Mika bicara tentang ketidaksempurnaan. Sejak awal film, penonton mendapati para protagonisnya menanggung keterbatasan fisik. Indi (Velove Vexia) divonis dokter mengidap skoliosis, Mika (Vino G Bastian) mengaku dirinya terjangkit virus HIV. Keduanya berkenalan di pinggir danau, tempat Indi berlibur bersama keluarganya. Terjalinlah sebuah kisah kasih remaja yang sebenarnya klise, namun unggul dalam pengerjaannya.
Kekuatan Mika adalah sikap dasar pembuat filmnya. Lasja F Susatyo tak ingin membenamkan Indi dan Mika dalam melankoli tak berkesudahan. Penyakit Mika memang berujung pada kematian, namun itu tidak dipahami sebagai tragedi di sini. Hal tersebut malah diperlakukan sebagai motivasi bagi kedua protagonis untuk sama-sama melampaui keterbatasannya.
Sikap dasar ini terlihat dari pilihan pembuat film untuk membangun chemistry antara Indi dan Mika, ketimbang berlama-lama mengeksploitasi air mata. Indi ingin sekali bisa menari. Mika membawanya ke rumah kenalannya, seorang guru tari, yang pernah patah tulang karena kecelakaan tapi tetap bersemangat untuk tetap menari. Indi ingin sekali bisa lari. Mika pun menggendongnya dalam suatu pelajaran olahraga, untuk adu lari bersama teman-teman sekelas Indi. Sangat jelas kenapa Indi begitu mencintai Mika: ia adalah satu-satunya orang yang mau menerima dirinya apa adanya dan rela memperjuangkan kebahagiannya. Begitu juga sebaliknya.
Poin ini penting apabila kita berkaca pada film-film Indonesia lainnya yang bertema sejenis, setidaknya yang beredar dua tahun belakangan ini. Kebanyakan film tersebut lebih senang berputar-putar dengan konsekuensi tragis dari suatu penyakit terminal. Konsekuensinya, narasi film jadi sangat berat pada drama mengharu-biru, baik yang dialami pasien maupun lingkaran terdekatnya. Lihat saja Surat Kecil untuk Tuhan atau L4 Lupus. Bagaimana kita bisa merasakan sedihnya kematian apabila kita tidak diberi kesempatan untuk memahami indahnya hidup? Mika memberikan kesempatan tersebut.
Bagusnya lagi, pembuat film tidak sampai terlalu meromantisir kisah kasih protagonisnya. Terlepas dari taruhan hidup-mati yang ada, hubungan Indi dan Mika tetaplah cinta remaja. Pembuat film cukup tahu diri bahwa cinta remaja itu remeh, dalam arti segalanya bisa berubah akibat suatu keputusan gegabah. Hubungan mereka tidak dilandaskan pada prinsip “dia atau tidak sama sekali”. Perpisahan dipahami sebagai sesuatu yang alamiah dan sesungguhnya masih ada kehidupan pasca romansa masa remaja. Hal ini ditampilkan ketika Indi akhirnya berpisah dengan Mika. Ia lanjut kuliah dan mengejar cita-citanya.
Tidak Utuh
Satu masalah besar dalam Mika adalah bangunan ceritanya. Motif-motif krusial dalam cerita tidak terjalin secara utuh, sehingga menghasilkan karakterisasi yang membingungkan. Indi diceritakan ingin sekali bisa menari. Niatan ini ia suarakan beberapa kali sepanjang film, namun tidak direspons secara konsisten oleh pembuat film. Di awal film ia belajar menari di rumah kenalan Mika. Ketika Indi dinyatakan sembuh oleh dokter, ia tiba-tiba menjadi perancang busana. Hilang ke mana niatan menari itu?
Mika juga tidak jelas identitasnya. Apakah ia seorang pengangguran atau pekerja sosial? Apakah ia kuliah atau tidak? Tidak jelas. Informasi yang bisa dipegang penonton hanyalah dugaan ibu Indi, yang melihat Mika jauh lebih tua dari anaknya, dan pengakuan teman-teman Mika, yang tahu kalau dulu dirinya pengguna narkoba dan sekarang mengidap virus HIV. Selanjutnya adalah kerancuan. Dalam satu adegan Mika terlihat dengan santai sedang melukis di pinggir danau, dalam adegan lain dia tiba-tiba memberi penyuluhan tentang narkoba di sekolah Indi. Di awal film dia seperti tinggal sendirian di rumah, di akhir film tiba-tiba ia diceritakan tinggal bersama ibunya.
Posisi Mika krusial dalam tatanan cerita. Ia menjadi pemantik perubahan dalam diri Indi. Pandangannya yang santai dan positif terhadap hidup menyadarkan Indi kalau penyakit dan kematian bukanlah akhir dari segalanya. Pertanyaannya: dari mana pandangan ini bisa muncul kalau penonton tidak diberi informasi perihal diri Mika? Kemunculan Mika dalam film hanyalah untuk Indi, baik untuk membantunya maupun mencampakkannya. Ia seperti tidak punya kehidupan pribadi.
Alih-alih memperkuat karakterisasinya, narasi film malah sibuk menjelajahi sanksi sosial yang ditanggung kedua protagonis. Indi dijauhi teman-teman sekolahnya karena pacaran dengan pengidap AIDS, sementara seorang dokter gigi menolak memeriksa Mika karena tak mau berurusan dengan pengidap AIDS. Plot sampingan ini sebenarnya masih sesuai dengan tema film, namun narasi film akan terasa lebih utuh apabila dimanfaatkan untuk memperjelas tokoh-tokohnya. Film ini bermula sebagai potret akan dunia kecil antara Indi dan Mika. Kenapa harus memperluas narasi film ke luar apabila pribadi-pribadi dalam dunia kecil ini belum tuntas dipahami?
Mika memang tidak menawarkan kebaruan. Kisah yang dihadirkan tak beda jauh dengan film-film Indonesia bertema sejenis. Bagusnya, Mika respek terhadap subyeknya. Pembuat film sadar ada alternatif lain ketimbang bermuram durja akan suatu hal sealamiah kematian, dan ia menempuh jalan itu dengan baik.