Rayya, Cahaya di atas Cahaya mengikuti perjalanan Rayya (Titi Sjuman) melintasi Jawa bersama seorang fotografer. Rayya adalah seorang selebriti, aktris, dan penyanyi papan atas. Satu bangsa mengelu-elukannya. Tim manajemen Rayya menugaskan Kemal (Alex Abbad) untuk memotret sang idola di sejumlah lokasi eksotis. Sialnya, ketika baru memulai perjalanan, Rayya mendapati Kemal mengusir anak-anak jalanan yang ingin mendekatinya. Ketika ditanya, Kemal tak mengaku. Dipecatlah sang fotografer. Rayya tak bisa menoleransi kebohongan, sama seperti ia tak bisa menolerir kemunafikan mantan kekasihnya, Bram. Berulang kali Bram mengaku cinta tapi ia sudah berkeluarga. Ia memilih untuk mematuhi janji nikahnya ketimbang terus bersama Rayya.
Dikirimlah Arya (Tio Pakusadewo) untuk menggantikan Kemal. Tim manajemen Rayya agak was-was karena Arya terkenal “kolot”. Di tengah perkembangan teknologi digital, Arya memilih setia dengan kamera analog. Arya juga setia dengan kenangan akan istrinya, yang memilih pergi dengan lelaki lain karena suaminya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Pengalaman kehilangan yang serupa ini memantik rangkaian percakapan antara kedua protagonis sepanjang perjalanan film.
Konten verbal bisa diduga begitu dominan dalam Rayya, yang sebenarnya cukup wajar. Kedua protagonis baru pertama kali bersua, mengenal satu sama lain hanya bisa diusahakan melalui percakapan. Rangkaian percakapan yang terjadi pun sesuai dengan latar belakang psikologis masing-masing tokoh. Biasa dipuja dan mendapat apa yang ia inginkan, Rayya sedang terluka egonya akibat dicampakkan seorang laki-laki. Tak heran ia begitu agresif dan lantang dalam menyatakan pendapatnya. Tak heran juga ia begitu berapi-api dalam memperagakan kekecewaan dan menyuarakan niatnya “menegakkan dendam”. Berlebihan, kadang menganggu, tapi beralasan. Sementara Arya hanyalah orang biasa. Di hadapan Rayya yang begitu gegap gempita, ia bukan siapa-siapa. Kehilangan bisa jadi adalah santapan sehari-harinya. Terasa pas ketika cara ia bercakap digambarkan jauh lebih santai dan dewasa dibanding Rayya.
Penyusunan konten verbal dalam Rayya juga tak buruk. Dialog-dialog yang dirangkai Emha Ainun Najib dan Viva Westi tak sekadar puitis, tapi juga punya fungsi dalam film. Bagi Rayya, jadi penanda dari talenta artistiknya sebagai seorang seniman. Bagi Arya, jadi penanda akan kemampuannya mengimbangi teman perjalanannya. Menariknya, diksi Arya dianggap “kampungan” oleh Rayya, yang semakin memperkuat perbedaan status keduanya. Sangat disayangkan, dalam beberapa kesempatan menjelang akhir film, konten verbal Rayya seperti diusahakan untuk berpucuk pada suatu “pesan moral” tentang bersyukur atas apa yang sudah dimiliki, karena di luar sana banyak orang yang hidupnya kurang berkecukupan.
Pesan moral tadi menyebabkan pembuat film seperti terlalu menyederhanakan karyanya sendiri, seolah-olah takut penonton akan melewatkan begitu saja esensi cerita. Kesannya malah Rayya hanya bicara tentang para protagonisnya yang melankoli berkepanjangan, tentang gadis kaya nan manja yang matanya dicelikkan oleh kemiskinan di sekitarnya, padahal tidak sesederhana itu juga. Ada semacam gambaran sosial yang terbentuk dari perjalanan Rayya dan interaksinya dengan orang-orang yang ia temui di jalan.
Budaya patron
Ada sindiran tentang budaya patron yang belum dan sepertinya tak akan pernah mati. Terasa di adegan ketika Rayya dan Arya tanpa diundang bertamu ke sebuah pernikahan di suatu desa. Pusat perhatian sontak berpindah dari pasangan pemilik hajat ke selebritis ibukota yang mendadak muncul ini. Seorang kepala desa kemudian mengikrarkan bahwa desanya terbuka bagi Rayya untuk mandi, makan, beristirahat, bahkan menetap. “Kalau Rayya sampai tidak bahagia di sini, kami semua masuk neraka,” tambah si kepala desa. Rayya bahkan bukan seorang pejabat maupun figur otoriter. Ia hanya seorang selebriti yang populer di seantero negeri, namun si kepala desa begitu cepatnya “menunduk” pada Rayya, sampai mengorbankan acara pernikahan salah satu warganya.
Ada selentingan tentang keputusasaan finansial yang ditanggung rakyat kelas bawah, sampai-sampai seorang penjaga hotel nekat mencuri koper Rayya yang berisikan gaun mahal. Rayya hanya bisa menahan isak tangis mengetahui busana mewahnya dijual dengan harga murah ke ibu-ibu penjual ikan di pasar. Namun, Rayya tak melulu pesimis. Satu momen yang cukup mencengangkan adalah ketika uang Rayya dikembalikan oleh seorang ibu penjual kerupuk. Ia berpikir si ibu tak perlu repot-repot mencari uang kembalian, mengingat Rayya sendiri tak merasa jumlahnya signifikan. Si ibu punya pendapat lain. Di hadapan Rayya, ia menegaskan kalau ia sedang berjualan, tak sedang mengemis.
Interaksi-interaksi ini meletakan dunia kecil Rayya dalam sebuah lingkup yang lebih besar. Mobilitas Rayya dari satu kota ke kota mencerminkan mobilitas lain yang lebih besar, yakni mobilitas suatu bangsa yang berada di antara masa lalu dan masa sekarang, antara ketertinggalan dan keinginan untuk maju, antara kearifan lokal dan harapan menjadi modern.
Dalam road movie macam Rayya,mobilitas merupakan elemen kunci, tak saja mobilitas perjalanan protagonis, tapi juga identitas bangsa dan budaya di sekitar protagonis. Konon, para eksekutif Hollywood baru sadar akan potensi road movie ketika Bonnie and Clyde dan Easy Rider sukses di akhir 60an. Padahal, kisah-kisah perjalanan sudah ada di Hollywood sejak tahun 30an, baik dalam wujud film kriminal, drama, roman, hingga komedi. Negara seluas Amerika Serikat memiliki kekayaan budaya dan alam, yang sangat ideal apabila dimasukkan ke dalam film. Tak heran kalau kemudian road movie dianggap menjadi genre tersendiri di sana.
Beda halnya dengan Indonesia. Sampai dengan tahun ini, road movie dalam sinema kita terhitung sedikit. Tak jauh dari tanggal beredar Rayya ada Mama Cake. Sebelumnya ada Tiga Hari untuk Selamanya(2006) karya Riri Riza. Mundur lagi ke belakang ada Cinta dalam Sepotong Roti (1990) karya Garin Nugroho. Melihat cara bertuturnya, Darah dan Doa(1950) karya Usmar Ismail mungkin juga bisa dikategorikan sebagai road movie.Selebihnya, kisah perjalanan dalam sinema kita bisa dihitung dengan jari dan ini merupakan satu tanda tanya besar. Padahal, bangsa kita sesungguhnya cukup akrab dengan mobilitas. Terlihat bagaimana perjalanan lintas daerah merupakan bagian konkret dari masyarakat kita, mulai dari migrasi hingga mudik, namun kita luput mendokumentasikannya dalam film.
Potret sosial semacam ini banyak ditemukan dalam road movie di luar Amerika Serikat. Beberapa yang cukup menonjol adalah Motorcycle Diaries (Walter Salles, 2004) di sejumlah negara Amerika Selatan, Y tu mama tambien (Alfonso Cuaron, 2001) di Meksiko, dan The Adventures of Priscilla, Queen of the Dessert (Stephan Elliott, 1994) di Australia. Ketika film Indonesia belakangan ini terasa jauh dari realita bangsa, baik karena kepatuhan pada narasi genre ala Hollywood maupun lokasi cerita yang jarang beranjak dari latar urban, bukankah road movie menjadi sarana potensial untuk kembali mendekat pada akar masyarakat kita? Rayya sukses membuktikan hal tersebut.