Sang saka punya kekuatan magis yang tak terkira dalam film-film kita. Naikkan bendera, rapikan barisan, beri hormat, lalu hilang semua masalah. Contoh paling segar adalah 5 cm yang merajai box-office tahun lalu. Setelah adegan tersohor itu, adegan upacara bendera di puncak Mahameru, semua konflik dalam cerita mendadak ketemu ujung pangkalnya. Yang hidup sendiri ketemu jodoh, yang seret rejeki menumpuk sukses, yang pecah telinga mendadak tak punya gangguan fisik, dan sebagainya. Setelah agama dan pesugihan, film Indonesia punya jimat yang sama saktinya bernama nasionalisme.
Hasduk Berpola, film terbaru Harris Nizam setelah Surat Kecil untuk Tuhan, bekerja dengan prinsip serupa. Judulnya boleh saja merujuk pada kain segitiga yang dikenakan di leher anggota pramuka, tapi obat mujarabnya tetaplah bendera. Adalah Budi (Bangkit Prasetyo), bocah Bojonegoro, yang menerima berkah sentimen kebangsaan ini. Masalah Budi sederhana. Ia tak punya cukup uang untuk membeli hasduk untuk ikut kegiatan pramuka di sekolahnya. Keluarganya terlampau melarat untuk membantunya. Bapaknya sudah tidak ada, ibunya bekerja di warung rawon dengan upah seadanya, dan kakeknya bekerja sebagai tukang tambal ban dengan upah yang tak lebih baik.
Perkara uang ini terus ditekankan pembuat film sampai pada tingkat mengada-ada. Awalnya, keluarga Budi ditampilkan kesulitan pangan. Setiap harinya mereka mengandalkan rawon sisa (yang seringkali hanya tinggal kuah) dari tempat kerja ibu Budi. Lalu muncul kabar bahwa kakek Budi tak bisa memperoleh uang pensiunan dari TNI, tempat ia mengabdi sewaktu perang kemerdekaan, akibat suatu masalah administrasi yang tak terjelaskan. Ketika Budi berhasil mengumpulkan uang yang cukup, dengan bekerja sebagai kuli panggul di pasar, harga hasduk tiba-tiba dinaikkan penjualnya dari 15.000 ke 18.000 tanpa alasan yang jelas.
Selang satu jam, masalah-masalah ini tak lagi penting. Fokus cerita mendadak berganti pada penyesalan masa lampau kakek Budi. Usut punya usut, sewaktu masih jadi tentara dulu, kakek Budi mendapat tugas untuk mengibarkan bendera di atas Hotel Majapahit, Surabaya. Melihat rekan-rekannya tewas diberondong peluru penjajah, kakek Budi sembunyi ketakutan. Bendera itu tak pernah dikibarkan di tempat semestinya. Budi menjadikan pengibaran bendera ini sebagai misi besarnya, yang ia sukses capai dengan bantuan kawan-kawan pramukanya, termasuk Kemal. Hasduk Berpola pun berakhir dengan kemenangan simbolik ini serta satu kutipan panjang tentang kecintaan pada negara. Masalah-masalah lain yang lebih konkrit dan mendesak, macam kemiskinan dan uang pensiun kakek Budi, tak lagi jadi soal.
Moralitas Janggal
Sebagai sebuah cerita, Hasduk Berpola jelas cacat dalam segi kesinambungan. Banyak elemen di awal film yang kemudian diabaikan dan ditimpa oleh elemen lain di akhir film. Sebagai film anak-anak, atau film yang mayoritas diperankan oleh anak-anak dan sepertinya ditujukan untuk kalangan yang sama, ada moralitas janggal yang lahir dari ketidaksinambungan naskah ini.
Budi bermula sebagai tokoh yang tidak mengundang simpati. Ia bengal dan gemar berkelahi. Ini tercermin dari motivasi Budi masuk pramuka. Dia tertantang untuk mengalahkan Kemal (Azriel Nurvito Nusantara), teman sekolahnya, yang sebelumnya mengalahkannya dalam adu renang di sungai. Ia juga egois. Pada satu kesempatan, ibu Budi pulang membawa rawon sisa yang tidak hanya kuah saja. Ada potongan daging di dalamnya dan banyak jumlahnya. Budi mengambil semua potongan daging itu, menguburnya di dalam nasi supaya tak terlihat oleh kakeknya yang kebetulan lewat. Ketika adiknya pulang dan menyambangi meja makan, Budi dengan sigap bersilat lidah, “Sama kaya kemarin-kemarin. Tinggal kuah saja.”
Apabila Hasduk Berpola diniatkan sebagai rangkaian pelajaran hidup terkait dengan pertumbuhan kedewasaan Budi, tidak jelas apa yang memantik perubahan dalam diri protagonis kita. Keluarga bisa jadi, mengingat adik Budi berkorban menggunting sprei Barbie kesayangannya untuk membuat hasduk bagi kakaknya. Ada pula kakek Budi yang secara haru-biru bercerita tentang ketakutannya saat perang. Namun pengaruh keluarga jadi terasa kabur karena hampir tidak adanya tatap muka yang berarti antara Budi dengan anggota keluarganya. Ia lebih banyak menghabiskan durasi film dengan teman-teman satu gengnya. Kegiatan pramuka juga diragukan, mengingat isinya tidak jauh-jauh dari adegan baris-berbaris, belajar mengikat simpul, serta perseteruan antara Budi dan Kemal.
Pengorbanan yang Budi lakukan juga terasa kosong. Ia merelakan uang hasil kerjanya pada seorang anak jalanan yang tertabrak motor, untuk biaya puskesmas, saat dia masih egois-egoisnya. Tak jelas kenapa ia mendadak bisa sebaik hati itu. Ia juga ragu mengembalikan dompet yang ia temukan di jalan, sampai akhirnya temannya turun tangan dan mengembalikan barang tersebut. Tidak jelas di titik mana Budi belajar bertanggungjawab.
Janggal jadinya ketika tiba-tiba muncul semangat nasionalistik yang menggebu-gebu dalam diri Budi untuk melanjutkan perjuangan kakeknya. Semakin janggal melihat orang-orang turut berdiri dan menghormati bendera, setelah melihat aksi Budi lewat siaran langsung di televisi. Kesannya, tidak apa-apa jadi anak bandel, yang penting cinta dengan negeri sendiri. Kecintaan pada negeri pun dimaknai lewat pengibaran dan penghormatan bendera belaka, tanpa ada kontribusi yang konkrit terhadap lingkungan sekitar.
Apa Adanya
Kita perlu berkaca pada diri kita sendiri. Sudah lebih dari enam puluh tahun kita merdeka, kenapa kecintaan negeri sendiri masih juga diekspresikan lewat hal-hal simbolik? Apakah kita begitu kecanduan dengan ilusi-ilusi nasionalistik? Atau kita selama ini terlalu dangkal dalam memahami nasionalisme?
Layaknya ibadah, nasionalisme tidak selalu dan tak harus terjadi dalam kegiatan-kegiatan yang ritualistik. Masih banyak kontribusi lain yang lebih konkret ketimbang menghormati bendera semata. Ini penting, mengingat dua tahun belakangan ini tema nasionalisme lebih banyak berkembang di film anak-anak. Kalau memang ingin menginspirasi tunas bangsa, marilah berhenti menengadah ke angkasa di mana sang saka berkibar, dan mulai melihat lingkungan sekitar dengan apa adanya. Orde Baru sudah lewat. Sudah bukan zamannya bermain propaganda.