The Rolling Stone Indonesia, Januari 2008
Bercerita lewat tulisan dan lewat film adalah dua hal yang sangat berbeda, tapi Djenar Maesa Ayu bisa melakukan keduanya dalam gaya yang sangat mirip. Seperti juga cerita pendeknya (yang jadi bahan utama skenario film ini), Mereka Bilang Saya Monyet bertutur dengan marah, kejam, tapi datar.
Hidup Adjeng (Banyu Bening, Titi Sjuman) tak pernah bisa lepas dari Mom (Henidar Amroe). Mom adalah ibu yang cantik dan dikagumi orang, tapi punya selera yang buruk soal laki-laki. Ia menganggap Adjeng sebagai monyet yang tak bisa diatur, keturunan sifat buruk bapaknya.
Adjeng tak bisa mengatasi bayang-bayang superioritas ibunya dan berusaha jadi apapun yang bukan Mom. Dia merokok, minum bir dan malas makan buah, sementara Mom gigih memaksanya hidup sehat. Dia memanfaatkan laki-laki di sekelilingnya, sementara Mom adalah si cantik yang selalu dimanfaatkan laki-laki. Adjeng ingin jadi penulis sementara Mom adalah bintang panggung.
Alur yang mondar-mandir antara masa sekarang dan masa lalu dalam film ini membuat kita sendiri pelan-pelan meragukan gerak maju waktu. Kebiasaan menonton film dengan alur lurus ke depan ditantang di sini dan membuat kita masuk ke dalam dunia Adjeng yang sakit dan absurd.
Sebagai penulis, Adjeng juga punya kerumitan karena merasa harus masuk kalangan sastra lewat sang mentor Asmoro, penulis yang mulai luntur popularitasnya. Pola hubungan Adjeng dan Asmoro yang saling memanfaatkan juga berlaku dalam hubungannya dengan seorang bos (Joko Anwar) yang membiayai hidupnya. Adjeng menggantungkan diri pada Asmoro untuk reputasi, si Bos untuk kelangsungan hidup dan Mom untuk eksistensi sebagai perempuan.
Mereka Bilang Saya Monyet yang langsung disorotkan secara digital menawarkan sesuatu yang berbeda dari film-film Indonesia lain yang beredar. Film ini sama tak peduliannya dengan karakter Adjeng, bahkan juga asyik dengan dirinya sendiri, tapi sanggup mengikat perhatian kita ke layar selama 90 menit. Titi Sjuman, pendatang baru yang memerankan Adjeng, juga mampu membawakan karakter Adjeng yang mengalami trauma dan tenggelam di dalamnya. Sayangnya suara dalam film ini kadang tenggelam sehingga kita harus membaca teks subtitel untuk menangkap dialog.
Tampilan mise en scene film ini sederhana dan sama sekali tak pusing dengan penanda-penanda zaman walaupun film berjalan dalam tiga latar waktu. Persis karena inilah kita merasa tersasar dalam waktu yang tumpang-tindih. Dan kita tak keberatan. Ketiga latar waktu ini disunting menempel ketat satu sama lain, tanpa layar kosong di antaranya sampai akhirnya jadi baur. Kita juga sedikit sekali mengalami eksterior dalam film ini, mendukung penglihatan kita tentang sempit dan rumitnya konflik hidup Adjeng. Satu-satunya adegan yang klise dan berlebihan dalam film ini adalah saat Mom berdiri menyanyi di panggung dengan kebaya merah. Singkat kata, baik cerita, dialog maupun tampilan film ini saling topang dengan bagus.
Di luar itu semua, film ini tetap menonjol di antara yang lainnya. Walaupun sederhana, tuturannya yang sangat kuat terus membuat kita tergugu. Rasanya untuk itu, kita harus ucapkan selamat datang yang hangat buat Djenar.