Buku Max Havelaar-nya Multatuli diadaptasi sebagai film realis yang sangat kompleks tapi halus lagi sedap mengalir. Isinya kritik tajam terhadap kekuasaan yang korup.
Max Havelaar (dimainkan dengan baik oleh Peter Faber), seorang pegawai negeri yang baru saja dinaikkan pangkatnya menjadi Asisten Residen Lebak (Jawa Barat), berusaha mengatasi korupsi pejabat pribumi maupun pemerintah kolonial Belanda. Dia masih percaya bahwa pemerintahnya menjunjung tinggi etika politik anti penindasan kaum pribumi.
Cerita dipusatkan pada upaya untuk melawan kekuasaan korup yang membuat Lebak miskin dan penduduknya kelaparan. Karakter Havelaar, kalau dalam istilah mutakhir, adalah tokoh pejuang tata pemerintahan yang baik (good governance). Tersebutlah juga Saijah (Herry Lantho) dan Adinda (Nenny Zulaini), dua warga kampung di daerah Lebak yang ingin bebas dari pemerasan yang mereka alami. Bersama-sama mereka mencoba mengakhiri kuasa yang korup.
Melihat film ini 35 tahun setelah dibuat, saya terpesona. Skenario tulisan Gerard Soeteman mengingatkan saya kembali pada kenikmatan mencerna karya realisme (sesuatu yang sudah mulai langka dengan kemajuan teknologi film saat ini). Dari sedikit yang saya ketahui mengenai buku Max Havelaar, kisah-kisah ditulis seperti fragmen yang tak mudah dihubungkan satu dan lainnya. Soeteman membuat semacam pola baru dari adaptasi buku itu dan menjahitnya jadi skenario yang prima dengan karakter-karakter yang kuat dan alur waktu kilas-balik. Ia mengungkapkan korupsi, konspirasi dagang, penindasan dan ketidak-acuhan institusi agama dalam cerita yang memukau. Sungguh suatu upaya yang harus dipujikan!
Kerja kamera Jan de Bont bukan saja mampu menghadirkan jarak yang cukup untuk menampilkan karakter Havelaar, Saijah dan Adinda sebagai makhluk tak berdaya melawan kemegahan kuasa, tapi juga dengan canggih mendekatkan kita pada detil ekspresi wajah dan tekstur benda-benda. Melalui kerjanya saya bahkan bisa merasakan cahaya matahari yang begitu berbeda antara di Amsterdam dan di Nusantara.
Kelemahan film ini hanya terletak pada bahasa dialog tokoh-tokoh pribumi yang semuanya senada: formal, seperti dialog tokoh-tokoh dalam roman. Seorang Bupati bicara menggunakan rasa bahasa yang sama dengan para petani. Barangkali Fons Rademakers tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga melewatkan detil ini. (Tapi lantas kenapa ko-produser Hiswara Darmaputra dan asisten sutradara Mochtar Sumodimedjo sampai melewatkan detil sepenting ini?). Kekurangan ini membuat tokoh-tokoh pribumi dalam film ini tampil kurang realistis. Biarpun begitu Rima Melati (sebagai Mevrouw Slotering), Herry Lantho dan Nenny Zulaini mampu menyerap penuh perhatian saya tiap kali mereka mengisi layar.
Film ini dalam versi aslinya sepanjang 170 menit. Dalam versi Indonesia, film ini menyusut jadi 127 menit dan baru boleh diedarkan 11 tahun setelah dibuat. Menurut catatan JB Kristanto, adegan-adegan yang menggambarkan institusi agama dibuang semua. Saya kira masih banyak adegan lain yang dihilangkan. Seandainya saya seorang pejabat BSF pada masa Orde Baru, tentu saja saya akan melarang suatu film yang sarat kritik tajam mengenai korupsi yang terjadi di Nusantara, kapanpun cerita itu berlangsung.
Syukurlah masa itu sudah berlalu!
Jakarta, 23 Agustus 2010