Andibachtiar Yusuf mempermainkan (calon) penontonnya. Judul film terbarunya, Hari Ini Pasti Menang, menyiratkan akan sebuah kisah perjuangan nan heroik. Perhatikan juga materi promosi filmnya. Posternya berlatar pada Gelora Bung Karno yang dikitari kerumunan orang. Menonjol paling depan ada dua orang berbalutkan seragam merah, warna seragam timnas sepakbola kita, di antara sejumlah orang berwajah serius. Pengulangan tema sepakbola-sebagai-kebanggaan-bangsa ala Garuda di Dadaku? Atau variasi baru dari tema sepakbola-sebagai-kebangkitan-pribadi ala Tendangan dari Langit?
Ternyata tidak. Apabila disandingkan dengan film-film Indonesia lain tentang sepakbola, Hari Ini Pasti Menang terhitung membawa perspektif dan penuturan yang segar. Kata ‘pasti’ dalam judul film merujuk pada judi dan pengaturan skor, suatu fenomena lazim di sepakbola, tak saja di tingkat nasional tapi juga mancanegara. Adalah Gabriel Omar (Zendhy Zain), nama populernya GO8, yang menjadi protagonis Hari Ini Pasti Menang. Ia adalah penyerang andalan klub Jakarta Metropolitan, pencetak gol terbanyak di Piala Dunia 2014, dan ikon anak muda Indonesia. Di klub yang ia bela itu, ia berduet dengan Bambang Pamungkas (Ibnu Jamil), pemain senior yang namanya sudah akrab di kalangan pengikut sepakbola nasional. Sepanjang film, Gabriel berhadapan dengan sistem kuasa yang tak terperi kokohnya. Sebaik apapun usahanya di lapangan hijau, ia hanyalah sebuah komoditi, barang dagang yang nilai dan masa edarnya diatur oleh orang-orang di atas sana.
Pembuat film dengan cerdik memperkenalkan relasi kuasa ini di awal film. Hari Ini Pasti Menang dibuka dengan sebuah pertandingan Jakarta Metropolitan di liga nasional. Gambar pertama yang penonton lihat adalah Gabriel dan Bambang beradu kemampuan dengan pemain dari tim lawannya. Kamera lalu pindah fokus ke para penonton pertandingan. Di tribun stadion, ada Wilson (Manahan Hutauruk) dan Andini (Tika Putri), jurnalis olahraga dan juga sahabat protagonis dari kecil, yang menonton sambil mendiskusikan penampilan Gabriel di lapangan hijau. Keduanya banyak menggunakan statistik dalam obrolan mereka (“Gabriel Omar punya akurasi tembakan 90%” dan sejenisnya), kontras dengan obrolan para penonton di warung yang isinya kebanyakan sumpah serapah, kontras pula dengan obrolan bapak Edi Baskoro (Mathias Muchus), bapak protagonis, yang menonton Gabriel dari layar kaca bersama satpam-satpam kantornya. Sang bapak begitu beriman pada integritas anaknya sebagai pesepakbola yang jujur, sementara salah satu satpam curiga kalau ia banyak ditolong wasit.
Warung dan iPad
Kamera kemudian menyorot para pelaku bisnis judi bola. Sama seperti saat menyorot perilaku para penonton, pembuat film tak luput dengan ciri khas masing-masing penjudi. Detail-detail kecil ini yang menjadikan Hari Ini Pasti Menang terasa seperti dunia yang utuh dan menarik untuk diikuti. Di kalangan penonton warung, judi yang terjadi begitu spontan dan melibatkan uang-uang receh semata. Di tribun stadion, ada Wilson yang memperhitungkan peluangnya untuk bertaruh lewat iPad-nya, sembari mengamati pertandingan-pertandingan lain di seluruh dunia yang mungkin ia ikutkan ke dalam taruhan. Di tempat lain, di dalam ruang-ruang kantor yang tertutup, ada Ongston (Verdi Solaiman), pengusaha muda yang mempertaruhkan uang serta mobilnya untuk kekalahan Jakarta Metropolitan. Judi yang ia ikuti pun begitu tersistem. Taruhan besarnya itu ia lakukan dengan kartel judi milik Aheng (Hengky Solaiman), yang tak saja memegang liga nasional tapi juga liga-liga negara lainnya. Pengaruh kartel Aheng yang begitu besar ini tergambarkan dalam satu momen krusial: anak buah Aheng angkat telepon, lahirlah sebuah peringatan wasit bagi Gabriel Omar.
Pembukaan Hari Ini Pasti Menang berlangsung cukup lama, sekitar 20 menit lebih. Begitu banyaknya tokoh dan kejadian yang disempilkan dan coba diperkenalkan menjadikan pembukaan film ini terasa begitu sesak. Sedikit sekali kesempatan bagi penonton untuk sekadar mengambil nafas, sedikit pula kesempatan bagi penonton untuk mengira-ngira mana tokoh yang harus diikuti. Ini menjadi masalah tersendiri nantinya dalam film.
Di sisi lain, pembukaan ini begitu efektif menggambarkan kalau dalam satu pertandingan bola tidak hanya dua tim di atas rumput saja yang bermain. Masih banyak faktor lain yang kasat mata tapi tak bisa disepelekan pengaruhnya. Bayangkan bagaimana peliknya silang sengkarut hal-hal kasat mata sepanjang sebuah liga dan kompetisi sepakbola lainnya. Pembukaan ini juga dengan baik menyiapkan landasan bagi wacana yang ingin disasar Hari Ini Pasti Menang. Andibachtiar Yusuf tidak sedang memotret sepakbola sebagai suatu panggung terbuka, di mana siapapun bisa bermain dan berjuang merebut kemenangan. Sebaliknya, sepakbola diperlakukan sebagai lapangan milik segelintir orang saja, yang punya kuasa untuk menentukan mana yang tersungkur dan mana yang boleh bersyukur. Sepakbola tak ubahnya papan catur mainan taipan dan kaum perlente.
Wacana ini yang kemudian dikembangkan secara konsisten oleh pembuat film. Dalam Hari Ini Pasti Menang, sepakbola telah berhenti menjadi olahraga dan berganti wujud menjadi bisnis. Pasalnya, film kemudian hampir tak menampilkan adegan pertandingan sepakbola sama sekali. Apa yang penonton lihat adalah perkara uang, uang, dan uang.
Judi barulah suguhan pembuka. Ada perbincangan soal image right antara Gabriel dan Emir (Deddy Mahendra Desta), agennya, di mana protagonis kita mempertimbangkan tawaran main iklan minuman kesehatan, parfum, atau sosis. Seperti yang kita ketahui, image right ini sudah menjadi bagian yang laten dalam sepakbola modern. Nilai seorang pemain tak lagi melulu soal kemampuannya di lapangan hijau, tapi juga seberapa besar potensi komersil yang dapat dieksploitasi, seperti yang terjadi dalam kasus David Beckham dan Cristiano Ronaldo. Ada pula ancaman Dimas Bramantyo (Ray Sahetapy), pelatih Jakarta Metropolitan, untuk undur diri apabila gajinya tak dinaikkan klub. Pihak manajemen menolak karena sudah menaikkan gaji sang pelatih tahun lalu, namun Bram tetap bersikeras dengan alasan ia sudah menghadirkan banyak gelar juara untuk klub. Ia pula yang membesarkan Gabriel Omar dari kecil hingga menjadi pemain kelas dunia seperti sekarang.
Semesta Khayal
Menariknya, premis sepakbola-sebagai-bisnis dalam Hari Ini Pasti Menang tak dilatarkan dalam Indonesia yang setara dengan realita sekarang. Swastika Nohara, penulis naskah, membangun sebuah semesta khayal di mana sepakbola Indonesia sudah begitu maju, sudah berprestasi di Piala Dunia bahkan, sehingga sepakbola bisa ditampilkan sebagai sebuah industri dengan perputaran uang yang besar. Selain karena jarang dilakukan dalam film Indonesia, pemanfaatan semesta khayal ini unik karena malah membuat Hari Ini Pasti Menang terasa logis. Sepakbola di Indonesia sekarang bukannya tak bersentuhan dengan komersialisme, skalanya tidak gigantis layaknya yang terjadi dalam Hari Ini Pasti Menang. Bisnis judi yang berkembang juga baru seperti kalangan penonton warung, masih sebatas uang receh, belum semenggurita layaknya kartel milik Aheng. Memang, di beberapa titik, pengembangan semesta khayal ini terasa berlebihan, seperti berita Andini tentang perselingkuhan Ryan Giggs dengan Syahrini atau istri kedua John Terry dari Indramayu. Tapi, namanya juga khayalan, pembuat film punya hak untuk mengada-ada.
Semesta khayal ini menjadikan Hari Ini Pasti Menang sebuah satir yang bicara secara global. Sepakbola sekarang telah menjadi industri, di mana uang tak lagi terelakkan, tidak saja dalam praktik kepenontonan tapi juga pembentukan kebijakan. Ini pun menjadi pertanyaan sendiri bagi sepakbola Indonesia: mengurus persepakbolaan dengan skala sekarang saja sudah marak korupsi dan penyelewengan kuasa, bagaimana nanti kalau sepakbola kita kalau sudah maju dan melibatkan perputaran uang yang lebih besar? Mampukah kita menjaganya sebagai kegiatan yang tak saja mengindahkan prinsip-prinsip pasar tapi juga nilai-nilai olahraga? Memang pertanyaan-pertanyaan ini masih jauh dari kondisi sekarang, tapi menarik untuk direnungkan.
Pertanyaan yang lebih konkrit patut diajukan pada penyusunan cerita Hari Ini Pasti Menang. Pembuat film terlalu asyik mengulik semesta di sekitar Gabriel Omar, sampai-sampai protagonisnya tenggelam di antara banyaknya garis cerita yang saling berkelindan. Tidak jelas jadinya mana tokoh yang seharusnya penonton ikuti, mana yang pantas diinvestasikan waktu dan emosi. Di samping masalah-masalah seputar uang yang sudah dijabarkan tadi, pembuat film turut memasukkan garis cerita seputar investigasi Andini seputar praktik judi di sepakbola nasional. Garis cerita ini memang masih terkait wacana besar Hari Ini Pasti Menang, tapi semakin menghabisi porsi protagonis dalam cerita, dan semakin menambah jumlah tokoh yang seliweran tak perlu dalam cerita.
Kaburnya fokus ini menjadikan perkembangan tokoh Gabriel Omar jadi kurang mengena. Padahal dia adalah protagonis cerita; jatuh bangunnya seharusnya menjadi detak jantung penonton. Perkembangan tokohnya jelas: ia tumbuh dari pion industri menjadi orang yang sadar akan sistem yang memainkannya. Tokoh-tokoh yang memantik perubahannya pun sudah disiapkan pembuat film: ada manajernya yang menyuarakan semangat untuk menang dengan segala cara, ada bapaknya yang meluhurkan kejujuran dalam berkompetisi, ada pula tokoh bernama Bambang Pamungkas yang nampaknya hanya muncul untuk memberi petuah bijak. Yang absen adalah pertentangan nilai ketiganya dalam diri Gabriel Omar. Ia seperti wayang yang mengikuti ke mana arus bergerak, tanpa punya jiwa untuk berpikir dan bertindak sendiri. Ada perbedaan yang signifikan antara pasif terseret sistem dengan gundah terpaksa mengikuti sistem karena tak bisa melawan. Gabriel Omar terlihat sama saja, walau konon katanya sudah mengalami pencerahan.
Hari Ini Pasti Menang memenuhi banyak syarat untuk menjadi film yang luar biasa. Pengerjaannya begitu mendetail, kedalaman ceritanya pun tak main-main. Sayangnya, para tokoh dan garis ceritanya terasa setengah matang, serba disempilkan dan diburu-buru. Andai saja keduanya ditata dengan lebih strategis, Hari Ini Pasti Menang yang sejatinya sudah baik bisa jauh lebih baik lagi.