Tinjauan Ironi Film Salah Judul

4/10 Adrian Jonathan Pasaribu 11-01-2012

Ketika nama seseorang menjadi judul sebuah film, bisa diduga ia memegang peranan signifikan dalam cerita. Ummi Aminah tidak begitu. Penuturan film panjang keempat Aditya Gumay tersebut menyiratkan kalau Ummi Aminah mungkin salah judul.

Si pemilik nama (diperankan oleh Nani Widjaja) adalah seorang ustadzah tersohor yang rutin khotbah di masjid-masjid. Ia punya tujuh anak. Dua yang berasal dari suami pertamanya: Umar (Gatot Brajamusti) dan Aisyah (Cahya Kamila). Kelima lainnya berasal dari Abah (Rasyid Karim), suami keduanya: Zarika (Paramitha Rusady), Zainal (Ali Zainal), Zubaidah (Genta Windi), Zidan (Ruben Onsu), dan Ziah (Zee Zee Shahab). Beberapa dari mereka sudah berpasangan atau berkeluarga. Jadi, kalau dihitung-hitung, ada 12-13 tokoh yang masalahnya harus penonton ikuti dari awal hingga akhir film.

Konyol mungkin kedengarannya, namun terlalu banyak anak bisa jadi adalah satu-satunya masalah hidup Ummi Aminah. Pasalnya, dia sudah mencapai taraf mapan ketika segala kebutuhan primernya sudah terpenuhi. Bandingkan dengan anak-anaknya yang belum semuanya mapan. Ini jelas menjadi masalah tersendiri bagi Ummi dan Abah. Mereka berdua bisa hidup secukupnya, sementara banyak dari anak-anaknya yang belum punya jaminan ekonomi. Tidak heran kalau kemudian kebutuhan akan uang menjadi corak yang terus berulang sepanjang film.

Bagi anak-anak yang terhitung mapan, ada semacam masalah eksistensial yang harus diselesaikan dengan pengencangan kembali ikatan keluarga. Zarika, misalnya, membuat Ummi murka karena berhubungan dengan laki-laki beristri. "Pokoknya Ummi nggakridho dunia akhirat," begitu respons sang ibu. Ada juga Zidan yang merasa dirinya tak diakui orang tuanya, karena dia bekerja di salon dan dianggap tak pantas karena berlaku seperti perempuan.

Secara filmis, terlalu banyak anak ini menghasilkan rentetan konflik yang tak banyak menyisakan ruang bagi pembuat film. Logika sederhananya begini: konflik dalam cerita memerlukan waktu tersendiri untuk diselesaikan. Semakin banyak konflik, semakin banyak pula waktu yang diperlukan. Durasi Ummi Aminah sendiri 100 menit. Di atas kertas, pembuat film rata-rata punya delapan menit untuk memperkenalkan, membangun, serta menyelesaikan masalah. Kenyataannya jelas tidak sematematis itu. Ada masalah yang diberi porsi lebih, ada yang dimampatkan, ada juga yang selesai tiba-tiba. Singkat kata: plot film tidak tergarap dengan matang dan seimbang.

Konsekuensi lainnya: perkembangan karakter para penghuni cerita jadi terhambat. Perihal anak-anak Ummi Aminah, penonton hanya mendapat secuil informasi dari konflik-konflik yang mereka lalui. Masalahnya, seperti yang disebutkan sebelumnya, mayoritas konflik dalam Ummi Aminah dibangun di atas corak yang serupa: kebutuhan akan uang. Tokoh boleh banyak, namun rasa yang disajikan itu-itu saja. Satu-satunya pembeda adalah berapa besar uang yang dibutuhkan, dan bagaimana uang tersebut diusahakan.

Tokoh Ummi sendiri juga jadi tidak terjelaskan signifikansinya. Ini ironis. Namanya terpampang sebagai judul film, namun penonton tidak punya banyak kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Informasi yang penonton ketahui tentang dia: punya banyak anak dan statusnya sebagai ustadzah tersohor. Hal pertama secara gamblang terjelaskan dari banyaknya porsi film yang diambil anak-anaknya, sementara porsi untuk dirinya tidak proporsional untuk seorang tokoh sentral. Hal kedua yang tidak terjelaskan. Penonton mengetahui ketenaran dirinya dari perlakuan tokoh-tokoh lainnya padanya, serta sejumlah adegan khotbah di masjid. Selain itu tak ada.

Masalahnya begini: kualitas-kualitas yang memungkinkan Ummi berada di posisi yang ia tempati tak terjelaskan dengan baik. Sebagai tokoh sentral, Ummi digambarkan terlalu pasif, terlalu terputus dari segala problematika yang mengitarinya. Relasinya ke sekitarnya ditandai oleh luapan-luapan emosi, yang sebenarnya malah kontradiktif dengan pencitraan ustadzah yang didengarkan oleh ribuan jemaat. Tidak tampak kematangan seseorang yang sudah ditempa oleh umur dan pengalaman hidup. Ia berjalan di jalurnya sendiri, sementara dunia di sekitarnya mencoba berdiri di kaki sendiri.