Pasar saham dan film sebenarnya mirip: sama-sama mengundang spekulasi. Ketika Sang Pialang akan beredar dan dipromosikan sebagai “drama Wall Street pertama di Indonesia”, spekulasi yang muncul adalah film garapan Asad Amar ini akan banyak menjelajahi intrik dan dinamika bursa efek. Spekulasi tersebut sayangnya tidak terpenuhi. Bursa efek hanya menjadi latar remeh bagi kisah cinta-cintaan anak muda papan atas.
Fokus film ada pada Mahesa (Abimana Aryasatya) dan Kevin (Christian Sugiono), dua pialang sukses Barata Sekuritas. Mahesa adalah pialang yang taat pada aturan main, sementara Kevin lebih gemar menabrak pakem demi menjamin pencapaian. Di awal film, Rendra (Pierre Gruno), pimpinan perusahaan dan juga ayah Kevin, memberi tantangan pada para pekerjanya: siapapun yang memuncaki daftar penjualan akan naik pangkat. Di bulan sebelumnya, Mahesa yang teratas. Kevin tak mau kalah.
Persaingan antarkolega ini dibarengi dengan dua garis cerita lain. Pertama, tentang cinta segitiga Analea (Kamidia Radisti) dengan Mahesa dan Kevin. Analea sudah lama memendam rasa pada Mahesa, namun tak juga disikapi oleh yang bersangkutan. Kevin juga sudah lama naksir Analea tapi dia tak kunjung menoleh. Kedua, tentang relasi Mahesa dengan bapaknya, Hadi (Slamet Rahardjo Djarot). Pekerjaan Mahesa disepelekan oleh bapaknya. Ia melihat melihat jual-beli saham tak ada bedanya seperti judi. Dalam pikiran Hadi, lebih baik jual tanah ketimbang transaksi di bursa efek. Keuntungannya lebih jelas. Mahesa pun mencoba meyakinkan bapaknya dengan mengajaknya bermain saham.
Keragaman garis cerita dalam Sang Pialang sayangya kandas akibat ketercerabutan. Pembuat film lebih sibuk menjalankan cerita-cerita ini, terutama yang bagian cinta segitiga, namun lupa mengembangkan para tokohnya secara berkesinambungan. Sebagai seorang pialang, Mahesa dan Kevin terlihat sangat generik. Sampai dua-per-tiga film, tuntutan pekerjaan mereka baru sebatas ucapan “menginvestasikan uang nasabah pada usaha yang tepat”, tapi tidak jelas bagaimana perwujudannya. Dunia saham hanya ditampilkan sebagai deretan angka, rangkaian telepon dengan klien, serta kelap-kelip monitor yang memantul di wajah para pialang. Tidak tahu apakah mereka harus riset untuk mengetahui mana usaha yang tepat, tidak jelas juga apakah Mahesa dan Kevin malah lebih sering terlihat nongkrong bersama teman-temannya ketimbang menunaikan profesinya.
Penting bagi Sang Pialang untuk membentuk tokoh-tokohnya dulu secara utuh sebelum terjun ke berbagai garis ceritanya. Pasalnya, kecuali bagian cinta segitiga, konflik-konflik dalam cerita begitu terkait dengan profesi para protagonis. Menjadi seorang pialang butuh sejumlah keahlian yang spesifik, yang pastinya punya dampak tersendiri bagi psikis masing-masing tokoh. Pemahaman ini yang absen dalam Sang Pialang. Mahesa dan Kevin lebih nampak sebagai orang-orang yang sukses di usia muda dan bisa bergaul di klub malam dan restoran elit. Apabila pekerjaan mereka diganti dari pialang ke pengusaha apapun, cerita tidak akan berubah banyak.
Sang Pialang sesungguhnya memuat potensi yang besar. Tema ini belum pernah dijelajahi dalam film-film Indonesia dan profesi pialang sendiri belum banyak diketahui oleh khalayak. Ada nilai kebaruan tersendiri di dalamnya. Sayangnya, seperti tokoh-tokoh ceritanya, pembuat film menanam saham di tempat yang salah.