Sayang sekali Cinta Suci Zahrana memasang standar yang terlalu tinggi bagi dirinya sendiri. Ada kata “suci” di judulnya, sementara cerita filmnya tentang pencarian jodoh. Pak Munajat (Amoroso Katamsi) khawatir anaknya, Zahrana (Meyda Sefira), terlalu asyik mengejar karier akademis sampai-sampai lupa mengejar jodoh. Padahal, jantung Pak Munajat sudah tak lagi sehat, dan tak ada keinginannya sebelum meninggalkan dunia kecuali melihat anaknya naik pelaminan. Dihadapkan dengan fakta ini, Zahrana bersumpah untuk sesegera mungkin mencari pasangan. Tak perlu kaya, tak perlu juga orang terpandang, yang penting soleh.
Kesucian niat Zahrana sayangnya kandas di keputusan pembuat film merekrut Miller Khan untuk memerankan Hasan. Terlalu mudah bagi penonton untuk menebak bahwa Hasan yang akan menikahi Zahrana. Dia adalah laki-laki pertama yang muncul dalam film dan, dalam kesempatan itu, ia disajikan begitu “matang” di hadapan penonton. Dia muda, tahu tata krama, hidup berkecukupan, dan mengucapkan “Insya Allah” sebelum mengungkapkan harapan. Sejak awal film, dia sudah memenuhi daftar keinginan Zahrana.
Bandingkan dengan kompetitor Hasan. Ada Sukarman (Rahman Yacob), dekan kampus tempat Zahrana mengajar, yang tua dan manipulatif. Tindakan pertama dia dalam film adalah melamar Zahrana. Selang beberapa adegan, dia megancam akan memecat Zahrana kalau ia sampai berani menolak tawaran. Ada juga seorang pengusaha bengkel yang kira-kira sama tuanya dan sama manipulatifnya dengan Sukarman. Dia sudah menikah tiga kali dan rela menawarkan mobilnya secara cuma-cuma pada Zahrana, asalkan ia punya kesempatan untuk mendekatinya. Semua pria ini dan kebobrokan moralnya masing-masing tak layak berada di satu film bersama tokoh semulia Hasan.
Satu-satunya pria yang mungkin bisa menyaingi Hasan adalah Rachmad (Kholidi Asadil Alam). Meski miskin dan menyambung hidup seadanya dengan bekerja sebagai pedagang kerupuk keliling, Rachmad punya dua kesamaan dengan Hasan: muda dan menarik perhatian Zahrana. Pada titik ini, rasanya bisa disimpulkan kalau kesucian versi Zahrana adalah perkara usia, bukan ketaatan pada waktu ibadah dan prinsip agama.
Satu kebiasaan film-film melodrama Islam pasca Ayat-ayat Cinta: menampilkan tokoh-tokoh yang soleh, tapi tak mau repot menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh tersebut bisa menyeleraskan isi hati dan kepalanya dengan surga. Hampir tak nampak adanya pergulatan iman, walau kutipan-kutipan kitab suci deras setia mengiringi perkembangan cerita film. Tak heran kalau film-film melodrama Islam di Indonesia sekarang terasa nyaris seragam: karikatural dan didaktis. Cinta Suci Zahrana tak terkecuali.