Pertanyaan yang muncul seusai menonton Brandal-brandal Ciliwung: ada apa dengan film anak-anak Indonesia belakangan ini? Kenapa kita harus membebani cerita anak-anak dengan wacana kebangsaan? Tak bisakah kita bercerita dunia anak-anak murni dari perspektif mereka saja?
Film anak-anak Indonesia dua tahun terakhir ini banyak sekali yang terasa seperti parabel kebangsaan. Brandal-brandal Ciliwung adalah bagian dari trend tersebut. Gagasannya: bangsa Indonesia itu beragam, dan solusi untuk semua masalah adalah dengan toleransi satu sama lain serta gotong royong untuk satu tujuan bersama. Kemasannya: protagonis tergabung dalam satu kelompok yang berisikan anak-anak berbeda etnis, sementara kelompok lain di luar mereka tak punya penanda kultural tertentu. Konflik cerita bisa datang dari internal kelompok yang beragam, bisa juga dari interaksi dengan kelompok lain yang generik itu.
Kelompok protagonis sendiri masih bisa dibedah lagi. Mereka diasumsikan memegang nilai-nilai luhur sejak awal film, entah itu ketekunan, kesabaran, atau kesadaran sosial yang lebih tinggi. Tak jelas datang dari mana asalnya kedewasaan ini. Masalah kelompok protagonis seringkali hanyalah manajemen ego, yang kerapkali bentrok dengan rekan satu kelompok. Sementara itu, kelompok di luar mereka, terutama yang bersifat antagonis, secara karikatural digambarkan berlawanan total dengan kelompok protagonis, entah itu sombong, cepat marah, atau hobi bikin onar. Tak jelas datang dari mana asalnya kebobrokan moral ini.
Tendensi nasionalistik dalam film anak-anak ini bukannya buruk. Kalau film memungkinkan generasi penerus kita untuk memahami lingkungannya secara kreatif, kenapa tidak? Tendensi ini menjadi masalah apabila wacana kebangsaan ditinggikan sedemikian rupa, sehingga film sebagai suatu kemungkinan naratif terabaikan. Cara penuturan yang propagandis ini tak lagi relevan, terutama sekarang, satu dekade lebih pasca reformasi. Kebangsaan bukanlah suatu realita tunggal yang harus diterima mentah-mentah. Masih banyak perspektif lain yang bisa dijelajahi. Mengatasnamakan Indonesia tanpa logika yang jelas sama saja seperti memangkas hak anak-anak kita untuk bermain-main dengan ide.
Hal itulah yang terjadi dalam Brandal-brandal Ciliwung. Niat Guntur Soeharjanto boleh jadi hanya mengadaptasi novel Achmad S menjadi tontonan yang menghibur bagi anak-anak. Apalagi Brandal-brandal Ciliwung beredar tak jauh sebelum Lebaran, yang konon merupakan “bulan basah” bagi film Indonesia. Sayangnya, dari apa yang tersaji dalam film, Brandal-brandal Ciliwung tak saja gagal menjadi hiburan yang solid, tapi juga mengeksekusi semua kemungkinan buruk dalam menarasikan nasionalisme melalui film anak-anak. Begitu banyak cacat dalam logika internal cerita. Begitu banyak simbol-simbol kebangsaan yang muncul begitu saja dalam cerita, tanpa ada alasan yang jelas. Begitu banyak pula kejadian-kejadian dalam cerita yang membawa kemungkinan tafsir yang tak mengenakkan, terutama bagi anak-anak.
Serba Problematis
Mari kita jelajahi satu kejadian penting dalam Brandal-brandal Ciliwung. Sissy (Gritte Agatha), seorang gadis tomboy keturunan Tionghoa dan juga cucu seorang pemilik pabrik tahu, berniat bergabung dengan Pasukan Ciliwung. Di komunitas bantaran sungai Ciliwung, kelompok itu cukup tersohor karena rajin mengangkat sampah dari sungai, namun perilaku mereka yang urakan menjadikan mereka kurang populer di mata ulama setempat. Niat Sissy ini ditolak mentah-mentah oleh Jaka (Endy Arfian), jagoan cilik keturunan Betawi dan juga pemimpin tak resmi Pasukan Ciliwung. Alasannya: ia perempuan dan pengalaman Jaka dengan perempuan tak pernah mengenakkan.
Ada tiga implikasi dari kejadian ini yang bisa menjadi acuan relevan bagi keseluruhan Brandal-brandal Ciliwung. Akan terlihat bagaimana film ini tak lebih dari parabel kebangsaan yang dipaksakan. Pertama, film tak pernah menjelaskan trauma apa yang dimiliki Jaka dengan perempuan. Selain itu, menurut Tirto (Aldy Rialdy Indrawan), anggota Pasukan Ciliwung yang menarasikan cerita film dengan logat Jawa medok, Jaka adalah seorang playboy kelas kakap. Di titik yang sama dalam cerita, Jaka terlihat getol menggoda seorang gadis kuliahan, salah seorang pelanggan jasa binatu ibunya. Apakah ini artinya Jaka tak lebih dari seorang egois nan diskriminatif? Lantas, dari mana datangnya motivasi yang ia tunjukkan selama memimpin Pasukan Ciliwung membersihkan sungai? Tak ada tanda-tanda dalam film yang menjelaskan kalau membersihkan sungai berdampak positif, baik bagi diri masing-masing anggota Pasukan Ciliwung maupun bagi warga di sekitar sungai.
Kedua, ketika akhirnya Sissy diterima, kejadian pertama yang ditampilkan film adalah Sissy membawakan minuman di atas nampan bagi para anggota Pasukan Ciliwung yang sedang berlatih wushu. Sissy melakukan semua ini dengan kostum cheongsam. Kesemua anggota Pasukan Ciliwung adalah laki-laki. Apakah ini artinya anak perempuan tak mungkin berinteraksi dengan lawan jenis kecuali dalam kapasitas yang lebih rendah? Posisi Sissy sebagai satu-satunya perempuan dalam Pasukan Ciliwung nantinya kian problematis dan tentunya membawa kemungkinan tafsir yang semakin tak mengenakkan. Kedekatannya dengan Jaka membuat Tirto cemburu dan berujung pada perpecahan Pasukan Ciliwung. Anehnya, sebelum kehadiran Sissy, Pasukan Ciliwung sebelumnya mampu bersatu padu menghadapi segala macam tantangan, mulai dari ketegasan Pak Haji hingga keonaran kelompok anak bengal lainnya (yang sepertinya tak punya fungsi lain dalam cerita selain menjadi bengal). Hanya perempuan yang bisa memecah belah pasukan Ciliwung.
Ketiga, Sissy adalah satu-satunya anggota Pasukan Ciliwung yang etnisnya terus-menerus ditunjukkan secara gamblang, sampai pada titik di mana etnis Sissy menjadi satu-satunya penanda identitasnya. Penandanya adalah kostum cheongsam tadi. Semenjak bergabung dengan Pasukan Ciliwung, mendadak ada banyak adegan Sissy mengenakan cheongsam, padahal hanya di akhir film Sissy punya alasan mengenakan baju adat itu, yakni ketika Lomba Getek Ciliwung di mana anak-anak lainnya pun mengenakan kostum. Sementara itu, Sissy digambarkan tak lagi tomboy tapi santun dan sopan. Tak jelas apa yang mendasari perubahan sedrastis ini. Kesannya, pembuat film hanya mengizinkan ia menjadi orang Tionghoa, tapi tak boleh menjadi dirinya sendiri.
Kemasan yang Diada-adakan
Bandingkan karakterisasi Sissy dengan Jaka, misalnya, yang secara konstan digambarkan berperilaku sebagai anak kecil yang berani dan urakan, sembari bicara dengan logat Betawi. Begitu juga dengan Tirto dengan logat medok dengan pembawaan orang Jawanya, Timur (Julian Liberty) dengan kebiasaanya berpikir sambil mengupil dan aksen Papua, Umar (Sehan Zack) dengan obsesinya terhadap kungfu dan sejumlah penanda akan darah Arabnya, serta Raja (M Syafikar) dengan marga Batak dan tradisi menyanyi di keluarganya. Ciri khas mereka semua terjaga dengan apik sampai akhir film, walaupun alasan di balik penampakan identitas etnis mereka dalam cerita sesungguhnya klise, yakni untuk dieksploitasi demi efek komedik.
Lain halnya dengan Sissy. Identitasnya sebagai orang Tionghoa terus-menerus dibesar-besarkan, padahal konflik film menjelang akhir cerita terkait dengan perpecahan Pasukan Ciliwung akibat masalah pribadi dan warga yang menjauhi kakek Sissy karena pabrik tahunya diduga mencemari Sungai Ciliwung. Konflik-konflik itu tak ada hubungannya dengan etnis, tapi kenapa status Sissy sebagai orang Tionghoa harus terus-menerus ditonjolkan dalam porsi yang cukup besar? Apakah karena keturunan Tionghoa di Indonesia selama ini dianggap liyan? Lalu, apa pentingnya memberi tahu pada anak-anak kita kalau para keturunan Tionghoa adalah liyan? Bukankah itu hanya akan meneruskan salah kaprah yang sudah-sudah?
Keragaman etnis anggota Pasukan Ciliwung yang begitu ditonjolkan pada akhirnya tak lebih dari kemasan yang diada-adakan. Anak-anak ini terlihat memiliki perbedaan etnis yang seakan-akan problematis, padahal masalah-masalah yang mereka jalani tak ada hubungannya dengan itu. Tak heran kalau kemudian klimaks Brandal-brandal Ciliwung terasa kosong dan mengada-ada, di mana Pasukan Ciliwung sukses menarik perhatian dan simpati publik di Lomba Getek Ciliwung dengan membawa tema Bhineka Tunggal Ika. Semua orang senang, para protagonis bersatu kembali, dan antagonis kalah.