Cinta Brontosaurus mengingatkan akan komedi Woody Allen. Kegagalan cinta pribadi diolok-olok, dan bersamaan dengan itu pribadi yang melakoni. Pesona Raditya Dika (berperan sebagai dirinya sendiri) jadi jualan mumpuni di sini: lelaki muda, canggung di hadapan lawan jenis, seringkali melantur setiap diajak bicara. Dari awal film, kita sudah mendapati bagaimana ia sudah mengalami penolakan sejak usia dini. “Mau nggak jadi pacar gue?” tanya Dika kecil pada teman sekolahnya. “Najis lo,” begitu jawaban yang ia terima.
Cinta Brontosaurus mengingatkan akan komedi Warkop DKI. Apapun bisa disambung-sambungkan demi memancing tawa. Dalam film-film Warkop DKI, tak peduli apa ceritanya, yang penting ada perempuan cantik. Dalam Cinta Brontosaurus, tak peduli apa ceritanya, yang penting ada perempuan cantik. Kesannya: tak ada yang lebih penting di dunia ini daripada perempuan, perempuan, perempuan, dan birahi lelaki. Sepanjang film yang kita dapati adalah galeri patah hati Dika, mulai dari putus karena pacarnya merasa kurang diperhatikan, gagal kencan karena teman kencan mendadak melahirkan, hingga dianggap lebih rendah daripada monyet peliharaan orang tua pacar. Jangan heran. Dalam Cinta Brontosaurus, apapun mungkin, asal berhubungan dengan perempuan.
Cinta Brontosaurus mengingatkan akan mata Fajar Nugros yang liar. Ia tahu bagaimana caranya membuat adegan yang berkesan secara visual. Dalam Cinta di Saku Celana, film Nugros sebelumnya, kita mendapati seorang pekerja pos yang beraksi menggebuki preman dengan palu layaknya Oh Dae-su dalam Oldboy. Dalam Cinta Brontosaurus, kita mendapati Dika dan Jessica (Eriska Rein) pacaran di atas pom bensin, jenis kencan yang sebenarnya tidak logis tapi belum pernah kita lihat sebelumnya di film Indonesia. Ada pula adegan ikonik lainnya, yakni ketika Dika dibonceng agennya, Kosasih (Soleh Solihun), naik motor malam-malam. Kosasih pakai handuk pink motif bunga-bunga.
Cinta Brontosarus mengingatkan akan permasalahan film-film Nugros: koherensi. Film-filmnya tersusun atas momen-momen yang mencolok secara visual, tapi tidak jelas dasarnya apa. Cinta Brontosaurus sebenarnya berada di posisi unik. Ceritanya tidak butuh koherensi. Justru karena ia terdiri dari kepingan-kepingan guyonan, kita bisa paham kalau cinta itu banal karena punya masa kadaluarsanya, seperti yang disuarakan Raditya Dika sepanjang film. Ironisnya, pembuat film seperti terbebani untuk memberi pesan moral untuk mengikat semua yang dialami Dika, bahwasanya “sayang tidak butuh alasan” dan “cinta pasti kadaluarsa, yang penting bagaimana kita menerima pasangan”. Pesan-pesan ini entah sudah diulang berapa kali dalam sejarah sinema dunia, mengganggu ritme film, dan tidak menambah apa-apa bagi tumbuh kembang protagonis maupun nilai cerita.
Cinta Brontosaurus mengingatkan akan klise-klise dalam film komedi-roman Indonesia. Lelaki bisa berbuat salah, tapi perempuan seakan-akan tak punya reaksi lain selain mengambek, mata melotot, bentak-bentak. Perempuan juga seperti tak punya fungsi dalam dunia ini, kecuali salonan, belanja berkantong-kantong, dan menjadikan pacarnya kuli panggul belanjaan. Ternyata bukan cinta saja yang bisa kadaluarsa. Film juga.