Krishna Sen, dalam analisisnya tentang sinema Indonesia, beropini bahwa hampir semua film jaman Orde Baru menempatkan protagonisnya dalam pola narasi yang serupa: dari order ke disorder, lalu kembali lagi ke order. Dalam kasus ini, order dipahami sebagai tatanan moral protagonis, yang dibandingkan dengan nilai-nilai yang diakui negara. Order akan tercapai kembali apabila moralitas protagonis disesuaikan dengan moralitas versi negara. Ganti ‘negara’ dengan ‘agama’, maka akan ditemukan pola bercerita yang serupa dalam film dakwah. Film dakwah, terutama yang membanjiri bioskop pasca Ayat-Ayat Cinta, juga beroperasi dalam narasi order-disorder-order. Resolusi konflik baru tercapai apabila protagonis kembali ke jalan suci, dengan iman sebagai motivasinya. Iman sendiri tidak terjelaskan asal muasal signifikansinya. Dari sananya iman sudah signifikan, sehingga siapapun yang menyelami imannya akan terselesaikan masalahnya. Bisa dibilang, iman dalam film dakwah tidak ada bedanya dengan moralitas versi negara dalam film-film Orde Baru.
Berdasarkan latar belakang di atas, Khalifah terasa seperti angin segar di antara hembusan film-film dakwah di Indonesia. Kalau menengok premis cerita dan pencapaian teknisnya saja, film terbaru Nurman Hakim tersebut bakal terlihat seperti film dakwah, padahal kenyataannya tidak. Film tersebut tidak menaruh iman di posisi sentral yang tak terbantahkan. Iman malah dibedah dari sudut pandang sosiologis, dimana relasi manusia dikedepankan dan diperlakukan sebagai faktor pembentuk dan pemaknaan iman. Karena pendekatannya yang sosiologis, Khalifah jadi semacam laboratorium visual tentang pengaruh relasi sosial terhadap iman seseorang. Seseorang tersebut adalah Khalifah, anak pertama dari seorang penjaga mushola. Sejak awal, penonton mendapati protagonis dalam kondisi disorder. Keluarganya miskin dan hidup jauh dari kondisi berkecukupan. Dia bahkan tidak bisa melunasi tagihan kontrakannya, yang aslinya rumahnya sendiri, namun terpaksa dijual untuk membiayai pengobatan almarhumah ibunya. Solusi satu-satunya adalah pernikahan, dengan seorang pria rekomendasi bapaknya Khalifah.
Pernikahan membawa Khalifah ke dalam pergulatan personal, yang sepanjang film dipantik oleh lanskap sosial di sekitarnya. Suami Khalifah adalah Rosyid, seorang pengimpor barang-barang buatan Arab. Dia menyarankan Khalifah untuk memakai jilbab dan kemudian cadar, supaya hidup Khalifah sejalan dengan apa yang dinubuatkan dalam kitab suci. Khalifah sendiri dari awal film terlihat naif dan belum punya pendirian yang pasti. Kehidupannya berubah sejalan dengan masukan dari orang-orang di sekitarnya. Dia menikah dengan laki-laki yang dipilih oleh bapaknya, memakai jilbab karena saran suaminya, dan mantap memakai cadar karena dukungan beberapa orang di salon tempat kerjanya.
Karakterisasi Khalifah di satu sisi terlihat sederhana. Di sisi lain, karakter Khalifah terasa lebih manusiawi dibanding protagonis film-film dakwah. Khalifah bukanlah seorang yang sejak awal matang keimanannya. Dia bukanlah seorang pelajar kitab suci, atau seorang yang rutin mengaji sesuai anjuran nabi. Dia hanyalah orang biasa yang masih mencari-cari orientasi. Perjalanan hidupnya dalam film menjadi serangkaian pelajaran dalam pencarian orientasi tersebut. Menarik kemudian melihat bagaimana Nurman Hakim menggambarkan proses pembelajaran tersebut lewat benda-benda di sekitar Khalifah. Benda yang paling banyak disorot adalah jilbab dan cadar yang dikenakan Khalifah. Benda-benda lainnya adalah grendel pintu, gambar pajangan bergambar Mekkah, salep oles, dan barang dagangan suaminya.
Di permukaan, metafor pembelajaran personal lewat benda-benda membuat film Khalifah terasa dekat dan akrab. Penonton dapat dengan mudah mengidentifikasi pergulatan batin dalam diri protagonis, karena terlihat familiar dengan kehidupan sehari-hari. Bila dilihat lebih mendalam, benda-benda tersebut menjadi sarana bercerita yang efektif dan terintegrasi secara utuh dalam narasi film. Dari benda-benda tersebut, muncul situasi-situasi yang menggodok kematangan pribadi protagonis. Jilbab dan cadar membuat Khalifah mendapat respons yang beragam dari orang di sekitarnya. Ada situasi yang positif, seperti tetangga Khalifah yang mau menjahitkan cadar secara cuma-cuma, atau atasannya yang memberi jam kerja khusus buat Khalifah. Ada juga yang negatif. Situasi-situasi negatif tersebut yang mengekspos Khalifah ke realita perempuan Islam di Indonesia. Situasi negatif yang terjadi mulai dari hal-hal banal seperti cibiran orang-orang di jalan terhadap cadar Khalifah, hingga tuduhan bahwa Khalifah terkait dengan jaringan teroris.
Ujung pangkal dari segala situasi yang dihadapi Khalifah adalah penggambaran agama sebagai fenomena bentukan manusia. Dengan menautkan Islam dengan eksistensi kebendaannya, Khalifah memposisikan agama pada standar yang bisa ditakar oleh mata dan nalar manusia. Iman pun dikontekskan tidak pada relasi vertikal manusia dengan yang di atas sana, melainkan pada relasi horizontal manusia dengan sesamanya. Dalam Khalifah, seseorang memilih untuk beriman atau tidak, bukan karena ada kekuatan absolut yang turun dari langit dan singgah di hati, tapi karena kebutuhan dan pengalamannya sebagai manusia. Hal tersebut terlihat jelas dalam jatuh bangun Khalifah saat memakai jilbab dan cadar. Alasan awalnya bukan karena suatu momen religius, tapi karena permintaan suaminya dan keinginan Khalifah untuk menjaga pernikahannya. Pemantapannya juga bukan karena mukjizat-mukjizat yang Khalifah temui sepanjang perjalanannya, tapi karena interaksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Pada konstruksi protagonisnya yang humanis, Khalifah membedakan dirinya dari film-film dakwah. Nurman Hakim tidak mendesain filmnya sebagai siaran retorika tentang manusia baik versi kitab suci. Film yang ia buat adalah sebuah cerita yang meneropong agama dari perspektif protagonisnya yang tidak sempurna, sama seperti kita penontonnya.