Tinjauan Kolosal Baru Sebatas Kuantitas

4/10 Adrian Jonathan Pasaribu 14-01-2013

Jangan berharap Gending Sriwijaya memuat banyak aksi laga. Tembak-tembakan dan jotos-jotosan memang menjadi resolusi berbagai konflik dalam cerita, namun Hanung Bramantyo sesungguhnya merancang Gending Sriwijaya sebagai film drama. Durasi film sepanjang 138 menit lebih difokuskan pada relasi tokoh-tokoh cerita yang banyak sekali itu. Jangan juga terlalu mengharapkan Gending Sriwijaya sebagai potret sejarah. Film ini ahistoris dan memang diniatkan begitu. Hanung Bramantyo mengemas Gending Sriwijaya sebagai sebuah fantasi, di mana segalanya diperbolehkan. Petunjuknya di epilog film. Ada narasi yang mengandaikan kerajaan-kerajaan masih ada sampai sekarang.

Kepatuhan pada fakta historis berarti kurang relevan untuk diulik. Tak masalah apabila Gending Sriwijaya yang dikisahkan dalam film adalah tarian yang diciptakan Malini (Julia Perez), anak Ki Goblek serta salah satu anggota kelompok perampok bentukan ayahnya (Mathias Muchus), untuk mengungkapkan keagungan Sriwiaya. Faktanya, tarian Gending Sriwijaya baru ada pada tahun 1943, diciptakan oleh Sukainah A Rozak, untuk menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung ke Sumatera Selatan. Cerita Gending Sriwijaya sendiri terjadi di Nusantara abad 16, tiga abad setelah keruntuhan Sriwijaya, ketika banyak kerajaan-kerajaan kecil bermunculan dan saling berebut kuasa.

 

Komentar Sosial dan Konflik Abu-abu

Lantas apa yang bisa kita tarik dari fantasi ini? Komentar sosial. Hanung Bramantyo menjadikan bumi Sumsel sebagai latar untuk alegori tentang kebangsaan, tentang akar-akar buruk yang mendasari sejarah pembentukan bangsa kita. Apa yang penonton lihat boleh jadi klasik, namun apa yang penonton rasakan terasa modern, terasa dekat dengan realita sekarang.

Bayangkan Kedatuan Bukit Jerai, yang dipimpin Dapunta Hyang Mahawangsa (Slamet Rahardjo), sebagai rezim Orde Baru: korup, mengandalkan kekuatan militer, dan banyak memanipulasi sejarah. Sepanjang kepemimpinannya, Dapunta banyak membakar lontar-lontar berisikan nyanyian serta kearifan lokal, lalu menggantinya dengan lontar-lontar yang berisikan pujian dan pemujaan atas kerajaannya. Bayangkan juga kelompok perampok Ki Goblek sebagai gerakan anak muda di luar rezim: sporadis, penuh gerilya, dan berpihak pada keadilan sosial serta keutuhan sejarah. Ada satu ruangan di goa tempat mereka tinggal yang mereka dedikasikan untuk menyimpan dan melestarikan lontar-lontar bersejarah.

Perseteruan keduanya menggerakkan cerita Gending Sriwijaya. Menariknya, konflik dalam Gending Sriwijaya tak melulu hitam-putih, bahkan lebih banyak abu-abu. Hanung menghabiskan banyak porsi film untuk menyorot intrik-intrik di tubuh masing-masing kelompok. Dalam Kedatuan Bukit Jerai, ada perebutan tahta antara kakak-adik yang dipantik sang bapak. Dapunta memilih si Purnama Kelana (Sahrul Gunawan) sebagai penggantinya. Ia merasa si anak bungsu lebih terpelajar dan visioner ketimbang kakaknya, Awang Kencana (Agus Kuncoro), yang lebih mengutamakan agresi militer ketimbang pembangunan dan pendidikan masyarakat. Dapunta ingin dua hal tersebut yang menjadi masa depan Kedatuan Bukit Jerai. Awang tak terima. Ia bunuh sang bapak dan fitnah adiknya. Awang jadi raja, Purnama masuk penjara.

Lawan mereka juga sama terbelahnya. Ki Goblek memupuk niat yang mulia, walau jalan yang ditempuh tidak. Ia bersama satuan pejuangnya merampok kereta-kereta kerajaan, lalu memanfaatkan hasil rampokan untuk menghidupi orang-orang yang ikut mereka tinggal di luar Kedatuan Bukit Jerai. Meski begitu, Srudija (T Rifnu Wikana), panglima kepercayaan Ki Goblek, merasa perjuangan mereka sia-sia. Niat boleh mulia, namun tetap saja mereka akan terus dianggap sebagai perampok, diserang tentara kerajaan, dan takkan pernah bisa hidup enak.

Satu wacana yang bisa digarisbawahi dari semua ini: negeri kita didirikan di atas perampokan, pembunuhan, dan kepentingan-kepentingan pribadi. Nyatanya, tatanan cerita Gending Sriwijaya sama sekali tak memberi peran bagi khalayak ramai. Sedikit sekali porsi mereka dalam film yang berdurasi dua jam lebih ini. Pergerakan cerita hanya digerakkan oleh impuls personal para pemimpin. Ada pembelotan Purnama dari kerajaannya, pengkhianatan Srudija dan Taruh Hitam (prajurit Ki Goblek, diperankan Qausar H Yudana) dari kelompoknya, balas dendam Malini terhadap Kedatuan atas kematian ayahnya, serta pertarungan Awang versus Purnama hingga titik darah penghabisan.

Impuls Personal dan Ruang Tertutup

Letak masalah Gending Sriwijaya ada pada pembentukan ceritanya. Fokus pembuat film terlalu lekat pada intrik di antara tokoh-tokoh cerita, namun lalai dengan alasan-alasan yang mendasari intrik-intrik tersebut. Akar masalahnya ada pada lingkup cerita yang terlalu sempit, terlalu berbatas pada impuls personal. Alhasil, semesta cerita Gending Sriwijaya yang sejatinya kaya jadi sangat disederhanakan. Hal ini diperparah dengan eksekusi film yang mayoritas terjadi dalam ruang tertutup, antara lingkungan Kedatuan dan goa tempat persembunyian gerombolan Ki Goblek. Tak ada gambaran besar yang disajikan. Sulit jadinya memahami dan mempercayai elemen-elemen krusial dalam cerita.

Pembunuhan Dapunta oleh Awang Kencana, misalnya, dipantik oleh keinginan si raja mengarahkan masyarakat Kedatuan ke pembangunan dan pendidikan, bukan agresi militer semata. Hal ini yang menyebabkan Dapunta lebih memilih Purnama Kelana sebagai penerusnya. Hal ini juga yang memantik kecemburuan Awang. Pertanyaannya: memang bagaimana sebenarnya kondisi masyarakat Kedatuan waktu itu? Apakah mereka memang begitu setertinggalnya? Apakah agresi militer yang selama ini mereka lakukan menciptakan suatu komunitas yang barbar dan terkungkung oleh kediktatoran? Tidak ada yang tahu. Tidak ada satu pun petunjuk perihal hal tersebut. Tidak sekalipun kamera menyorot kehidupan sehari-hari di Kedatuan.

Sikap oposan Ki Goblek juga jadi dipertanyakan. Konon, kediktatoran Dapunta yang membuat mereka memilih untuk tinggal di luar rezim dan menjadi pemberontak. Hal yang sama mendorong Malini dan kawan-kawan untuk menyimpan serta melestarikan lontar-lontar bersejarah. Secara spesifik, Malini menciptakan tarian Gending Sriwijaya untuk “mengenang keagungan Sriwijaya”. Keagungan macam apa yang dimaksud? Keagungan macam apa sebenarnya, keagungan budaya atau militer?

Tidak ada kejelasan juga. Kalau mengamati perkembangan film, maksud Malini mungkin adalah keagungan Sriwijaya sebagai pusat kebudayaan, namun petunjuk-petunjuk dalam film mengarah sebaliknya. Sepanjang film, aktivitas yang dilakukan gerombolan Ki Goblek adalah bertempur. Sekalinya kamera menyorot mereka melakukan kegiatan berbudaya, yakni menarikan Gending Sriwijaya, itu karena Purnama tak sengaja bertemu dengan seorang anak yang bisa membaca lontar. Melalui penjelasan Malini, narasi film tiba-tiba mengungkap aspirasi yang terpendam dalam warga yang ikut dengan Ki Goblek, yakni aspirasi akan seni dan ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya: kenapa tidak menjelaskan aspirasi gerombolan Ki Goblek ini dari awal dan secara berkesinambungan sepanjang film? Kenapa hanya menjadikan ini sebuah sempilan di tengah-tengah film, yang kemudian hilang tanpa kejelasan? Penonton haruslah dibuat percaya bahwa gerombolan Ki Goblek bukan pejuang belaka, tapi juga pejuang pemikir. Apa yang terjadi dalam film malah sebaliknya. Sulit sekali membedakan tingkah laku gerombolan Ki Goblek dengan pemerintahan Kedatuan.

Niat Kolosal

Tautan cerita yang lebih strategis akan menghasilkan karakterisasi yang lebih lugas. Tautan cerita yang lebih strategis juga akan menciptakan keterkaitan yang lebih erat antara tokoh dengan lingkungan serta komunitasnya. Dari sini, bisa  dan menghasilkan kedalaman konflik yang sejatinya diniatkan pembuat film. Perseteruan Kedatuan Bukit Jerai dan gerombolan Ki Goblek bukanlah jotos-jotosan dan tembak-tembakan semata. Perseteruan mereka adalah pertarungan ideologi, mengingat keduanya mewakili dan memperjuangkan perangkat-perangkat nilai yang berlawanan.

Secara keseluruhan, Gending Sriwijaya barulah kolosal dalam segi kuantitas: banyak karakter, banyak konflik, banyak lokasi. Pembuat film sayangnya tak mampu membangun kuantitas ini menjadi sensasi akan adanya sebuah semesta cerita yang luas. Cerita begitu sempit, begitu terkungkung dalam pribadi-pribadi sejumlah tokoh, tanpa ada petunjuk perihal gambaran besar yang melingkupi mereka.

Pujian tersendiri patut dialamatkan pada performa Agus Kuncoro. Di tengah limpahan tokoh yang begitu banyak, Agus mampu mencuri perhatian dengan memerankan tokohnya sebagai seorang kakak yang cemburu dan pemimpin yang gila perang. Buktinya adalah saat ia dihadapkan dengan adiknya, yang notabene mewakili nilai-nilai yang lebih mulia. Agus tampil lebih meyakinkan dan ironisnya lebih mampu menarik simpati penonton.

Pujian juga patut dialamatkan pada Julia Perez atas kemampuannya menjawab tuntutan peran yang berbeda dari peran-peran yang selama ini ia pegang. Selama ini, peran-peran yang ia pegang lebih banyak sebagai simbol seks. Sensasi serupa sebenarnya juga terasa dalam Gending Sriwijaya, di mana kostumnya seperti diniatkan untuk menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu. Namun, film ini menjadi bukti kalau ada potensi lain dari Julia Perez. Ia bisa melalui adegan laga dengan gerakan-gerakan fisik yang sesungguhnya sulit namun tetap terlihat meyakinkan. Bagusnya lagi, ia mampu melakukan ini dengan ekspresi wajah yang sesuai. Lihat adegan pertarungan klimaks, ketika ia dirudung amarah dan dendam atas kematian ayahnya. Pembuat film di seluruh Indonesia patut mencatat perkembangan menarik ini.