Sebagai pembuat film, Monty Tiwa cukup kritis dalam menangani cerita rumah tangga. Dari film-filmnya, terlihat bagaimana keluarga sesungguhnya tidak ada yang berencana, berbeda dengan propaganda rezim terdahulu.
Dalam Maaf, Saya Menghamili Istri Anda(2007), Monty melekatkan konflik cerita dengan ranjang dan isi rahim. Yang disorot adalah landasan keluarga, di mana etnisitas bisa menjadi jaring pengaman maupun pemicu kekerasan. Dalam Get Married 3(2011), Monty menunjukkan bahwa keluarga Indonesia sejatinya adalah pion di antara keluarga-keluarga besar yang menaunginya. Konsep nuclear family diruntuhkan, konsep extended family dikedepankan secara jenaka. Terlihat bagaimana pasangan suami-istri selalu kelimpungan dengan intervensi orang tua mereka. Sulit mengharapkan adanya otonomi dalam keluarga Indonesia, di perkotaan sekalipun.
Dalam Test Pack, film adaptasi novel Ninit Yunita yang berjudul sama, Monty seperti mencuplik sekaligus memperbaharui materi-materi cerita yang ia jelajahi dulu. Konflik cerita lagi-lagi ada di isi rahim, atau dalam kasus ini, ketiadaan isi rahim. Rahmat (Reza Rahadian) dan Tata (Acha Septriasa), pasangan suami-istri muda nan urban, ingin sekali punya anak. Tujuh tahun sejak mereka mengucapkan janji setia di atas altar, tak kunjung jua keinginan mereka terkabulkan. Orangtua sudah gaduh di telepon, menagih cucu yang tak kunjung datang.
Sesuai anjuran dokter, Tata menjalani prosedur pembuahan in-vitro, yang melibatkan suntikan hormon untuk meningkatkan kesuburan. Bukannya melahirkan anak, prosedur ini malah melahirkan komplikasi dalam rumah tangga protagonis kita. Tata makin sulit diprediksi emosinya akibat pengaruh suntikan hormon. Rahmat mulai kewalahan. Sementara itu, Shinta (Renata Kusmanto) mendadak muncul lagi dalam kehidupan Rahmat. Dulu keduanya pernah pacaran. Kini mereka akrab lagi, karena Rahmat baru tahu kalau Shinta menanggung derita yang sama dengannya: kemandulan. Fakta ini yang Rahmat coba jaga dari istrinya.
Materi cerita Test Pack sesungguhnya membatasi imajinasi liar yang kerap muncul dalam film-film Monty. Get Married 3 dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda punya jumlah tokoh masif, yang memungkinkan Monty untuk bermain-main dengan kebetulan dan kekacauan situasional. Bidang visual pun bisa dipermainkan via montase untuk sesekali menyimpang dari jalan cerita. Wajar, keduanya adalah film komedi, di mana salah satu formulanya adalah tampil berlebihan. Test Pack adalah drama yang mencakup dinamika tiga tokoh saja, dalam ruang yang itu-itu saja, dengan konflik psikologis yang kalau salah dieksekusi bisa menjadi melodramatis. Semuanya harus pas dan Monty cukup telaten dalam menjaga takaran filmnya.
Test Pack secara konsisten menjaga agar emosi yang dihasilkan tak berlebihan. Di pembukaan film, ketika tokoh masih menimbang-nimbang kemungkinan punya anak, suasana terasa ringan, canda di sana-sini, tanpa memaksakan lawakan mendominasi penuturan. Ketika masalah mulai menumpuk, atmosfer film mulai terasa serius tanpa jatuh ke melankoli tak beralasan. Kuncinya ada di pengolahan gambar. Jarak antara kamera dan tokoh dijaga di medium shot. Hanya sesekali close up muncul sepanjang film, di momen-momen yang tepat pula. Salah satunya adalah saat Shinta mencukur Rahmat. Kamera diposisikan sejajar dengan dagu Rahmat, bibir Shinta tepat di sampingnya, berbicara tentang keintiman mereka yang tumbuh lagi setelah lama terpisah.
Kosa gambar yang padat medium shot ini mengakomodir kedekatan para tokoh di ruang-ruang tertutup. Tidak terlalu jauh, tidak terlalu dekat. Semua detail dan gestur pemain terpampang dengan jelas, tanpa ada satu pun yang dipaksakan menonjol dari lainnya. Selain itu, kosa gambar cukup ruang untuk menampilkan kemampuan akting para pemain, yang sesungguhnya esensial dalam film drama macam Test Pack. Bagusnya, Reza Rahadian dan Acha Septriasa pun juga tampil mumpuni di sini. Reza bisa tampil kalem dan tetap terasa kebingungan yang ia hadapi, sementara Acha Septriasa tampil meledak-ledak tanpa jatuh ke melodramatis. Faktanya, dengan konten cerita Test Pack yang sebenarnya tragis, air mata hanya diteteskan menjelang klimaks. Ada jalan terjal yang sudah ditempuh para tokoh sampai akhirnya air mata itu diteteskan.
Test Pack sayangnya tak luput dari pemanfaatan kebetulan untuk menggerakkan cerita, sekitar dua atau tiga kali. Bagusnya, pembuat film Test Pack menghormati hak manusia untuk hidup tidak dari cinta saja, tapi juga dari hal-hal lain di dunia ini. Keputusan yang diambil Rahmat, Tata, dan Shinta selalu dihadapkan pada profesi dan tuntutan dunia kerja mereka. Rahmat tak bisa berduka sendirian karena masalah istrinya. Ia berduka sembari ditemani panggilan telepon dari teman kantor yang kelimpungan kerja sendirian.
Terasa menyegarkan menonton Test Pack sekarang, ketika potret single parent dan keluarga tak komplit kian menjamur dalam film Indonesia. Test Pack adalah drama orang dewasa yang berusaha menjaga pernikahan di hadapan tantangan-tantangan yang ada, dengan penanganan yang dewasa pula.