adalah ketidakberdayaan Morty dalam ruang tertutup. Semua gangguan gaib terjadi dalam kamar Morty, sementara sang protagonis sedang kesulitan jalan. Film dibuka dengan kondisi ini, ditutup pula dengan kondisi ini. Benang merah ini sayangnya koyak akibat penyusunan cerita yang tidak strategis. Dengan menunjukkan pergerakan ke luar kamar Morty, pembuat film malah menegasikan sakit kaki yang dialami Morty. Kalau lukanya ternyata tidak semenggangu itu, kenapa harus terus-menerus ditekankan? Kalau Morty masih bisa keluar rumah, menyetir mobil, dan kerja, lantas kenapa Morty tidak keluar kamar saja ketika gangguan gaib menyerbu? Keputusan Morty untuk tetap dalam kamar jadi terkesan mengada-ada, padahal kondisi klaustrofobik itu yang mengikat keseluruhan Insomnights.
Cinta semalam
Segmen berikutnya, Rawa Kucing,juga kurang cermat tatanan penuturannya. Segmen garapan Andri Cung ini berlatar di lingkungan Cina Benteng, tentang cinta semalam Ayin (Aline Adita) dan Welly (Natalius Chendana) yang ternyata berdampak panjang.
Pembuat film memilih untuk berlama-lama pada kecanggungan Welly saat datang ke rumah Ayin. Kamera menyorot dia ditelanjangi dan digoda oleh teman-teman Ayin. Pembuat film juga banyak menghabiskan waktu menjelajahi latar belakang Ayin dan Welly. Ayin datang dari keluarga bermasalah. Ia tinggal di rumah warisan bapaknya, walau sudah memutus hubungan dengan beliau. Kakak Ayin menganggap adiknya durhaka, dan berusaha merebut rumah yang ia tinggali. Sementara itu, Welly adalah pemuda gagu yang baru datang dari desa. Ia diberi pekerjaan menjadi gigolo oleh mucikari setempat. Tugas pertamanya adalah melayani Ayin di malam ulangtahunnya. Welly takut tapi tak punya pilihan lain.
Dalam durasi yang lebih panjang, cerita Rawa Kucing bisa jadi akan lebih bisa bernafas. Terlihat, setelah pertengahan segmen, pembuat film seperti kehilangan ruang untuk berkreasi. Ia hanya sempat menuntaskan garis cerita Ayin, sementara Welly dikesampingkan sampai akhirnya tiba-tiba muncul sebagai solusi instan cerita. Tidak jelas bagaimana nasib Welly setelah malam itu di rumah Ayin. Tidak jelas juga bagaimana Welly bisa berada di pasar, tempat Ayin mengkais-kais sesuap nasi setelah rumahnya direbut sang kakak. Semuanya serba kebetulan, serba dipaksakan.
Segmen penutup omnibus, Impromptu karya William Chandra, bisa dibilang yang paling utuh. Elemen-elemen cerita yang dimunculkan di awal segmen menemukan keterkaitannya di akhir. Ceritanya tentang pembunuhan Ali Ferzhat (Joko Anwar), seorang politikus yang bertekad memberantas korupsi di sebuah kota megapolitan yang dekaden. Tanpa bertele-tele, pembuat film langsung menyodorkan potret dekadensi di awal film: pemerkosaan seorang perempuan yang dilakukan suatu regu polisi. Kelompok yang sama menjadi lawan para protagonis, sepasang pembunuh bayaran yang diperankan Hannah Al Rashid dan Dimas Argoebie, di tengah perjalanan mereka menghabisi Ali Ferzhat.
Masalah segmen ini serupa dengan segmen pembuka 3Sum: penyusunan cerita yang kurang strategis. Mayoritas durasi dialokasikan untuk adegan baku hantam antara para protagonis dengan regu polisi korup, sebagian lainnya didedikasikan untuk jotos-jotosan menjelang pembunuhan Ali Ferzhat. Sementara itu, posisi masing-masing tokoh dalam konteks cerita tidak pernah dijelaskan. Siapakah para polisi korup ini? Apakah mereka ada koneksi dengan Ali Ferzhat atau memang cuma kebetulan papasan dengan para pembunuh bayaran? Apa pula kepentingan para protagonis membunuh sang politikus? Bekerja untuk siapa mereka sebenarnya? Apakah sang politikus benar bersih atau hanya kedok? Lantas, kenapa ia harus dibunuh? Informasi-informasi dasar ini absen.
Nampaknya ada proses kreatif yang belum tuntas. Tidak hanya Impromptu, tapi juga segmen-segmen lainnya dalam 3Sum. Ketiga segmen masihlah berupa rentetan kejadian sensasional, tanpa ada alasan dan motivasi yang jelas di balik kejadian-kejadian tersebut. Catatan khusus perlu dialamatkan pada teknis 3Sum. Banyak sekali gambar yang tidak fokus. Sekali-dua kali masih bisa dimaklumi, namun ketidakfokusan gambar ini berulang di sepanjang omnibus, beberapa bahkan terjadi di adegan-adegan yang terbilang vital.