Karya perdana Kamila Andini ini bercerita tentang kehilangan. Pakis (Gita Novalista) merasa kehilangan ayahnya yang tak kunjung pulang melaut. Ia terus berusaha mencari tahu keberadaan sang ayah, sementara ibunya, Tayung (Atiqah Hasiholan), berusaha keras membuat Pakis mau menerima kenyataan. Mereka berdua diserahi tugas oleh Kepala Kampung suku Bajo untuk menjadi tuan rumah bagi Tudo (Reza Rahardian), seorang peneliti lumba-lumba yang menumpang tinggal di sana. Kehidupan mereka berlangsung di tengah keseharian masyarakat Bajo, suatu suku yang membangun kampung di atas laut di wilayah kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Film ini menawarkan perkenalan kembali kepada kehidupan orang-orang laut yang jarang muncul dalam film kita lewat kisah Pakis dan Tayung di pemukiman Suku Bajo di wilayah laut Wakatobi. Sebagai negara kepulauan, sebetulnya aneh sekali bahwa film Indonesia tidak banyak bercerita tentang laut dan kehidupan laut. Meskipun tidak sempurna pada semua elemen, film ini menawarkan suatu perjalanan yang menarik dan mengisi kekosongan khazanah film Indonesia tentang masyarakat laut.
Pemihakan Kepada Yang Lokal
Kita terlalu sering menjumpai film Indonesia yang berperilaku seperti turis. Karakter utama yang berasal dari kota besar datang ke kota kecil atau wilayah yang bukan kota dan menggerakkan keseluruhan cerita. Untunglah film The Mirror Never Lies tidak mengambil jalan ini.
Berbeda dengan banyak film Indonesia lain yang mengambil latar tempat di wilayah bukan kota, kisah utama film ini setia pada kehidupan tokoh-tokoh dari Bajo. Tudo, peneliti lumba-lumba yang datang dari Jakarta, digambarkan masuk ke komunitas Bajo sebagai seseorang yang melebur dalam komunitas, bukan orang asing yang punya pretensi membawa nilai-nilai baru untuk mengubah suatu komunitas. Perkembangan cerita lebih banyak ditempatkan pada persoalan para tokoh dari komunitas Bajo.
Meskipun ada yang berubah dengan kehadiran Tudo, tapi perubahan itu dibatasi pada lingkup hubungan personal. Meskipun kita melihat bahwa Tudo juga mengajari anak-anak sekolah dasar setempat tentang laut, tapi karakternya tidak ditempatkan sebagai agen perubahan kehidupan komunitas Bajo.
Karena cerita lebih berpusat pada tokoh-tokoh lokal, film ini memperlihatkan banyak hal yang jarang bisa kita ketahui seperti bagaimana anak-anak pergi ke sekolah dengan sampan atau apa artinya kehilangan ayah atau suami bagi suatu keluarga. Film ini menanamkan emosi universal tentang kehilangan, tapi tetap menempatkannya dalam konteks khusus masyarakat laut di Wakatobi. Dari kisah keluarga Pakis dan Tayung, kita bukan cuma disuguhi pantai yang indah dan warna-warni terumbu karang yang memang sangat memanjakan mata, tapi kita juga diajak memahami bahwa di tengah keindahan itu ada komunitas yang berjuang hidup dengan tantangan alam yang berat.
Pakis, Tayung dan Tudo
Pakis sering duduk di teras rumah sampai jauh malam untuk menunggu ayahnya yang tak kunjung pulang melaut, sementara Tayung harus berupaya keras menggantikan peran suaminya membuat dapur keluarga tetap berasap. Duo anak dan ibu ini menghadapi kehilangan dengan cara yang bertolak belakang: Pakis menolaknya, sedangkan Tayung berusaha menerimanya dan melanjutkan hidup. Upaya Pakis untuk terus menghidupkan harapan bahwa ayahnya akan pulang menjadi pangkal perselisihan dengan Tayung.
Tudo datang ke tengah keluarga ini dengan membawa lukanya sendiri. Ia baru saja kehilangan calon istri. Tudo membawa sisa kenangannya itu ke kampung Bajo. Kedatangan Tudo seperti mengisi kembali keluarga Pakis-Tayung, kehadirannya menggantikan sosok orang tercinta yang hilang dari keluarga ini.
Gita Novalista menghadirkan Pakis sebagai gadis kecil yang beranjak dewasa, kehilangan, dan penasaran. Dalam debutnya ini ia mampu membawakan perempuan muda yang menarik simpati, sekaligus problematis. Karakter Tayung juga dibawakan Atiqah dengan baik. Meskipun wajahnya disembunyikan dengan bedak dingin, tapi ia mampu menghasilkan efek emosi yang tepat. Adegan Tayung menerima pemberian ikan dari seorang perempuan di pasar memberikan kesan yang kuat tentang kehilangan suami yang berarti kehilangan juga sumber pendapatan utama.
Dibandingkan karakter Tayung, karakter Tudo tidak tergarap dengan baik. Tudo bertugas melengkapi drama keluarga Pakis-Tayung, sekaligus membawa persoalan kelautan ke dalam cerita film ini. Film ini berusaha menampilkan Tudo, si pendatang yang menemukan cinta di kampung Bajo, bersamaan dengan upayanya mencari suara lumba-lumba. Sisi peneliti Tudo, yang menjadi alasan utama kehadirannya di kampung ini, tidak hadir dengan meyakinkan sehingga melemahkan cerita. Adegan Tudo bekerja di tengah laut tidak memberikan kesan yang penting mengenai penelitiannya ini, malah lebih menyerupai jalan-jalan santai. Ketika ia menjadi guru tamu di kelas Pakis pun, Tudo kelihatan sebagai pengajar yang sangat artifisial. Adegan penelitian dan kelas yang memberikan kesan verbal jadi melemahkan keseluruhan cerita yang dibangun dengan kesan yang lebih puitis, akibatnya persoalan kelautan yang disampaikan lewat karakter Tudo kelihatan menempel saja, kering, dan kurang padu dengan elemen-elemen film yang lain.
Dua Karakter Gambar
Film ini banyak menggunakan stok gambar dari dokumentasi tentang suku Bajo. Memadukan stok gambar dari berbagai sumber sungguh tidak mudah dan membutuhkan kecanggihan teknis tersendiri. Pada beberapa peristiwa (misalnya pada adegan pesta pernikahan) masih terasa juga ada perbedaan karakter gambar meskipun tidak terlalu mengganggu. Taktik untuk menempatkan teknik kamera hand-held saat memasuki kampung Bajo sedikit-banyak berhasil mempersiapkan penonton untuk menghadapi karakter stok gambar dokumenter yang akan muncul kemudian di dalam film.
Kerja kamera nampaknya memang harus diberi catatan khusus jika melihat film ini. Pastilah tidak mudah menjelajahi kampung Bajo yang penuh dengan titian dan menemukan tempat yang tepat untuk menaruh kamera dan menampilkan kampung atas laut ini sebagai suatu kesatuan lokasi. Jika dibandingkan dengan film serupa yang bertempat di laut seperti Jermal, departemen kamera film ini tampaknya harus melakukan banyak kompromi dalam bekerja. Ini patut disayangkan mengingat juru kamera Ipung Rachmat Syaiful dalam karya-karya sebelumnya sudah menghadirkan gambar-gambar yang lebih canggih.
Satu hal lagi yang patut dicatat adalah cara film ini menghadirkan orang-orang Bajo sendiri di kampung mereka. Berbeda dengan tradisi produksi film cerita yang pada umumnya membuat set reproduksi, pembuatan film ini berlangsung di lokasi kampung sungguhan dengan kegiatan sehari-hari mereka. Boleh dibilang film ini memadukan antara pemeranan (enactment) dan suasana riil. Hasilnya adalah penggambaran yang lebih otentik mengenai suatu kampung, suatu hal yang sulit tercapai dengan set buatan.
Tidak sembarang tim produksi mau menghadapi tantangan-tantangan teknis seperti ini. Upaya tim produksi film, WWF Indonesia dan pemerintah daerah Wakatobi, untuk membuat film ini patut dipuji karena berhasil memperkenalkan kita kembali kepada sesuatu yang seharusnya dekat dalam kehidupan warga kepulauan seperti kita: laut dan masyarakatnya.