Premis film ini klasik: pilih cinta atau adat? Pertentangan antara adat yang kolektif dan cinta yang individual sudah jadi primadona seni ceritera Nusantara sejak tahun 1920-an, dipopulerkan oleh roman terbitan Balai Pustaka. Film ini nyaris seperti reinkarnasi Azab dan Sengsara-nya Merari Siregar (1920), di mana dua sejoli Batak tidak bisa menikah.
Dalam Azab dan Sengsara, Aminu'ddin dan Mariamin tidak bisa menikah meskipun adat sudah mengizinkan karena yang lelaki kaya, sementara yang perempuan miskin. Dibandingkan pendahulunya ini, Mursala memasuki wilayah konflik yang lebih berbahaya, yakni PARNA yang membuat larangan kawin antar marga-marga tertentu di kalangan orang Batak yang dianggap bersaudara dekat. Artinya, Mursala membuka peluang mempersoalkan larangan kawin pada masa kini, ketika keturunan nenek moyang Batak sudah beranak pinak, tinggal tersebar di seluruh dunia dan bercampur darah dengan orang-orang luar klan.
Anggiat Simbolon (Rio Dewanto) adalah lelaki ganteng yang cerdas dan sangat dekat dengan ibunya/Inang (Reins C. Situmeang). Sejak kecil ia ingin jadi pengacara. Ketika dewasa, Anggiat adalah pengacara muda yang bukan saja beken dan makmur, tapi juga pembela keadilan lagi mujur.
Ketenaran Anggiat bisa dijelaskan. Pacarnya, Clarissa Saragih (Anna L. Sinaga), seorang wartawan televisi di Jakarta yang sangat pandai membuat berita-berita hangat mendukung pembelaan hak asasi manusia. Dalam logika film ini, karena Clarissa lama tinggal di luar negeri, berita-berita yang ia buat punya dampak internasional. Profesi Clarissa jelas mampu membuat Anggiat menjadi bintang televisi.
Anggiat dan Clarissa adalah pasangan bahagia karena banyak persamaan: sama-sama sukses, sama-sama Batak, sama-sama Kristen. Resep sama-sama ini seharusnya dijamin aman, karena cinta di Indonesia bisa berakibat tragis kalau berbeda (lihat misalnya Cinta Tapi Beda).
Ternyata serba sama pun tetap runyam. Marga Simbolon dan Saragih dianggap masih satu moyang, sehingga tak boleh kawin-mawin oleh para tetua adat. Tentu adat juga sudah menentukan siapa yang seharusnya dikawini Anggiat, yaitu pariban-nya Uli (Titi H. Rajobintang). Anggiat ingin melawan ketentuan adat ini karena ia anggap sudah tak cocok lagi dengan zaman sekarang. Ia bahkan membuktikan bahwa agama pun membolehkan.
Tapi ini dialah soalnya. Para malaikat pelindung Anggiat, Inang dan Bapa Uda (Tio Pakusadewo) menyarankan, biarpun hukum gereja sekalipun sudah membolehkan, jangan melawan adat.
Mursala punya modal dramaturgi yang bukan main menarik lagi orisinil. Bahan cerita ini seperti tawaran untuk masuk ke dalam alam pikiran suku Batak dan memahami apa arti keluarga atau kekerabatan dalam dunia mereka. Lokasi pengambilan gambarnya pun luar biasa cantik. Sayang sekali modal ini tak diolah menjadi film yang bernas.
Penulis Viva Westi dan Tubagus Deddy sudah dengan teliti menciptakan para tokoh cerita yang mewakili individualitas dan orang-orang yang terjepit di antara keduanya. Anak-anak muda Batak yang diwakili Anggiat, Clarissa, Uli dan Saad (Mongol) menyuarakan semacam ketidak-acuhan dan penolakan superfisial terhadap kekangan adat yang irasional. Sementara Inang, Bapa Uda dan ayah Clarissa (Rudy Salam), adalah orang-orang berbeda latar belakang yang terjepit antara ingin menegakkan adat dan melindungi orang-orang tercinta.
Tapi ketelitian yang sama tidak nampak saat mereka harus merumuskan kubu lawan Anggiat, yakni kaum adat. Pada adegan pertemuan keluarga Anggiat dengan tetua adat, mereka hanyalah kumpulan orang-orang tak bernama dan tanpa motivasi. Ketimpangan detil ini membuat saya bertanya-tanya, apa mereka tidak punya kepentingan pribadi dalam menegakkan adat? Kenapa tim pembuat film ini tidak mau menciptakan ambisi fiktif yang masuk akal ketika membangun tokoh-tokoh yang mewakili adat? Film yang dibangun dengan premis cinta lawan adat tanpa karakter ataupun ambisi yang jelas di pihak pembela adat ini jadi melempem.
Tentu kita semua paham bahwa menggambarkan tokoh adat atau agama sebagai pihak antagonis berarti mengambil risiko besar. Film cerita seperti tidak boleh dipisahkan dari kenyataan, meskipun sudah ada disclaimer di film bahwa kesamaan apapun dengan hal yang betul-betul ada semata-mata adalah kebetulan. Hubungan antara fiksi (representasi) dengan kenyataan dianggap perbandingan lurus dan setara, tanpa mengindahkan proses kreatif dan tradisi adu pemikiran yang sehat. Sikap seperti ini menghasilkan bentuk-bentuk sabotase terhadap perkembangan kesenian, termasuk film.
Kita tentu harus ingat bahwa Viva Westi sudah pernah menghasilkan cerita-cerita yang jauh lebih solid dibandingkan Mursala. Boleh jadi kemiskinan imajinasi dalam menciptakan tokoh adat dalam film ini adalah keputusan yang disengaja, jika bukan sensor diri, dari pihak tim pembuat film untuk menghindari konflik alias main aman.
Kecenderungan main aman ini dengan jelas kelihatan pada sikap pemuda-pemudi Batak yang seharusnya gagah berani itu. Baik Anggiat, Clarissa, Uli dan Saad tampak memiliki ambisi karir yang mulia dan berupaya keras menjadi orang-orang yang kukuh pendirian. Tapi ketika berhadapan dengan adat, mereka tiba-tiba jadi macan kertas. Seharusnya ambiguitas sikap mereka inilah yang dijelaskan oleh cerita. Apa risiko sebenarnya bagi anak-anak muda Batak ini dalam ‘melawan adat’ atau ‘dikeluarkan dari adat’?
Secara simbolik kita melihat Inang yang menyendiri sedih ketika tahu bahwa Anggiat akan melawan adat. Kita paham bahwa hubungan ibu dan anak ini akan cedera oleh perjuangan Anggiat. Tapi sebetulnya ada sisi lain yang tak terbahas gamblang: kolektifitas kekerabatan. Kita melihat Anggiat mengorbankan potensi karir demi berada di perkawinan kerabatnya. Kita juga kemudian tahu bahwa tanpa pertolongan Bapa Uda (perwujudan kerabat), Anggiat tak akan jadi siapa-siapa di Jakarta. Anak-anak muda ini sebetulnya dibesarkan dengan tingkat ketergantungan ekonomi dan sosial yang sangat besar terhadap kerabatnya dan ini mempengaruhi keberanian mereka menentukan sikap. Tim film ini bukannya menghasilkan narasi tentang sikap main aman, tapi malah terperosok mengikutinya.
Kalau ada satu hal di mana tim film ini tidak sudi main aman, itu adalah pilihan mediumnya. Film ini dibuat menggunakan film 16 mm, nampaknya tanpa campuran footage digital. Tapi kalau dilihat hasil akhirnya, sifat medium seluloid tidak tampak sebagai pendongkrak kualitas Mursala. Kredo yang digunakan ketika merancang produksi film ini barangkali adalah ‘karena harus mempromosikan pemandangan indah Tapanuli Tengah, kita harus pakai film’. Kalau betul inilah alasan pemakaian 16 mm, karya ini adalah ujian besar terhadap reputasi kerja juru kamera Ipung Rachmat Syaiful yang mengesankan itu.
Selain juru kamera, tampaknya anggota tim kerja Mursala yang lain pun tidak jauh berbeda komposisinya dengan tim pembuat karya Viva Westi sebelumnya Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2012). Amatlah mengherankan kenapa tim kerja yang dapat mencapai kualitas tinggi sebelumnya mengalami penurunan standar. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah kelemahan di sisi pengelolaan produksi sehingga kemampuan kru kreatif tidak tampil maksimal dalam eksekusi pembuatan film.
Ada beberapa indikasi soal lemahnya pengelolaan produksi dalam film ini. Pertama, tingkat kemampuan pemeranan pada aktor-aktor di film ini sangat pincang. Meskipun karakternya kurang kuat, kemampuan Titi H. Rajobintang membawakan bahasa Minang dengan dialek Batak sangat mengesankan, apalagi kalau dibandingkan dengan pengucapan dialog Clarissa dan Inang yang terdengar seperti baris-baris hafalan tak berjiwa meskipun dengan dialek yang terdengar orisinil. Tampaknya kerjasama antara sutradara dan produser dalam melakukan pemilihan aktor kurang berhasil.
Kedua, penempatan promosi produk sponsor sangat vulgar. Tentu saja ada film-film tertentu yang harus hidup dengan ditopang pesan sponsor. Tapi sekali lagi kerjasama produser Anna Sinaga dan tim kreatif di sini kelihatan kurang padu sehingga tidak dapat menghasilkan bentuk pesan sponsor yang terjalin rapi ke dalam keutuhan film.
Film seperti Mursala, dengan kerjasama yang rapi antara pengelola produksi dan tim kreatif, akan menghasilkan cerita yang kuat dan sumbangan kekayaan pengetahuan etnografi Nusantara. Bukan saja itu, sebenarnya Mursala akan melengkapi gambaran otentik tentang konflik sosial di dalam masyarakat Batak yang sebenarnya mewakili gambaran persoalan banyak suku di Indonesia. Sayang sekali, Mursala kesulitan melampaui capaian Azab dan Sengsara, kisah cinta dari tanah Batak yang terbit hampir seratus tahun silam.