Seperti yang tersirat dari judulnya, Jakarta Maghrib menjabarkan beragam makna maghrib bagi warga ibukota, yang tak kalah beragamnya. Film yang disutradarai, ditulis, dan diproduseri oleh Salman Aristo tersebut terbagi ke dalam lima segmen besar yang kemudian dirangkum dalam satu segmen pendek di akhir film. Berdiri dengan cerita dan protagonisnya masing-masing, kelima segmen besar tersebut terhubung oleh dua benang merah: dialog dan adzan magrib. Kelima segmen mempertemukan dua karakter atau lebih, masing-masing dengan motivasinya sendiri, dalam percakapan tatap muka menjelang adzan maghrib. Melalui pertukaran kata-kata tersebut, Jakarta Maghrib mengaitkan maghrib dengan rutinitas warga ibukota.
Berbagai Interpretasi Magrib
Jakarta Maghrib membuka ceritanya dengan interpretasi maghrib yang paling umum, yakni sebagai momen religius. Interpretasi tersebut yang mendasari dua segmen pertama dalam film: Iman Cuma Ingin Nur dan Adzan. Dalam segmen pertama, ada Iman (Indra Birowo) yang berusaha keras meninabobokan bayinya. Ia ingin sekali bisa bercinta dengan istrinya, Nur (Widi Mulia), setelah tiga hari lelah lembur. Tujuan itu harus tercapai sebelum adzan berkumandang. Dalam segmen kedua, ada seorang penjaga mushola bernama Pak Armen (Sjafrial Arifin) dan preman kampung bernama Baung (Asrul Dahlan). Keduanya terlibat dalam diskusi panjang perihal pekerjaan dan kematian. Baung bingung dengan ketekunan Pak Armen membersihkan mushola, padahal hampir tak ada warga sekitar yang beribadah di sana. Bagi Pak Armen, ketekunan tersebut adalah baktinya pada Sang Pencipta, karena ia percaya maghrib adalah “waktu untuk ngobrol dengan Tuhan.”
Menarik melihat bagaimana kedua segmen pembuka film berkisar pada masyarakat kelas bawah. Kedua segmen terjadi dalam pemukiman sederhana, yang dalam beberapa shot terlihat seperti kampung di tengah kota. Para protagonisnya juga merupakan pekerja, yang berada di level dasar industri. Iman sehari-harinya bekerja sebagai satpam, sementara Pak Armen menafkahi dirinya dengan membuka sebuah warung kecil. Apakah dengan ini Salman Aristo beropini bahwa kelas bawah merupakan satu-satunya kelompok di ibukota yang masih mensakralkan maghrib? Interpretasi maghrib sebagai momen religius tersebut yang absen dalam tiga segmen besar lainnya di Jakarta Maghrib, yang ceritanya dilakoni oleh karakter-karakter dari kelas menengah ke atas.
Dalam segmen ketiga, Menunggu Aki, ada lima penghuni perumahan elit yang sama-sama menunggu tukang nasi goreng langganan. Mereka berkumpul di sebuah taman kecil dekat rumah mereka, sembari mengobrol sejumlah isu seputar perumahan mereka. Usut punya usut, walau tinggal berdekatan, mereka tak saling kenal satu sama lain. Maghrib menjadi titik akhir perkenalan mereka, yang mereka jadikan alasan untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Dalam segmen Cerita Si Ivan, ada Ivan (Aldo Tansani), yang bolos dari madrasah demi bermain game di sebuah tempat persewaan PlayStation. Karena tak mendapat tempat bermain, Ivan mulai mengarang cerita seram seputar maghrib. Maghrib ia jadikan alasan agar teman-temannya cepat pulang, dengan harapan ia dapat bermain sepuasnya tanpa gangguan.
Interpretasi yang sama duniawinya turut hadir dalam segmen kelima, Jalan Pintas. Dalam cerita tersebut, maghrib menjadi tenggat waktu yang harus dipatuhi oleh sepasang muda-mudi. Si perempuan (Adinia Wirasti) berjanji sebelum magrib sudah sampai ke tempat kerabatnya, yang sedang menyiapkan suatu acara pernikahan. Si laki-laki (Reza Rahadian) setengah hati menjalani permintaan pacarnya. Dari sini, terjadilah pembicaraan tentang hubungan mereka selama tujuh tahun, dan bagaimana mereka sebaiknya bersikap ke depannya. Maghrib menjadi batas waktu bagi keduanya untuk mengambil sikap.
Jelas dan Tak Bertele-tele
Secara umum, kelima segmen besar dalam Jakarta Maghrib menunjukkan pemahaman Salman Aristo sebagai penutur cerita via medium sinema. Memang tidak ada yang baru dari caranya bertutur. Namun, dari apa yang tersaji sepanjang Jakarta Maghrib, dapat disimpulkan bahwa Salman Aristo paham betul cara bercerita. Ada semacam struktur klasik yang ia terapkan sepanjang film: pengenalan karakter, konflik, komplikasi, kemudian solusi. Struktur tersebut secara konsisten berulang dalam setiap segmen Jakarta Maghrib, menyebabkan kelima segmen cerita bertutur dengan jelas dan tak bertele-tele.
Dalam kasus Jakarta Maghrib, jelas dan tak bertele-tele merupakan kualitas yang penting, mengingat perpindahan antar segmennya menuntut usaha lebih dari penonton. Ganti segmen, ganti cerita, ganti karakter, ganti fokus pula. Itulah risiko dari film yang terdiri dari beberapa kepingan cerita layaknya Jakarta Maghrib.Dengan teknik penuturan Salman Aristo yang jelas dan konsisten, penonton tidak akan kesulitan memahami esensi dari beragam cerita yang ada.
Kemampuan Salman Aristo mengulangi kualitas-kualitas tersebut dalam berbagai kemasan di Jakarta Maghrib menjadi nilai lebih tersendiri. Struktur cerita klasik yang sekiranya rutin tersebut ia proses menjadi potret kehidupan masyarakat kelas bawah dalam Iman Cuma Ingin Nur dan Adzan, kisah tentang kepolosan anak kecil dalam Cerita Si Ivan,serta percakapan anak muda yang cenderung berputar-putar dalam Menunggu Aki dan Jalan Pintas. Timbul kesan bahwa Salman Aristo tidak ingin sekadar bercerita, tapi juga bermain-main dengan teknik bercerita itu sendiri.
Secara khusus, dibanding segmen-segmen lainnya, segmen Adzan sedikit timpang dalam eksekusinya. Segmen Adzan terlalu lama dalam memperkenalkan karakternya. Segmen tersebut terlalu lama menunjukkan rutinitas Pak Armen membersihkan mushola. Padahal segmen tersebut mengisahkan percakapan dua orang dengan perspektif yang berbeda. Alhasil, dialog kedua protagonis, momen di mana konflik cerita dibangun, terasa terlalu terburu-buru dan terlalu mengandalkan titik klimaks untuk menyampaikan tujuan cerita. Ketimpangan segmen Adzan menjadi sangat mencolok dan sangat disayangkan, mengingat segmen-segmen lainnya punya proporsi durasi yang tepat untuk konflik yang disajikan.
Tidak Menghakimi
Nilai positif juga patut dialamatkan pada kosa gambar yang diterapkan Salman Aristo. Segmen-segmen Jakarta Maghrib secara umum tersusun dalam rangkaian medium shot, yang membingkai karakter dalam ruang yang mereka tempati. Sesekali muncul close up untuk menyorot detail-detail yang berhubungan dengan cerita. Lagi-lagi, tidak ada yang baru dalam teknik penuturan visual tersebut. Namun, cara tersebut merupakan cara yang netral sekaligus fungsional dalam menggambarkan cerita-cerita yang Salman Aristo sampaikan. Ia tidak membeda-bedakan beragam karakter yang ia sorot, tidak juga menghakimi mereka. Apa yang pembuat film ingin tekankan adalah cerita-cerita yang dialami para karakter, bukan implikasi moral dari tindak-tanduk mereka.
Satu segmen yang patut menjadi perhatian adalah segmen Menunggu Aki. Segmen tersebut hanya terdiri dari dua shot. Pertama adalah medium shot sebuah mobil yang berusaha masuk garasi. Berikutnya adalah sebuah long take yang menyorot pertemuan para karakter. Long take tersebut yang menggiring segmen Menunggu Aki sampai selesai. Sepanjang cerita, kamera bergerak mengikuti karakter-karakter dalam cerita. Baru ketika semua karakter terkumpul dalam satu bingkai, mereka semua saling berkenalan dan bertukar pendapat, tanpa ambil pusing dengan perbedaan latar belakang masing-masing. Kebersamaan tersebut yang buyar ketika maghrib tiba. Bahkan dalam ruang visual yang harmonis sekalipun, mereka tetaplah warga ibukota yang individualis. Semua segmen dalam Jakarta Maghrib efektif dalam menuturkan ceritanya, namun Menunggu Aki adalah segmen yang paling ambisius secara visual dan tetap sukses dalam bercerita.
Apa yang Salman Aristo capai melalui Jakarta Maghrib adalah penceritaan yang solid nan matang, baik dari segi visual maupun naratif. Melihat kiprah Salman Aristo selama ini sebagai penulis naskah yang produktif, rasanya tidak mengejutkan apabila ia dapat menghasilkan kumpulan cerita yang konsisten secara kualitatif. Satu hal yang patut dinantikan adalah film panjang berikutnya yang ditulis dan disutradarai oleh Salman Aristo. Semoga Jakarta Maghrib bukan yang terakhir.