Tahun lalu beredar kabar kalau Danial Rifki sedang menyutradarai film panjang pertamanya berjudul Orenji. Waktu itu, media memberitakannya sebagai film Indonesia yang syuting di Jepang. Jelang Lebaran tahun ini, nama sineas muda ini tercantum sebagai sutradara dalam film berjudul La Tahzan, sementara Orenji tak ada kabarnya. Film lain lagi kah? Apa Danial Rifki membuat film lain selagi menunggu tanggal rilis untuk film debutnya? Usut punya usut, setelah saya mengkulik lagi pemberitaan di media-media, La Tahzan adalah Orenji yang diberi judul baru.
Perkara pergantian judul ini menarik. Kenapa memilih judul ini? Kenapa memakai judul benuansa Islami ini dan mengedarkan filmnya menjelang Lebaran? Aji mumpung mengingat Lebaran konon adalah ladang emas bagi film Indonesia? Keputusan pemasaran untuk menarik perhatian jutaan umat Muslim yang pulang kampung ke bioskop?
Bisa jadi. Sejauh mata memandang, pemasaran adalah alasan paling logis untuk menjelaskan judul La Tahzan dari film Danial Rifki ini. Pasalnya, film ini seperti punya kepribadian ganda: awalnya romansa biasa antara sekelompok insan, tapi tiba-tiba jadi kental dengan nuansa Islami di titik-titik genting cerita.
Sejak awal, La Tahzan sama sekali tidak menekankan kalau protagonisnya, Viona (Atiqah Hasiholan), diwajibkan menikah dengan sesama pemeluk agama Islam. Perkara agama ini bahkan bukan bagian dari konflik cerita. Viona pergi ke Osaka dengan satu agenda profesional: belajar sambil kerja, sebagai bagian dari program studi bahasa Jepang yang ia ikuti. Ada pula satu agenda personal yang tak kalah mendesak: mencari Hasan (Ario Bayu), mantan kekasih yang dulu ke Jepang dengan alasan-alasan yang belum diketahui Viona. Orangtua Viona, saat melepas putrinya pergi, juga tidak berpesan agar putrinya mencari jodoh berkeyakinan sama. Mereka hanya meminta Viona jaga diri dan tidak lupa rumah.
Tiba-tiba, Yamada (Joe Taslim) datang. Pemuda setengah-Jepang-setengah-Indonesia ini sukses mencuri hati Viona. Yamada melamar nikah, namun Viona ragu; ia hanya mau menikah dengan sesama Muslim. Dari mana kekhawatiran ini datang? Tidak jelas, sama tidak jelasnya dengan jilbab dan busana Islami yang tiba-tiba membalut tubuh Viona semenjak menerima lamaran nikah. Sepanjang film, ia berbusana layaknya perempuan muda sekuler seumurannya. Penggambaran keluarga Viona di awal film juga tidak menunjukkan kalau keluarganya penganut Islam garis keras, atau setidaknya ambil pusing soal perkara agama ini.
Nampaknya kebutuhan pemasaran bicara begitu lantang, sampai-sampai logika dipaksa pergi libur Lebaran. Korbannya adalah keseluruhan film La Tahzan: serba dipaksakan, serba diada-adakan. Apabila bertahan dengan judul Orenji, film ini setidaknya akan punya ketertautan yang jelas dalam sambungan ceritanya. Dalam film, terma ‘orenji’ (atau ‘jeruk’ dalam bahasa Jepang) beberapa kali disebut untuk menjelaskan hubungan yang dilakoni masing-masing tokoh. Bagi Yamada, ‘orenji’ menggambarkan sifat kebanyakan manusia: luarnya terlihat matang, dalamnya terasa asam. Bagi Hasan, ‘orenji’ mengingatkannya akan kehangatan ketika keluarga dan sanak saudara berkumpul. Saking terkesannya dengan kata itu, Hasan bahkan sampai mengganti namanya di Facebook jadi ‘orenji’.
Pemaknaan personal akan ‘orenji’ ini sesungguhnya potensi tersendiri dalam La Tahzan, karena terhubung langsung dengan kedirian masing-masing tokoh cerita. Drama adalah genre film yang banyak bergantung pada pengembangan tokoh. Kalau memang logika cerita harus mengalah pada kepentingan pemasaran, setidaknya berikan penonton cukup kesempatan untuk mendalami tokoh-tokoh yang mereka harus ikuti. Sayangnya, ini pun tidak terpenuhi.
Selama seratus menit durasi film, La Tahzan tidak banyak memberi jatah untuk pengembangan tokoh Viona dan Hasan, padahal keduanya adalah pemain kunci dalam cerita ini. Porsi film lebih banyak dihabiskan untuk menyorot proses pendekatan Yamada pada Viona, terwujud dalam adegan jalan-jalan keduanya yang mengisi lebih dari setengah film. Satu-satunya hal yang bisa penonton petik dari rangkaian cinta dan wisata ini adalah latar belakang keluarga Yamada.
Bagaimana dengan program belajar-sambil-kerja yang dilakoni Viona? Hanya ditunjukkan sedikit di awal-awal film, yakni ketika Viona diterima magang di sebuah restoran sushi, tapi film mendadak melupakan ini semua sampai paruh kedua film, tepatnya ketika Viona putus asa mencari Hasan di Osaka. Setelah itu pun, tidak ditunjukkan kerutinan Viona selama magang di restoran sushi dan apa pengaruh program belajar-sambil-kerja ini bagi diri Viona, padahal program ini adalah alasan keberadaannya di Osaka. Begitu juga dengan Hasan; pergelutannya sebagai pekerja imigran di Jepang tidak banyak dikulik. Padahal ini satu dari sedikit informasi yang penonton punya tentang Hasan, dan kepindahannya ke Jepang merupakan peristiwa penting yang mempengaruhi hubungannya dengan Viona. Beberapa kali disebut soal polisi imigrasi serta pencidukan pekerja-pekerja imigran yang tidak punya dokumen lengkap seperti Hasan, tapi poin ini dibiarkan lewat begitu saja tanpa ada penjelajahan lebih lanjut.
Sampai dengan akhir film, Viona dan Hasan terlihat seperti karikatur berjalan, sketsa tak komplit akan sebuah pribadi. Sedikitpun tak nampak ada perkembangan psikologis yang berarti dalam diri keduanya, padahal peristiwa-peristiwa yang mereka lalui konon katanya penting bagi mereka. Sepanjang film Viona bertingkah layaknya perempuan manja yang terbius rayuan lelaki lokal, sementara Hasan layaknya lelaki dengan kasus melankoli akut dan ketidakmampuan berkata-kata lebih dari dua kalimat.