9 Summers 10 Autumns memenuhi segala syarat untuk menjadi bacaan laris. Catatan perjalanan hidup Iwan Setyawan ini, dari pelajar miskin di Batu sampai jadi direktur sebuah perusahaan di New York, dituturkan dalam kerangka zero-to-hero dan bernuansa kosmopolit. Susahnya lokal, suksesnya internasional. Cerita jenis ini yang beberapa tahun belakangan digemari pembaca kita; sebut saja tetralogi Andrea Hirata, Negeri 5 Menara, biografi Merry Riana. Semuanya best seller dan semuanya berproses dalam garis pikir yang mirip-mirip: etos kerja dulu yang diperbaiki, yang lain otomatis mengikuti.
Tak ada yang salah dengan garis pikir ini. Toh, orang-orang ini punya bukti konkret dari usaha yang sudah mereka kerahkan untuk memperbaiki kualitas hidup. Perjuangan mereka layak diapresiasi sebesar-besarnya, dan apresiasi itu banyak dilakukan oleh para pegiat film. Masalahnya, setiap bentuk apresiasi punya tekanannya sendiri-sendiri. Yang belakangan getol dikhalayakkan dalam film Indonesia, tepatnya pasca Laskar Pelangi, adalah kacamata kuda tentang kesuksesan. Muara keberhasilan didangkalkan sebagai kejeniusan pribadi semata, tanpa memperhitungkan faktor-faktor di luar diri, macam pendidikan dan kerjasama dengan orang-orang sekitar. Barometernya sering juga tak kalah sempit. Keberhasilan baru dianggap sah kalau bisa sampai negeri orang, bahkan untuk sekadar singgah studi, namun kontribusi dalam negeri sendiri malah luput ditekankan.
Ini mengkhawatirkan. Sukarno dulu mewanti-wanti kita agar tidak menjadi bangsa bermental tempe; yang perlu diwanti-wanti sekarang adalah agar pembuat film kita tidak bermental template. Bagusnya 9 Summers 10 Autumns tidak terjebak dalam karikatur yang sudah-sudah.
Dalam mengadaptasi kisah Iwan Setyawan ke layar lebar, Ifa Isfansyah dan kawan-kawan memberi porsi yang besar bagi keluarga Iwan. Wacana yang paling kentara: kesuksesan Iwan melanglang buana tak lepas dari pengorbanan keluarganya. Wacana yang menyelip manis di balik permukaan: keberhasilan Iwan memperbaiki kualitas hidup dimungkinkan oleh pendidikan yang layak. Adalah ibu Iwan (diperankan Dewi Irawan) yang bersikukuh agar putra satu-satunya itu untuk terus sekolah, walau kondisi keuangan keluarga morat-marit. Ia senantiasa menemani langkah Iwan menempuh jenjang pendidikan, dari hari pertama masuk SD sampai hari pertama kuliah di Institut Pertanian Bogor.
Di Antara Masa Lalu dan Masa Sekarang
Dalam penuturannya, pembuat film menolak kerangka cerita zero-to-hero. Jalan yang mereka tempuh adalah dengan merupa 9 Summers 10 Autumns bagai kenangan, dan kenangan tak ada yang berbentuk garis lurus, selalu non-linear. Mengenang adalah nama lain dari menulis ulang, membingkai kembali momen-momen masa lampau dengan perenungan masa sekarang. Dalam 9 Summers 10 Autumns, New York atau masa sekarang hanya menjadi pemantik. Apinya ada di Batu, di mana ia menambatkan rindu walau kenangan di sana begitu getir. Cerita bolak-balik di antaranya.
Gambar pertama yang penonton lihat adalah kereta bawah tanah New York. Iwan (Ihsan Tarore) dipalak oleh seorang asing; seluruh uangnya dirampas. Ia hanya bisa meratap, sembari mencoba untuk berdiri kembali dan berjalan keluar kereta. “Aku pernah terjatuh, ketakutan, bahkan untuk bermimpi...” terdengar narasi suara Iwan, mengiringi langkah kakinya di kota tersohor itu. Film kemudian pindah ke kelahiran Iwan. Melalui serangkaian adegan, ditandai dengan coretan tahun di dinding, kita melihat Iwan dari bayi sampai masuk SD. Di usia semuda itu, Iwan sudah dibebani harapan sang ayah (Alex Komang) untuk menjadi pribadi yang tangguh, berani, dan mampu menanggung kebutuhan keluarga.
Strategi penuturan non-linear ini berdampak ganda. Pertama, tercipta penataan yang apik atas kekayaan emosional perjalanan protagonis kita. Iwan Setyawan dikisahkan kesulitan memenuhi harapan ayahnya. Ketika diributkan seorang tetangga yang anaknya bertengkar dengan Iwan, sang ayah menantang putra tunggalnya untuk menyelesaikan masalahnya secara jantan. Iwan memilih untuk berlindung di balik ketiak ibunya. Ketika diminta untuk membantu reparasi angkot, yang sehari-hari digunakan si ayah untuk mencari nafkah, Iwan malah lari ke dapur untuk membantu ibu dan kakak-adik perempuannya. Ayah Iwan kecewa, bahkan murka dan Iwan tak bisa melupakan kegagalannya ini sampai ia dewasa.
Kedua, perang batin yang dialami protagonis menjaga perhatian penonton pada tanah kelahiran Iwan. Artinya, 9 Summers 10 Autumns turutmenjawab kekhawatiran akan pemujaan luar negeri yang berlebihan, seperti yang dipaparkan di awal tulisan. Iwan Setyawan masih ingat rumah, dan pergulatan akan hal ini dengan cerdik digambarkan pembuat film lewat sejumlah pertemuan imajiner antara Iwan kecil dan Iwan dewasa. Dalam salah satu pertemuan, Iwan kecil bertanya, “Kalau sudah sampai sini, kamu mau cari apa lagi?” Iwan dewasa hanya bisa termenung.
Perenungan akan pulang ini patut diapresiasi. Kisah Iwan sejatinya tidaklah unik. Terlihat dari banyaknya cerita sejenis yang dibukukan maupun difilmkan dalam tahun-tahun belakangan ini. Terlihat juga dari fakta bahwa tidak sedikit dari warga kita, terutama dari golongan ekonomi bawah, yang sukses mendapat beasiswa atau kerja di luar negeri. Tantangan sesungguhnya berarti bukan keluar untuk mengejar hal-hal yang tidak bisa terpenuhi di negeri sendiri, tapi kembali pulang untuk mengusahakan bagaimana segala yang tak bisa dipenuhi itu terwujud di tanah sendiri. Bagi bangsa yang menjadikan mudik sebagai ritual tahunan, tidakkah sentimen ini terasa menohok?
Kemasan Tak Utuh
Konsep apik di balik 9 Summers 10 Autumns sayangnya tidak didukung dengan lakon yang yang utuh. Tampaknya begitu banyak ide yang ingin dimasukkan ketiga penulis naskahnya, tapi tidak cukup tempat atau tidak tertata secara strategis dalam 114 menit durasi film. Alhasil, perkembangan Iwan Setyawan sepanjang cerita terasa patah-patah. Penonton hanya mendapati ekses dari ketelatenan Iwan, tapi tidak halnya dengan proses yang ia lalui.
Ini terasa dalam dua momen penting film. Momen pertama, terjadi di tengah-tengah film, adalah saat Iwan memberi masukan ke warung pecel langganannya. Ia menjabarkan makanan apa saja yang biasa dipesan para pengunjung, bahkan dipilah berdasarkan gender. Ia juga merunut jumlah biaya yang mungkin dikeluarkan si pemilik warung, berdasarkan harga daging dan sayur-mayur di pasaran. Bermodalkan amatan dan catatan ini, Iwan menyarankan pemilik warung untuk menggratiskan lalapan sayur dan memperbanyak stok ikan lele. Selang beberapa adegan, si pemilik warung berterima kasih pada Iwan karena jumlah pelanggan membludak. Pertanyaannya: kapan amatan dan catatan ini dilakukan? Kapan pula penonton diberi informasi kalau Iwan punya tempat makan langganan?
Pertanyaan serupa patut ditanyakan ketika Iwan mendapat proyek penting dari bosnya, menjelang klimaks film. Kantor tempat Iwan bekerja sedang mendapat banyak proyek; Iwan mengajukan diri untuk diberi tanggung jawab lebih. Iwan pun dipanggil masuk ke kantor bosnya. Samar-samar terdengar penjelasan si bos akan pentingnya proyek penelitian yang akan Iwan kerjakan, tapi tidak diketahui apa sebenarnya yang diteliti. Selang beberapa adegan, Iwan kembali menghadap bosnya, menjelaskan kalau penjualan shampoo perusahaan klien bisa dioptimalkan dengan peragaman kemasan. Ia pun menjelaskan pola konsumsi shampoo di berbagai golongan ekonomi, merujuk keluarganya sebagai contoh golongan ekonomi bawah.
Sekali lagi: kapan amatan dan catatan ini dilakukan? Kapan pula penonton diberi informasi kalau ada pola tersendiri dalam penggunaan shampoo di keluarganya? Informasi itu tidak pernah ada saat film bertutur tentang keluarga Iwan, lalu tiba-tiba muncul begitu saja di penghujung film melalui sebuah percakapan telepon Iwan dengan orang-orang rumahnya.
Momen-momen ini penting karena menjelaskan esensi Iwan Setyawan sebagai tokoh cerita. Ia awas dan peduli dengan sekitarnya. Sikap ini yang menjadikannya sebagai pengolah statistik yang luar biasa. Atas dasar ini, kariernya dikisahkan melesat begitu pesat dalam film. Di ranah akademik, ia dianggap pembimbing skripsinya sebagai salah satu lulusan terbaik; di lingkungan kerja, ia sampai dipercayai menjadi direktur sebuah perusahaan di Amerika Serikat. Keduanya bukanlah prestasi main-main. Masalahnya, penonton tidak dibukakan pintu ke dalam pola pikir protagonis, tidak juga diberi banyak kesempatan untuk merasakan bagaimana sebenarnya Iwan Setyawan memandang sekitarnya. Penonton hanya diberi tahu hasil akhirnya.
Masalahnya lagi, menyebut 9 Summers 10 Autumns lebih banyak tell ketimbang show juga tidak sah. Film ini punya pembukaan yang begitu meyakinkan. Masa kecil Iwan, periode yang begitu menempa Iwan, diceritakan begitu detail. Bahkan terlalu detail. Ada peta yang menjelaskan momen-momen mana yang berdampak bagi tumbuh-kembang Iwan, yang didukung secara mumpuni oleh pemeranan Dewi Irawan dan Alex Komang sebagai orang tua protagonis. Sayangnya, kualitas serupa tidak kita temukan dalam penuturan perjalanan Iwan dewasa, fase yang tak kalah pentingnya dalam cerita.
Terlalu banyak sekrup longgar dalam kemasan 9 Summers 10 Autumns, yang sejatinya sudah dipikirkan dengan ketat di tingkat gagasan.